16 Januari 2004 genap 10 tahun yang lalu, syahid seorang sahabat yang pernah tinggal bersama hampir setiap detik di kantor UNHCR Kuala Lumpur Malaysia. Dia adalah Said Adnan yang syahid bersama Razali. Said seorang yang peramah dan suka bercanada.
Tulisan ini aku buat untuk mengenang waktu bersama dia selama hidup sebagai refugee di dalam camp pengungsi. Aku kenal Said, ketika aku bersama 41 Bangsa Aceh yang lain masuk ke dalam kantor UNHCR Kuala Lumpur Malaysia.
Ketika itu keadaan di Kuala lumpur sangat mencekam, dimana Pemerintah Malaysia yang bekerjasama dengan Pemerintah RI mau mendeportasi semua pelarian dari Aceh. Untuk menghalangi niat pemerintah kedua negara ini, tidak ada cara lain kecuali membuka mata dunia, dengan mendobrak pintu UNHCR Kuala Lumpur Malaysia.
Selama dalam perjalanan di dalam bis sekolah dari batu 8 Gombak Kuala Lumpur aku tidak begitu memperhatikan siapa saja yang ada di dalam bis itu. Selain Bang Yusra dan almarhum Bang Iftah, yang aku tahu dan teman dekat, seperti Mahfud Lampoh Awe, Muzakir Hamid (ustad), Musanna Tiro, Zahidi, Akhyar, Ilham dan Iqlil Ilyas Leube.
Sesampainya di dalam kantor UNHCR Kuala Lumpur Malaysia barulah aku mulai mengenal semuanya. Said Adnan, selalu ku kenang kata-katanya, tak akan pernah lupa, kalau dia melihat ada orang yang berbuat tidak pada tempatnya maka dia akan berkata ”MUTAH ASEE NGIENG BUET MEUNAN”, hingga kini aku masih tidak lupa bagaimana cara dia setiap kami mengucapkan kalimat tersebut.
Paling dia suka adalah maen cabeueng. Dan dari dia lah aku belajar bagaimana maen cabeueng. Disela-sela kesibukan membuat Tabloid Suara Aceh, kita isi dengan main cabang, mengaji dan belajar menulis Bahasa Aceh.
Banyak kenangan suka duka yang tak terlupakan bersama beliau. Kalau bicara masalah perjuangan dia selalu bersemangat. Walaupun sering cara dia menyampaikan kata-kata selalu diikuti tawa dari kami yang dengar.
Pernah juga dia bercerita tentang pengalamannya, ketika dia dengan dua orang temannya datang ke dataran tinggi Gayo. Waktu itu kebetulan bulan Ramadhan, dia bersama temannya mau berbuka puasa di Restoran Yusra Baru Takengon, Sebelumnya mereka belanja di sebuah warung jualan kelontong. Salah seorang temannya melihat benda yang mirip kue lapis di warung itu, maka dibeli lah benda itu tanpa bertanya pada pemilik warung, apa benda itu sebenarnya.
Setelah duduk dengan manis di warung makan tersebut, maka teman Said membuka bungkusan yang dibelinya dari warung kelontong tadi dan meminta piring untuk meletakan benda yang mirip dengan kue lapis itu. Said juga pikir itu adalah kue lapis, “biasalah orang puasa, Nampak sendal pun dikecapin kayaknya enak “(Red).
Setelah beduk berbunyi maka mereka pun memulai dengan minum dan kemudian memulai makan benda yang mirip kue lapis tadi. Pikir mereka kue lapis akan membuat perut jadi nyaman. Ternyata betapa terkejutnya mereka benda yang dianggap kue lapis tadi adalah MINYAK MAKAN, mereka saling pandang dan memuntahkan kembali ”Kue” Minyak Makan tadi dari mulut masing-masing dengan teratur.
Sedikit aku ceritakan kembali kenangan selama di Kuala Lumpur. Ketika kami keluar dari UNHCR Kuala Lumpur Malaysia maka kehidupan pun mulai dari babak baru lagi. Sejak berada di luar, aku jarang sekali bertemu dengan beliau. Karena aku juga punya kesibukan sendiri. Selain membantu teman-teman melanjutkan majalah Suara Aceh di Biro Penerangan. Dan aku juga ada kerja lain, jadi sangat jarang bertemu dengan Said. Sehinggalah suatu hari, dia ku dengar sudah berada di Aceh memimpin pasukan GAM, dan beliau dipercayakan sebagai Gubernur Pase.
