Pena News. 24-09-2014 Saya ambil Opini dari dari kompasiana.com yang di upload 4 tahun yang lalu, tapi saya rasa masih ada yang belum baca tentang opini ini, Sebab itulah saya update kembali di Pena, agar teman teman yang belum sempat baca, bisa membaca artikel ini lagi. Sayang sekali saya tak melihat siapa penulis opini ini.
Saya sering mendengarkan orang mengatakan hal-hal negatif
mengenai orang yang punya idealisme tertentu. Entah itu mulai dari sindiran
hingga secara terang-terangan telah banyak ditujukkan kepada orang-orang yang
mempunyai kesetiaan tertentu terhadap ide yang mereka yakini benar.
Orang-orang Indonesia, terutama sekali masyarakat perkotaan,
menganggap bahwa idealisme adalah suatu konsep yang harus ditinggalkan
jauh-jauh dalam menjalankan hidup agar mendapatkan hidup yang baik. Benarkah
itu? Sebelum menilai hal tersebut benar atau salah, ada baiknya saya sedikit
jelaskan apa itu idealisme dan realism, beserta apa saja yang termasuk ke dalam
kategori idealisme dan realism tersebut.
Idealisme adalah suatu keyakinan atas suatu hal yang
dianggap benar oleh individu yang bersangkutan dengan bersumber dari
pengalaman, pendidikan, kultur budaya dan kebiasaan. Idealisme tumbuh secara
perlahan dalam jiwa seseorang, dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku,
sikap, ide ataupun cara berpikir.
Pengaruh idealisme tidak hanya terbatas pada tingkat
individu, tapi juga hingga ke tingkat negara. Nilai-nilai idealisme yang
mempengaruhi individu contohnya adalah keyakinan mengenai pola hidup,
nilai-nilai kebenaran, gaya mengasuh anak, karir dan lain sebagainya. Sedangkan
idealisme pada tingkatan negara adalah seperti Ideologi Pancasila, komunisme,
liberalism dan masih banyak lagi.
Sedangkan realisme adalah suatu sikap/pola pikir yang
mengikuti arus. Individu yang realistis cenderung bersikap mengikuti
lingkungannya dengan mengabaikan beberapa/semua nilai kebenaran yang dia
yakini. Sama dengan idealisme, realisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa dan
pikiran seseorang.
Realisme-pun tidak hanya terbatas pada individu, tapi juga
pada level-level diatasnya hingga ke tingkat negara. Nilai-nilai realisme yang
mempengaruhi individu pada umumnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan materi.
Namun tidak tertutup kemungkinan juga pada hal-hal lain seperti budaya politik,
norma reliji (sistem kepercayaan) dan banyak hal-hal lainnya.
Seperti yang telah saya tuliskan di atas bahwa batasan
tulisan ini hanya untuk menjawab pernyataan kaum realis yang menganggap bahwa
idealisme adalah sampah kehidupan. Untuk menyederhanakan tulisan ini agar mudah
ditangkap oleh semua orang, saya akan menggunakan pendekatan perbandingan saja.
Idealisme pada dasarnya adalah perubahan, terlepas dari
apakah perubahan itu baik atau buruk. Sebagai contoh idealisme positif, ingat
ketika Martin Luther menentang gereja Katolik Eropa? Banyak orang ketika itu
mencemoohnya sebagai orang yang idealis dengan menafikkan kenyataan-kenyataan
di lapangan dan keamanan hidupnya sendiri. Namun dengan kekuatan idealisme yang
luar biasa akhirnya Martin Luther mampu melahirkan gerakan reformasi (pada masa
itu) dan tetap bertahan hingga hari ini.
Untuk
contoh buruknya, lihat idealisme yang dilakukan oleh Adolf Hitler. Dengan
keyakinannya atas buruknya kaum Yahudi dan Komunisme, dia bisa menjadi penguasa
Eropa dan membinasakan kaum Yahudi dan Komunis. Padahal ketika zamannya ketika
itu, korporasi Yahudi dan dominasi politik komunis begitu kental
dilingkungannya sehingga pada awal-awal perjuangannya Hitler justru lebih
banyak mendapat hinaan dan cemooh ketimbang dukungan. Tentu saja contoh buruk
ini jangan ditiru karena justru merupakan kemunduran dalam peradaban manusia.
