PENA News | Sedikit kisah tentang liku-liku MoU Helsinki yang saya ambil dari beberapa komentar teman-teman di ruang dunia maya (facebook). Walapun ini kisah dunia maya, tapi kisah ini banyak kebenarannya dan bisa dipertanggungjawabkan.
Menurut saya begitu menarik sekali pedebatan mereka ini, sehingga membuat saya tergoda untuk merangkumkannya kedalam sebuah tulisan. Barangkali saja ini hanya pepesan kosong bagi sebagian orang, atau juga ini adalah sebuah masukan yang berguna untuk sebagian orang.
Apa yang saya harapkan adalah, dengan hadirnya tulisan seperti ini semoga bisa membuka sedikit ruang pikir kita bersama. Sebenarnya apa yang terjadi dengan MoU Helsinki dan propaganda yang bagaimana yang dilakukan oleh mereka yang mengaku ada di dalam ruang perjanjian itu.
Sebenarnya kita orang Aceh sangat gagah dan berani dalam menghadapi semua masalah. Saya sendiri bisa melihat bukti ini, ketika saya berada di Kuala Lumpur Malaysia. Sejak kecil saya juga sudah melihat kehebatan orang Aceh ini, tapi sayang seribu kali sayang, Aceh selalu menang bertempur tetapi tidak pernah menang perang.
Bertempur dengan senjata atau di dunia diplomasi Aceh tidak pernah kalah, tetapi pada akhirnya kalah juga karena "Tipu Aceh". Itu tipu taktik bukan tipu strategi, dimana kita selalu kalah perang dibidang yang satu ini, yaitu perang strategi.
Sebenarnya banyak pihak yang kurang senang dengan perdamaian ini, terutama Gusdur, Megawati, Wiradinata, diantara yang menentang MoU Helsinki, karena menurut mereka "terlalu banyak konsesi" untuk GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Tetapi UUPA (Undang-Undang Pemerintah Aceh) hanya 30% sesuai MoU Helsinki.
Perang senjata 30 (tiga puluh) tahun dengan segala keganasannya terhadap Rakyat Aceh. Disinilah kita bisa lihat betapa hebatnya Bangsa Aceh, sebab RI tetap kalah bertempur dengan GAM, kalau tidak kalah, mana mau damai?
Walau bagaimanapun kita harus akui juga kehabatan lawan kita ini, sebab lawan kita ini, kalah dalam bertempur, tapi seperti yang kita tulis di atas, mereka selalu menang didalam perang. Bahkan dengan Belanda, setelah 350 tahun diperintah Belanda, bukan Jawa ”berwujud” Belanda. Tapi Belanda ”menjadi” Jawa, coba saja ke Amsterdam kebanyakan toko bisa Bahasa Indonesia Jawa (ngak), berapa toko di Jakarta bisa Bahasa Belanda?
Berbagai taktik mereka lakukan agar kita kalah dalam bertempur, tapi kita Aceh bukanlah bangsa yang mudah kalah dalam hal bertempur, salah satu contok ketika dalam meja perundingan, RI (Republik Indonesia) minta tanggal penandatangan pada 16 Agustus, bertepatan dengan 17 Agustus di Indonesia.
Tetapi GAM sudah perhitungkan taktik itu dan menolak dengan mentah usulan mereka itu, maka kita dari GAM tidak menandatangani perjanjian kesepahaman itu pada tanggal keramat Indonesia. Sebaliknya GAM bersikeras agar perjanjian persepahaman itu ditandatangani pada tanggal 15 Agustus... Another battle won for us GAM dan Rakyat Aceh!
Tidak cukup dengan itu, Indonesia bersikeras agar jangan dimasukkan kata-kata, bahwa Aceh boleh mempunyai Partai Lokal (Partai Lokal). Dan dalam hal ini juga GAM memberi harga mati yang betul-betul mati, serta Indonesia mengalah, another battle won for us GAM dan Rakyat Aceh tentunya, tetapi semua ini ditiadakan setelah UUPA lahir, another war lost for us GAM. Dalam hal ini mungkin GAM saja yang kalah, bukan rakyat Aceh. Sebab rakyat Aceh kurang dilibatkan dalam hal UUPA ini. In tis case, GAM yang kalah.
Semua kekuatan ini tidak terlepas dikarenakan Aceh selalu punya prajurit yang gagah berani dan pandai bertempur dan ikhlas. Tetapi jendral-jenderal yang kurang ilmu dalam bidang strategi dan yang selalu mementingkan diri sendiri yang telah memporak porandakan barisan depan.
