Muhammad Rusydi |
PENA News | Kekhususan Aceh dalam bidang otonomi tidak serta merta membuat Aceh sebagai daerah diakui di Indonesia sebagai lumbung suara yang dianggap berharga. Tentu, kita masih ingat tentang metode hitung cepat (quick count) yang diselenggarakan pada setiap Pemilihan Umum. Ibarat orang yang mencicipi makanan berkuah, untuk dapat mengetahui cita rasa makanannya, seseorang tidak perlu menghabisi seluruh makanannya, cukup hanya dengan mencicipi bagian-bagian yang dianggap sudah mewakili semua aspek makanan tersebut.
Demikian pula dengan Pemilihan Presiden Republik Indonesia, untuk mengetahui hasil perolehan suara, kita tidak perlu menunggu selesainya seluruh pemungutan suara, cukup mengambil contoh dari tiap-tiap daerah secara acak yang dianggap memiliki jumlah peserta pemilih yang dominan. Dan, ini yang dianggap sebagai dasar mewakili semua keseluruhan hasil perhitungan akhir.
Hal yang sangat menarik ketika kita menyaksikan proses perhitungan cepat (quick count) diberbagai stasiun televisi yang diselenggarakan oleh berbagai stasiun televisi, bahwa komposisi perolehan pemungutan suara akan stabil. Jika suara yang masuk mencapai sekitar 60 persen dari sample yang diterima.
Jika kita kalkulasikan jumlah suara pemilih yang berada di daerah Jawa dan Madura pada Pemilu tahun 2009 adalah 102.543.365 jiwa atau sekitar 59.87 persen dari seluruh jumlah keseluruhan Rakyat Indonesia yang memilih adalah jauh melampaui syarat mayoritas yaitu 50 persen di tambah dengan 1 suara sehingga mampu menjamin stabilnya kemenangan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Dengan kata lain, jumlah yang sedemikian telah menentukan kemenangan seorang Calon Presiden adalah oleh masyarakat di Pulau Jawa semata.
Suara pemilih di Jawa dan daerah Madura pada Pemilu 2009 adalah sekitar 102.543.365 jiwa di tambah dengan jumlah suara pemilih di Sumatera yang pada tahun 2009 adalah 34.471.777 jiwa. Dan, jika ditotalkan adalah hampir 80 persen suara bersarang di dua daerah tersebut.
Dengan kenyataan ini, harus kita akui bahwa berbagai upaya para calon Presiden dan Wakil Presiden yang melakukan kampanye di luar Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera. Sesungguhnya ini, dapat dianggap hanya basa-basi semata, dan, kita dapat menilai dari prespektif Aceh adalah nihil, tak begitu penting dalam Pemilihan Calon Presiden Republik Indonesia.
Memfokuskan dukungan melalui kampanye di luar Jawa, dari Sabang hingga Merauke sangat menghabiskan biaya, waktu dan tenaga. Serta, pada dasarnya tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap kemenangan seorang calon Presiden.
Jika kita perhitungkan suara pemilih seperti Kalimamtan, Sulawesi, Bali, NTB, NTT, Maluku, Papua bahkan Aceh sekalipun hanya berjumlah 21,2 persen. Jika dikonveksikan hanya satu per lima saja dari semua suara pemilih Nasional sehingga Aceh dan seluruh kawasan di luar Jawa jarang diperhatikan.
Sistem popular votes hanya mampu menjamin kesejahteraan di daerah Pulau Jawa saja. Aceh dan daerah lain tidak termasuk dalam jaminan itu.
Dengan demikian kita telah memahami fakta-fakta yang telah diuraikan dan membuktikan bahwa Aceh dan daerah-daerah lainnya tidak termasuk dalam pemetaan pemungutan suara yang strategis dan acap kali diabaikan oleh para calon Presiden dan Wakil Presiden.
Jika, kita beranggapan bahwa Aceh adalah lumbung suara yang maksimal dan patut diperhitungkan, adalah jawabannya, sangat salah. Jika, kita perhatikan partai-partai yang menganggap dirinya akan kekurangan suara di daerah Jawa maka mereka akan mendekati daerah-daerah yang bisa dan dikuasai sebagai pundi-pundi kecil dalam memungut simpati masyarakat.
