Awalnya dicemooh. Lama-lama, pada berguru padanya. Pengabdiannya yang luar biasa untuk kampung halamannya patut dijadikan inspirasi |
PENA News | “KALAU mau jadi petani, kan tidak perlu kuliah. Sayang banget Gelar Sarjana dan ijazah yang kamu dapat,” begitulah tetangga-tetangganya mencibirnya.
Saein, sosok paruh baya yang dicibir itu lulusan Institut Pertanian Bogor tahun 1995. Ia putera asli Purbalingga, sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang telah menguji-cobakan pertanian modern seluas 10 ribu hektar. Saein kembali ke tanah kelahirannya setelah sempat bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Padi Sukamandi, dan juga pernah bekerja sebagai tenaga lapangan di proyek Pengendalian Hama Terpadu (PHT) IPB.
Selama bekerja di dua tempat tersebut, kata hatinya selalu mengajaknya untuk pulang ke kampung halaman dan menjadi petani.
“Ayah saya dan keluarga saya semuanya petani. Saya tahu suka duka hidup sebagai petani. Berbekal ilmu dari kuliah di IPB, dan pengalaman meneliti, akhirnya saya bertekad bulat pulang kampung. Itu terjadi tahun 1998,” ujar putra asli Bukateja, Purbalingga, kepada inspirasibangsa.com, portal berita berjejaringan wartablora.com.
Di lingkungannya, telah muncul anggapan jika seorang lulusan sarjana tak seharusnya jadi petani. Kesuksesan seseorang di lingkungannya diukur dari pangkat dan jabatan. Menurut lingkungannya, adalah aneh jika ada sarjana dari perguruan tinggi terkemuka mau menempuh hidup di desa sebagai petani gurem.
“Saya hanya berdo’á agar suatu saat mereka bisa menyadari bahwa keputusan yang saya ambil dan tindakan yang saya tempuh adalah benar. Saya menyikapi semua hal itu dengan tenang. Di sisi lain, saya juga sangat bersyukur, karena keputusan saya dalam bertani mendapat dukungan penuh dari keluarga,” kata bapak dua anak ini.
Memang tak banyak mahasiswa yang setelah sukses meraih gelar sarjana bersedia kembali pulang untuk membangun kampung halamannya. Namun, Saein adalah satu diantaranya. Ia memobilisasi para petani untuk kembali ke pertanian organik yang ramah lingkungan.
Begitu tamat dari IPB Bogor tahun 1995, ia bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Bogor dengan status honorer. Merasa bukan dunianya berkutat di laboratorium penelitian, akhirnya ia hanya bertahan setengah tahun, lalu menyatakan ke luar. Selanjutnya ia pindah kerja sebagai tenaga lapangan di Proyek Pengendalian Hama Terpadu (PHT) IPB. Di tempat kerja terakhir itu, hanya bertahan dua tahun. Panggilan hatinya berkata, ingin pulang kampung, membangun bidang pertanian di desanya, Bukateja.
Berbekal sawah warisan dari orang tuanya seluas 0,8 hektar yang berada di Dusun Bukateja Kulon dan Gual Lele Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja, Purbalingga, Saein hidup sebagai petani. Namun bukan sembarang petani biasa yang ia lakoni.
Tak bergantung pada bantuan pemerintah atau asing, ia merogoh koceknya sendiri yang ia sisihkan dari hasil tak seberapa sebagai petani untuk riset pupuk dan pestisida organik, serta bibit padi. Bagi Saein, segala karya dan temuannya dicurahkan sepenuhnya untuk para petani di kampungnya. Saein berupaya mengembangkan pertanian ramah lingkungan, dengan membuat pupuk dan pestisida organik.
Perlahan namun pasti, ratusan petani di Bukateja kini banyak yang meniru langkah pria ini. Saein juga tak mengenal lelah untuk melakukan serangkaian penelitian di lapangan. Yakni melakukan penyilangan beragam varietas padi unggulan yang menghasilkan 10 varietas padi baru. Salah satunya diberi nama “Mutiara“, hasil persilangan padi Wulung dan Pandanwangi. Diberi nama “Mutiara”, karena bentuk berasnya bulan lonjong seperti mutiara, dan warnanya mengkilat.
Varietas “Mutiara” temuan Saein ini memiliki sejumlah keunggulan. Yakni sangat hemat pupuk, tahan penyakit busuk daun, produksinya tinggi (rata-rata 6,7 ton per hektar dan produksi tertinggi 8,4 ton/hektar), butiran beras tidak mufah patah, tahan wereng, rasa nasinya pulen, dan rendemannya tinggi. Untuk tingkat rendeman tinggi ini, jika diselep di mesin penggilingan padi, gabah 1 kwintal dari varietas padi “Mutiara” bisa menghasilkan 65-67 kg.