Aaaahh Said, semoga luas kuburmu dan semoga Allah menempatkan mu ditempat yang selayaknya, yaitu tempat orang-orang syahid membela agama, negara dan kebenaran.
Tulisan ini aku buat untuk mengenang waktu bersama dia selama hidup sebagai refugee di dalam camp pengungsi. Aku kenal Said, ketika aku bersama 41 Bangsa Aceh yang lain masuk ke dalam kantor UNHCR Kuala Lumpur Malaysia.
Ketika itu keadaan di Kuala lumpur sangat mencekam, dimana Pemerintah Malaysia yang bekerjasama dengan Pemerintah RI mau mendeportasi semua pelarian dari Aceh. Untuk menghalangi niat pemerintah kedua negara ini, tidak ada cara lain kecuali membuka mata dunia, dengan mendobrak pintu UNHCR Kuala Lumpur Malaysia.
Selama dalam perjalanan di dalam bis sekolah dari batu 8 Gombak Kuala Lumpur aku tidak begitu memperhatikan siapa saja yang ada di dalam bis itu. Selain Bang Yusra dan almarhum Bang Iftah, yang aku tahu dan teman dekat, seperti Mahfud Lampoh Awe, Muzakir Hamid (ustad), Musanna Tiro, Zahidi, Akhyar, Ilham dan Iqlil Ilyas Leube.
Sesampainya di dalam kantor UNHCR Kuala Lumpur Malaysia barulah aku mulai mengenal semuanya. Said Adnan, selalu ku kenang kata-katanya, tak akan pernah lupa, kalau dia melihat ada orang yang berbuat tidak pada tempatnya maka dia akan berkata ”MUTAH ASEE NGIENG BUET MEUNAN”, hingga kini aku masih tidak lupa bagaimana cara dia setiap kami mengucapkan kalimat tersebut.
Paling dia suka adalah maen cabeueng. Dan dari dia lah aku belajar bagaimana maen cabeueng. Disela-sela kesibukan membuat Tabloid Suara Aceh, kita isi dengan main cabang, mengaji dan belajar menulis Bahasa Aceh.
Banyak kenangan suka duka yang tak terlupakan bersama beliau. Kalau bicara masalah perjuangan dia selalu bersemangat. Walaupun sering cara dia menyampaikan kata-kata selalu diikuti tawa dari kami yang dengar.
Pernah juga dia bercerita tentang pengalamannya, ketika dia dengan dua orang temannya datang ke dataran tinggi Gayo. Waktu itu kebetulan bulan Ramadhan, dia bersama temannya mau berbuka puasa di Restoran Yusra Baru Takengon, Sebelumnya mereka belanja di sebuah warung jualan kelontong. Salah seorang temannya melihat benda yang mirip kue lapis di warung itu, maka dibeli lah benda itu tanpa bertanya pada pemilik warung, apa benda itu sebenarnya.
Setelah duduk dengan manis di warung makan tersebut, maka teman Said membuka bungkusan yang dibelinya dari warung kelontong tadi dan meminta piring untuk meletakan benda yang mirip dengan kue lapis itu. Said juga pikir itu adalah kue lapis, “biasalah orang puasa, Nampak sendal pun dikecapin kayaknya enak “(Red).
Setelah beduk berbunyi maka mereka pun memulai dengan minum dan kemudian memulai makan benda yang mirip kue lapis tadi. Pikir mereka kue lapis akan membuat perut jadi nyaman. Ternyata betapa terkejutnya mereka benda yang dianggap kue lapis tadi adalah MINYAK MAKAN, mereka saling pandang dan memuntahkan kembali ”Kue” Minyak Makan tadi dari mulut masing-masing dengan teratur.
Sedikit aku ceritakan kembali kenangan selama di Kuala Lumpur. Ketika kami keluar dari UNHCR Kuala Lumpur Malaysia maka kehidupan pun mulai dari babak baru lagi. Sejak berada di luar, aku jarang sekali bertemu dengan beliau. Karena aku juga punya kesibukan sendiri. Selain membantu teman-teman melanjutkan majalah Suara Aceh di Biro Penerangan. Dan aku juga ada kerja lain, jadi sangat jarang bertemu dengan Said. Sehinggalah suatu hari, dia ku dengar sudah berada di Aceh memimpin pasukan GAM, dan beliau dipercayakan sebagai Gubernur Pase.
Aaaahh Said, semoga luas kuburmu dan semoga Allah menempatkan mu ditempat yang selayaknya, yaitu tempat orang-orang syahid membela agama, negara dan kebenaran.
by Johan Makmor
0 Komentar