Sebutlah
semua pemimpin besar dunia: Mahatma Gandhi, Mother Teressa, Aung an su kyi, Che
Guevara, Soekarno, Julius Caesar, Socrates dan masih banyak pemimpin besar
dunia lainnya yang penuh dengan idealisme-idealismenya walaupun kadang hal itu
menjadi faktor utama berakhirnya hidup mereka.
Socrates
contohnya: dia bersikukuh bahwa pemerintahan demokrasi Athena pada kala itu
adalah pemerintah yang busuk dan korup. Walaupun banyak kerabatnya dan
murid-muridnya yang membujuknya agar tidak terlalu idealis dengan keyakinannya
karena akan membahayakan nyawanya, dia tetap saja lantang menentang demokrasi
Athena. Walhasil, senat Athena memerintahkannya menenggak racun sebagai bentuk
hukuman mati atas penghinaannya kepada senat, dan matilah Socrates dalam memperjuangkan
idealismenya.
Selanjutnya
adalah Soekarno. Pada masa mudanya, Soekarno sudah terbiasa diperlihatkan
pemandangan betapa anak negeri ini (kaum pribumi) diperbudak oleh penjajah
Belanda. Lingkungannya pun (lingkungan terpelajar dan priyayi) sudah menganggap
bahwa hal itu adalah biasa. Lalu ketika dia beranjak dewasa, dia menyadari
bahwa ini semua salah dan dia mulai merawan arus “realistik” penjajahan, dan
mulai mengkampanyekan idealisme kebebasan (kemerdekaan) bangsa Indonesia.
Sebutlah
semua orang atau pemimpin besar di bumi ini, maka orang tersebut pada awalnya
selalu mempunyai idealismenya sendiri yang pada akhirnya menghantarkannya
kepada kesuksesan. Atau mungkin jika ingin menggunakan pembuktian terbalik:
coba anda carilah pemimpin atau orang besar dunia yang tidak punya idealisme,
itupun kalau anda bisa menemukannya.
Idealisme
adalah sumber perubahan. Perubahan terjadi karena tidak adanya kepuasan
terhadap kondisi terkini, perubahan terjadi karena ada “kesalahan” atas suatu
hal, perubahan dapat dilakukan hanya bila ada keberanian, dan keberanian untuk
melakukan perubahan merupakan implementasi nyata dari idealisme.
Namun perlu diperhatikan juga bahwa idealisme tidak bisa
berdiri sendiri. Idealisme juga memerlukan realisme. Idealisme dan sikap
realistik bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain
secara absolut. Tanpa adanya sikap realistik, idealisme hanya akan menjadi
angan-angan utopis: bagaikan mimpi di siang bolong. Sikap idealis tanpa sifat
realistis hanya akan menjadi bunga tidur dalam kehidupan yang tidak lebih baik
dari khayalan orang sakit jiwa.
Perlu ada keseimbangan koheren antara sifat idealisme dan
realistis agar menjadi manusia seutuhnya. Sikap realistis diperlukan untuk
memahami dan menginsyafi kondisi riil di lapangan. Sedangkan sikap idealis
diperlukan untuk memperbaiki atau menyempurnakan kekurangan yang terjadi dalam
realita. Tidak mungkin seorang manusia hanya mengikuti arus (realistis)
selama-lamanya, atau hidup akan menjadi statis. Tidak mungkin juga seorang
manusia hanya mengutamakan idealismenya semata dengan mengacuhkan realita kalau
tidak ingin dikatakan seorang pemimpi.
Jadi pada kenyataannya, sikap idealis dan realis bukanlah
suatu hal yang saling berkontradiktif. Justru sebaliknya, kedua hal itu harus
selaras berjalan dalam pikiran dan sikap kita agar hidup selalu mengalami progresifitas.
Keseimbangan antara idealisme dan realism dapat menghasilkan output yang
tentunya lebih baik daripada hanya condong ke satu sisi saja.
0 Komentar