Tanpa bermaksud mengkomersialkan diri, dan tetap mengedepankan aspek sosial, bibit padi varetas “Mutiara” itu kini juga dijual di rumah Saein di Jl. Kecombron No. 2 RT/RW 02/VI Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja, Purbalingga. Ia jual per kg seharga Rp 7.000.
Sistem penjualannya secara gethok tular — dari mulut ke mulut. Mengingat Saein juga sering diundang untuk menularkan kepiawaiannya itu hingga ke berbagai kota seperti di Jogja, Jabar dan Jatim, maka varietas padi Mutiara itu pun kian dikenal.
Sayangnya, varietas padi itu belum bersertfikat. Pria peraih penghargaan “Kehati Awards” tahun 2009 untuk Kategori Cipta Lestari Kehati mengaku, kendala biaya dan birokrasi yang menjadikan ia belum mengurus sertifikat untuk padi temuannya itu.
Sejumlah petani mengakui, berkat kiprah Saein, ratusan petani di Bukateja kini bisa merasakan manfaatnya. Para petani pun tak segan menyediakan lahan uji coba secara gotong royong. Untuk Saein sendiri, dari 0,8 hektar lahan miliknya, sekitar 20 ubin digunakan untuk riset dan penelitian.
“Dari apa yang sudah saya lakukan, saya melihat kini kehidupan petani di lingkungan saya sudah terlihat lebih sejahtera, seiring makin berkurangnya ketergantungan mereka terhadap benih padi dan pupuk yang terus melambung mahal,” ujarnya.
Saein memang sosok petani intelek yang tak kenal lelah. Ia yang belakangan tinggal di Desa Penaruban, Kecamatan Kaligondang, Purbalingga, istrinya Sri Lestari asli Desa Penaruban, setiap hari harus bolak-balik sejauh kurang lebih 30 km pulang pergi, demi untuk memajukan pertanian di wilayah Kecamatan Bukateja dan sekitarnya. Ia pun terus melakukan riset dan penelitian. Bukan untuk mencari pengakuan diri, tapi semata-mata untuk kemandirian para petani di sekelilingnya.
“Jalani hidup apa adanya. Hidup itu ibadah. Saya ingin mengamalkan ilmu itu sebagai ibadah, demi memajukan nasib petani di lingkungan saya,” ujar peraih penghargaan Liputan 6 Awards – SCTV tahun 2011 untuk kategori “Inovasi”.
Saein juga memiliki kesenangan bila saat mendapatkan hasil panen yang bagus. Selain itu juga apabila bisa membantu sesama petani dalam mendapatkan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Apabila rekomendasi atau anjuran yang diberikan ternyata dijalankan oleh petani dan terbukti membuahkan hasil, maka hal itu menjadi kepuasan tersendiri. (*)
Saein, sosok paruh baya yang dicibir itu lulusan Institut Pertanian Bogor tahun 1995. Ia putera asli Purbalingga, sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang telah menguji-cobakan pertanian modern seluas 10 ribu hektar. Saein kembali ke tanah kelahirannya setelah sempat bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Padi Sukamandi, dan juga pernah bekerja sebagai tenaga lapangan di proyek Pengendalian Hama Terpadu (PHT) IPB.
Selama bekerja di dua tempat tersebut, kata hatinya selalu mengajaknya untuk pulang ke kampung halaman dan menjadi petani.
“Ayah saya dan keluarga saya semuanya petani. Saya tahu suka duka hidup sebagai petani. Berbekal ilmu dari kuliah di IPB, dan pengalaman meneliti, akhirnya saya bertekad bulat pulang kampung. Itu terjadi tahun 1998,” ujar putra asli Bukateja, Purbalingga, kepada inspirasibangsa.com, portal berita berjejaringan wartablora.com.
Di lingkungannya, telah muncul anggapan jika seorang lulusan sarjana tak seharusnya jadi petani. Kesuksesan seseorang di lingkungannya diukur dari pangkat dan jabatan. Menurut lingkungannya, adalah aneh jika ada sarjana dari perguruan tinggi terkemuka mau menempuh hidup di desa sebagai petani gurem.
“Saya hanya berdo’á agar suatu saat mereka bisa menyadari bahwa keputusan yang saya ambil dan tindakan yang saya tempuh adalah benar. Saya menyikapi semua hal itu dengan tenang. Di sisi lain, saya juga sangat bersyukur, karena keputusan saya dalam bertani mendapat dukungan penuh dari keluarga,” kata bapak dua anak ini.
Memang tak banyak mahasiswa yang setelah sukses meraih gelar sarjana bersedia kembali pulang untuk membangun kampung halamannya. Namun, Saein adalah satu diantaranya. Ia memobilisasi para petani untuk kembali ke pertanian organik yang ramah lingkungan.
Begitu tamat dari IPB Bogor tahun 1995, ia bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Bogor dengan status honorer. Merasa bukan dunianya berkutat di laboratorium penelitian, akhirnya ia hanya bertahan setengah tahun, lalu menyatakan ke luar. Selanjutnya ia pindah kerja sebagai tenaga lapangan di Proyek Pengendalian Hama Terpadu (PHT) IPB. Di tempat kerja terakhir itu, hanya bertahan dua tahun. Panggilan hatinya berkata, ingin pulang kampung, membangun bidang pertanian di desanya, Bukateja.