Demikian pula dengan Pemilihan Presiden Republik Indonesia, untuk mengetahui hasil perolehan suara, kita tidak perlu menunggu selesainya seluruh pemungutan suara, cukup mengambil contoh dari tiap-tiap daerah secara acak yang dianggap memiliki jumlah peserta pemilih yang dominan. Dan, ini yang dianggap sebagai dasar mewakili semua keseluruhan hasil perhitungan akhir.
Hal yang sangat menarik ketika kita menyaksikan proses perhitungan cepat (quick count) diberbagai stasiun televisi yang diselenggarakan oleh berbagai stasiun televisi, bahwa komposisi perolehan pemungutan suara akan stabil. Jika suara yang masuk mencapai sekitar 60 persen dari sample yang diterima.
Jika kita kalkulasikan jumlah suara pemilih yang berada di daerah Jawa dan Madura pada Pemilu tahun 2009 adalah 102.543.365 jiwa atau sekitar 59.87 persen dari seluruh jumlah keseluruhan Rakyat Indonesia yang memilih adalah jauh melampaui syarat mayoritas yaitu 50 persen di tambah dengan 1 suara sehingga mampu menjamin stabilnya kemenangan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Dengan kata lain, jumlah yang sedemikian telah menentukan kemenangan seorang Calon Presiden adalah oleh masyarakat di Pulau Jawa semata.
Suara pemilih di Jawa dan daerah Madura pada Pemilu 2009 adalah sekitar 102.543.365 jiwa di tambah dengan jumlah suara pemilih di Sumatera yang pada tahun 2009 adalah 34.471.777 jiwa. Dan, jika ditotalkan adalah hampir 80 persen suara bersarang di dua daerah tersebut.
Dengan kenyataan ini, harus kita akui bahwa berbagai upaya para calon Presiden dan Wakil Presiden yang melakukan kampanye di luar Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera. Sesungguhnya ini, dapat dianggap hanya basa-basi semata, dan, kita dapat menilai dari prespektif Aceh adalah nihil, tak begitu penting dalam Pemilihan Calon Presiden Republik Indonesia.
Memfokuskan dukungan melalui kampanye di luar Jawa, dari Sabang hingga Merauke sangat menghabiskan biaya, waktu dan tenaga. Serta, pada dasarnya tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap kemenangan seorang calon Presiden.
Jika kita perhitungkan suara pemilih seperti Kalimamtan, Sulawesi, Bali, NTB, NTT, Maluku, Papua bahkan Aceh sekalipun hanya berjumlah 21,2 persen. Jika dikonveksikan hanya satu per lima saja dari semua suara pemilih Nasional sehingga Aceh dan seluruh kawasan di luar Jawa jarang diperhatikan.
Sistem popular votes hanya mampu menjamin kesejahteraan di daerah Pulau Jawa saja. Aceh dan daerah lain tidak termasuk dalam jaminan itu.
Dengan demikian kita telah memahami fakta-fakta yang telah diuraikan dan membuktikan bahwa Aceh dan daerah-daerah lainnya tidak termasuk dalam pemetaan pemungutan suara yang strategis dan acap kali diabaikan oleh para calon Presiden dan Wakil Presiden.
Jika, kita beranggapan bahwa Aceh adalah lumbung suara yang maksimal dan patut diperhitungkan, adalah jawabannya, sangat salah. Jika, kita perhatikan partai-partai yang menganggap dirinya akan kekurangan suara di daerah Jawa maka mereka akan mendekati daerah-daerah yang bisa dan dikuasai sebagai pundi-pundi kecil dalam memungut simpati masyarakat.
Oleh Muhammad Rusydi
Pengamat Sosial, Politik, Ekonomi,
Seniman dan Budayawan Aceh
Pengamat Sosial, Politik, Ekonomi,
Seniman dan Budayawan Aceh
0 Komentar