Tidak heranlah bahwa keadaan begini sudah dari zaman purbakala ada di Aceh. Ketika Aceh menyerang dan menaklukkan Pahang karena Sultan Pahang mau teken perjanjian persahabatan dengan Melaka (Portugis), tapi ujung-ujungnya apa yang terjadi, sampai kini kita harus ikut Kanun Putroe Phang. Sadar atau tidak, tapi itulah kenyataannya yang telah terjadi, cuma herannya kita tak pernah belajar dari kesilapan demi kesipan yang telah dilakukan itu.
Kembali ke persoalan dalam ”Lingkaran Setan” MoU, dimana yang terjadi pula kepada Partai Lokal, seperti calon independen, akhirnya akan diterapkan secara Nasional. Tetapi nyaris saja Aceh tidak punya calon independen dan hanya satu partai lokal.
Dan tak kurang herannya hampir setiap klausal UUPA, ada ”ekor”; sesuai dengan prosedur, norma dan standar nasional yaitu kekuasan atas UUPA ada pada Mendagri. Sekali lagi kita kalah dalam perang strategi.
Padahal waktu itu Indonesia sudah tawarkan satu Partai Politik berbasis Aceh berkarakter Nasional, mengambil alih keudukan gubernur dan wakil gubernur, serta beberapa kabupaten untuk GAM. Kita menolak dan bersikeras menghendaki local parties... Ini semua bukan rahasia, dikomentari secara luas oleh pers pada saat itu.
Ketika GAM mengeluarkan statement, "We refuse backdoor sweetheart deal" (memberi hadiah kepada kekasih melalui pintu belakang). Kita mau Pemilu dan merebut kekuasaan di Aceh melalui Pemilu yamg terbuka untuk siapa saja, bukan hanya untuk GAM dengan satu partai.
Dan ketika kejadian itu terjadi maka GAM di Stockholm menunjuk Ampon Man (Teuku Kamaruzzaman) sebagai wakilnya untuk ke Jakarta untuk mempersiapkan UUPA. Tetapi Ampon Man terlalu sibuk dengan BRR dan menunjuk Faisal Putra yang tidak ngerti sama sekal tentang MoU untuk menggantikannya.
Akhirnya inisiatif diambil oleh A. Farhan Hamid cs (anggota DPR dari Aceh, saat ini DPD). usul merekalah yang akhirnya diajukan Pemerintah Republik Indonesia ke DPR, yang menentukan antara lain, calon independen hanya untuk satu kali Pemilu saja, yang terang-terangan bertentangan dengan MoU.
Usul dari GAM dan kawan-kawan dari SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) serta ibu Mariati di Hotel Sulthan, juga usul Pemda Aceh (Azwar Abubakar, Gebernur Aceh saat itu) maupun usul tiga Universitas di Aceh, ”Semua Dikesampingkan”. Sekali lagi kita kalah dalam strategi sebab telah memberi kepercayaan kepada orang yang bukan seharusnya kita beri kepercayaan dalam mengurus rumah tangga kita.
Ada polemik yang mengatakan bahwa Bambang Darmono ikut andil dalam meja perundingan, dan telahpun diterbitkan sebuah buku oleh dia dan rekannya, tetapi pada hakikatnya, Bambang Darmono tidak ikut berunding. Team Perudimg tidak bisa diganti, itu Peraturan Mutlak Marrti Ahtisaari.
Dia hanya datang sebagai anggota support team (Indonesia punya enam kementerian, semua kedutaannya d Eropa, menyewa satu hotel penuh sebagai team support) GAM hanya punya empat orang: Hadi, Munawarliza, Shadia Marhaban dan Irwandi.
Bambang Darmono hanya beberapa hari saja disana, dia itukan expet electronic detection, sekolah militernya di Texas. Secara kebetulan waktu itu laser beam dari lap top ke laptop kami simpang siur. Lalu Munawar cepat-cepat putuskan link antara laptop kami dan mulai saat itu laptop kami terpisah (tidak linked up lagi). Kalau pindah file, pakai flash disk. kami panggil security, tidak dapat dijumpai. Munawar Liza telah dapat mendeteksi sampai ke alat yang digunakan, yaitu Sony. Kita menang dalam perang ini.