Berbekal sawah warisan dari orang tuanya seluas 0,8 hektar yang berada di Dusun Bukateja Kulon dan Gual Lele Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja, Purbalingga, Saein hidup sebagai petani. Namun bukan sembarang petani biasa yang ia lakoni.
Tak bergantung pada bantuan pemerintah atau asing, ia merogoh koceknya sendiri yang ia sisihkan dari hasil tak seberapa sebagai petani untuk riset pupuk dan pestisida organik, serta bibit padi. Bagi Saein, segala karya dan temuannya dicurahkan sepenuhnya untuk para petani di kampungnya. Saein berupaya mengembangkan pertanian ramah lingkungan, dengan membuat pupuk dan pestisida organik.
Perlahan namun pasti, ratusan petani di Bukateja kini banyak yang meniru langkah pria ini. Saein juga tak mengenal lelah untuk melakukan serangkaian penelitian di lapangan. Yakni melakukan penyilangan beragam varietas padi unggulan yang menghasilkan 10 varietas padi baru. Salah satunya diberi nama “Mutiara“, hasil persilangan padi Wulung dan Pandanwangi. Diberi nama “Mutiara”, karena bentuk berasnya bulan lonjong seperti mutiara, dan warnanya mengkilat.
Varietas “Mutiara” temuan Saein ini memiliki sejumlah keunggulan. Yakni sangat hemat pupuk, tahan penyakit busuk daun, produksinya tinggi (rata-rata 6,7 ton per hektar dan produksi tertinggi 8,4 ton/hektar), butiran beras tidak mufah patah, tahan wereng, rasa nasinya pulen, dan rendemannya tinggi. Untuk tingkat rendeman tinggi ini, jika diselep di mesin penggilingan padi, gabah 1 kwintal dari varietas padi “Mutiara” bisa menghasilkan 65-67 kg.
Tanpa bermaksud mengkomersialkan diri, dan tetap mengedepankan aspek sosial, bibit padi varetas “Mutiara” itu kini juga dijual di rumah Saein di Jl. Kecombron No. 2 RT/RW 02/VI Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja, Purbalingga. Ia jual per kg seharga Rp 7.000.
Sistem penjualannya secara gethok tular — dari mulut ke mulut. Mengingat Saein juga sering diundang untuk menularkan kepiawaiannya itu hingga ke berbagai kota seperti di Jogja, Jabar dan Jatim, maka varietas padi Mutiara itu pun kian dikenal.
Sayangnya, varietas padi itu belum bersertfikat. Pria peraih penghargaan “Kehati Awards” tahun 2009 untuk Kategori Cipta Lestari Kehati mengaku, kendala biaya dan birokrasi yang menjadikan ia belum mengurus sertifikat untuk padi temuannya itu.
Sejumlah petani mengakui, berkat kiprah Saein, ratusan petani di Bukateja kini bisa merasakan manfaatnya. Para petani pun tak segan menyediakan lahan uji coba secara gotong royong. Untuk Saein sendiri, dari 0,8 hektar lahan miliknya, sekitar 20 ubin digunakan untuk riset dan penelitian.
“Dari apa yang sudah saya lakukan, saya melihat kini kehidupan petani di lingkungan saya sudah terlihat lebih sejahtera, seiring makin berkurangnya ketergantungan mereka terhadap benih padi dan pupuk yang terus melambung mahal,” ujarnya.
Saein memang sosok petani intelek yang tak kenal lelah. Ia yang belakangan tinggal di Desa Penaruban, Kecamatan Kaligondang, Purbalingga, istrinya Sri Lestari asli Desa Penaruban, setiap hari harus bolak-balik sejauh kurang lebih 30 km pulang pergi, demi untuk memajukan pertanian di wilayah Kecamatan Bukateja dan sekitarnya. Ia pun terus melakukan riset dan penelitian. Bukan untuk mencari pengakuan diri, tapi semata-mata untuk kemandirian para petani di sekelilingnya.
“Jalani hidup apa adanya. Hidup itu ibadah. Saya ingin mengamalkan ilmu itu sebagai ibadah, demi memajukan nasib petani di lingkungan saya,” ujar peraih penghargaan Liputan 6 Awards – SCTV tahun 2011 untuk kategori “Inovasi”.
Saein juga memiliki kesenangan bila saat mendapatkan hasil panen yang bagus. Selain itu juga apabila bisa membantu sesama petani dalam mendapatkan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Apabila rekomendasi atau anjuran yang diberikan ternyata dijalankan oleh petani dan terbukti membuahkan hasil, maka hal itu menjadi kepuasan tersendiri. (*)
SUMBER: www.wartablora.com
0 Komentar