Dari kejadian demi kejadian itu maka timbuk juga dibenak kita untuk bertanya: “Kalau butir-butir perjanjian MoU Helsinki tidak berjalan sebagaimana mestinya, bolehkah para pihak yang dirugikan merundingkan kembali atau membatalkannya. Kalau hal ini boleh dilakukan, kemana harus di tuju?”
Tentu kita tidak bisa lupa bahwa ada dua hal yang harus kita pertimbangkan, yaitu teori legalisme dan realitas yang harus kita hadapi. Dari segi legalismenya, setiap perjanjian, apakah antar individu atau kelompok atau negara, pelanggaran oleh satu pihak, memberi hak kepada yang satu lagi untuk tetap menerima, menerima sebahagiannya atau menolak sama sekali (membatalkan).
Dalam hal ini, sudah jelas RI melanggar MoU, jadi itu memberi hak kepada Aceh untuk tetap menerimanya. Menerima dengan beberapa perubahan, membatalkannya sama sekali, apakah sekarang, kalau sanggup dan mau, atau oleh generasi yang akan datang, seperti GAM membatalkan Lamteh.
Dari segi ketentuan MoU sendiri, ada mekanisme kalau ada dispute (Artikel 6) harus dirundingkan kembali oleh pimpinan tertinggi kedua belah pihak untuk kembali ke Helsinki. Tetapi dalam realitasnya ini tidak mungkin lagi, karena EU (Uni Europa) sudah lari dari tanggngjawabnya sebagai guarantor. Dan, Indonesia tidak mau lagi ke Helsinki, karena mengaggap konflik Aceh sudah selesai, serta tidak ada siapapun saat ini yang bisa atau menekan Indonesia untuk kembali ke Helsinki.
Jawabannya ada pada Rakyat Aceh sendiri. mau terus cakar-cakaran, atau bersatu menuntut hak sebagaimana tertera dalam MoU Helsinki, dan menuntut Indonesia supaya mengamandemen UUPA. Namun, kalau sebagian orang Aceh sendiri sudah mensakralkan UUPA, bagaimana Jakara tidak tertawa?
Tetapi dari segi kebijakaanaan, kita beranggapan Pemerinta Pusat sudah mengambil langkah yang berbahaya untuk keutuhan Republik itu sendiri, karena walaupun dalam jangka pendek RI sudah berhasil menumpaskan dan membuat GAM kucar kacir tanpa menggunakan senjata, tetapi dalam jangka panjang, ini adalah bom waktu yang disuatu hari nanti akan memberi hak kepada seorang Hasan Tiro yang baru untuk membangkitkan kembali nasionalisme Aceh atas dasar "penipuan" oleh pihak RI, seperti almarhum Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro membangunkan semangat Rakyat Aceh atas dasar penipuan Lamteh. Maka Aceh akan kembali kedalam ranah konflik lagi. Tapi tentu bukan itu yang kita maukan lagi, sebab itulah kita harus selalu komitmen atas apa yang telah kita sepakati bersama.
Apalagi dalam keadaan geo politik sekarang ini, mana ada negara mau mati-matian membela negara lain? Kita harus sanggup menerima dan hidup dalam realitas zaman sekarang. Narsi-Narsi, Amerika Serikat (AS) sekarang ekonominya lemah, musuhnya banyak, hutangnya lebih banyak lagi.
AS takut sama Cina dan harapannya adalah Indonesia menjadi benteng pertahanannya yang pertama, seperti Turki dalam menghadapi Soviet Union dulu. Jadi jangan mimpi AS akan datang membantu Aceh, walaupun Aceh pihak yang benar.
Eropa lebih parah lagi, selain dari Jerman, semua negara Eropa sudah atau mau bangkrut. Eropa juga sangat mengharapkan bantuan Indonesia, terutama dari sumber-sumber alamnya. Jadi dalam keadaan dunia begini, Bangsa Aceh hanya bisa percaya kepada Rakyat Aceh. Itu realitasnya.
RI sedang naik daun. kalau Jakarta berhasil memberantas korupsi maka. Indonesia akan jadi sebuah negara besar yang kuat ekonominya dan dengan ekonomi yang kuat. Indonesia juga akan sanggup memperkuat militernya. Dan, Indonesia jadi murat marit karena korupsi. demokrasi sudah berjalan, desentralisasi sudah mengakhiri kemungknan terjadinya Balkanisasi.
Dan, pada akhirnya kita harus rubah cara kita berpikir. Lupakan impian Iskandar Muda, seperti Roman Empjre, Ottotaman, British Empire.., Itu sudah berlalu, sedangkan Great Britain yang punya bom nuklir, tahun depan mungkin lenyap, dengan keluarnya Scotland maka tinggallan England saja, dengan penduduknya yang sudah multicultural-multi religious, multi-ethnic.
Kita harus sedar bahwa Bangsa Aceh sekarang ini adalah bangsa yang kecil, 5 juta, 20% non-Acehnese, dalam lautan 230 juta Bangsa Indonesia. Bangsa yang mulia? Itu nenek moyang kita, bukan kita.
Bangsa kita sekarang suka mengemis, korupsi dan menipu. itu realitas yang harus kitta terima. Tugas kita kedepan adalah pendidikan, yang hanya bisa dicapai dengan ekonomi yang kuat. Aceh punya banyak potensi, berbagai macam hasil bumi, tetapi sebagian besar rakyat kita masih miskin dan bodoh. Orang pasti marah saya berkata begini, tetapj bukankah kebodohan yang membuat mereka menerima janji dapat 1 juta (satu juta) sebulan setiap keluarga dan naik haji gratis?
Bagaimana kita bisa makmur, jangankan membangun ekonomi, uang yang ada tidak bisa kita habiskan dengan baik? Anak bangsa ini harus disekolahkan, harus pandai untuk hidup bersaing dengan bangsa-bangsa lain di Indonesia, bahkan di dunia. Lihat Finland, New Zealand, Singapore, negara-negara kecil yang kurang hasil bumi tetapi makmur dan dipandang tinggi oleh dunia.
Kita tidak akan bisa maju dengan terus menerus berpikir untuk berperang. Dalam peperangan yang pertama-pertama terkorban adalah yang berwatak mulia, patriotik dan berani. Mereka yang berani berdiri di garis depan. Kita harus ada 50 (lima puluh) Surya Paloh, Adnan Gantoe, tetapi yang orientasinya ke Aceh, bukan berkiblat ke Jakarta. Ini tidak akan tercapai kalau sebagian kita masih mengamggap diri lebih tinggi dan lebih mulia yang lain. Bagaimana kita bisa maju kalau diantara kita ada Seri Paduka Baginda, yang lebih mementingkan istana daripada beasiswa anak sekolah?
Yang harus kita pahami adalah, GAM tidak berunding dengan Bangsa Jawa tetapi dengan Pemerintah Indonesia, Sofyan Jalil waktu itu Menteri Infokom. Bahkan para perunding utama berasal dari Makassar dan Bali, ini yang harus kita ingat dan pahami.
Seperti yang telah kami katakan di atas tadi, tulisan ini bukanlah untuk mempengaruhi anda agar menentang sesiapa saja. Tapi, tulisan ini untuk mengajak untuk Bangsa Aceh memandang ke depan, menerima realitas yang ada, bahwa nasib Bangsa Aceh terletak ditangan Bangsa Aceh sendiri.
Lebih dan kurang kami team PENA meminta maaf. Manalah tahu ada kata-kata yang kurang berkenan di hati anda, maka sekali lagi kami menghaturkan maaf. Ini hanyalah sebuah coretan kecil yang kami ambil dari pedebatan di sebuah dunia maya. Terimakasih kami ucapkan kepada anda yang telah meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini.
Salam Damai dari Rekan PENA
Untuk Semua Bangsa Aceh Dimana Saja Anda Berada.
Coretan ini dari berbagai sumber dan diedit oleh Team PENA
Johan Makmor dan A. Farhan Abus
2 Komentar
ini suatu masukan yg menut saya ada benar dan ada salah,, namun yg menjadi pertanyaan apa langkah kita selaku bangsa aceh yg sepatutnya kita lakukan,, pandangan dari pihak PENA
BalasHapusMungkin ini menurut hemat saya apa yang telah di sepakati atas kesepahaman didalam MoU antara RI dan GAM ini harus dijalankan sebagaimana mestinya didalam butir-butir yang telah disepakati, kalau ini terkendala bisa jadi akan terjadi konflik baru yang tidak kita inginkan, GAM harus komit apa yang telah disepakati didalam perundingan, mungkin rakyat aceh tidak mengenal yang namanya mantan GAM segala reaksi dan aksi telah diperbuat dimasa konflik tetap ada pertanggungjawaban secara hukum, untuk umur perundingan 10 tahun perlu kajian ulang sejauh mana yang telah diterapkan,..
Hapus