PENA News | Saya datang ke Denmark pada tahun 2005, diawal-awal proses perdamian GAM dan RI. Disaat tersebut saya sempat mengikuti upacara Milad GAM 4 Desember 2005 di Denmark. Negara Denmark, saya ketahui dari informasi, salah satu Negeri di belahan Scandinavia ini melalui cerita dari rekan-rekan dan melihat di TV maupun film-film barat.
Negara empat musim ini, tanpa sadar telah saya “sentuh” pada hari itu. Dan, saya sudah sampai kesini pertama-tama seakan-akan bagaikan bermimpi. Dimana saya boleh datang ke Denmark dikarenakan mendapat Suaka Politik (Refugee) akibat konflik Acheh yang berkepanjangan pada saat itu.
Sejak saat itu lah, menambahkan keyakinan pada diri saya, bahwa tidak ada yang tak mungkin dengan kuasa dan kehendak Allah SWT, KUN FAN YA KUN. Dengan adanya perang di Acheh telah “mendamparkan” saya di Negara Denmark.
Ketika saya sudah menghirup udara dingin di Negara Denmark, teringat kata-kata kawan-kawan dahulu di Acheh, orang-orang yang hidup di Malaysia begitu hebat-hebat. Dan, begitu saya sampai di Malaysia sudah lain kalimat lagi terdengar, bahwa orang-orang kita yang tinggal di Europa lebih hebat-hebat lagi.
Mereka selalu sibuk berkerja untuk negaranya (sibok puebuet buet keu nanggroe) yaitu mengabdi untuk Bangsa dan Negaranya. Begitu berada di Denmark, dan sudah melihat sendiri dengan mata kepala saya sendiri bahwa, apa yang belaku di Scandinavia, kita tak mungkin bilang tidak hebat sehingga perlu adanya pengakuan yang sejujur-jujurnya.
Tapi, bagi mereka-mereka yang telah menetap di Denmark, kalau kita bilang hebat, tidak juga, maknanya biasa-biasa saja. Ini semua, dikarenakan Warga Negara Denmark lebih banyak menghabiskan waktu untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan, tanpa mengenal usia.
Selesai di jenjang pendidikan mereka langsung beralih kelapangan pekerjaan yang sudah disediakan oleh kerajaan dan pihak swata sesuai keahlian atau jurusan untuk mendongkrak ekonomi Negara dalam mensejahtrakan kehidupan masyarakatnya. Dan Keluarga bahagia. Disinilah, begitu besar rasa tanggungjawab sebagai Warga Negera yang betul-betul merdeka.
Saya memulai hidup baru di Negara Denmark, bukanlah hal yang mudah. Bagi saya pada saat itu terus terpikir kedepan, dikarenakan harus berhadapan dengan banyak orang dan tentu saja saya harus banyak belajar dengan cara-cara kehidupan yang baru pula sesuai undang-undang di negara yang penuh dengan sistem dekmokrasi. Begitulah, menurut pemikiran saya ketika itu. Dalam melakukan sesuatu dan akan berhadapan dengan banyak tantangan, tapi pengalaman itu sudah pernah saya tempuh disaat berada di Malaysia.
Dalam menyesuaikan diri di lingkungan Bangsa lain, seperti di Denmark, tetap terasa asing tidak sama halnya dengan di Asia. Kehidupan dalam Masyarakat Denish sangat berbeda dengan cara kehidupan kita Acheh. Orang Denish (Denmark) murah senyum, tapi mereka tidak ada (Small Talk) Tidak Banyak Basa-Basi dengan kita bila mereka belum mengenal kita.
Bukan hanya dengan kita, sesama orang Denish sendiri juga bersikap demikian, dan kalau mereka sudah mengenal kita baru mereka bilang kita bangsa yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Kehidupan bermasyarakat di Denmark, terbentuk atas dasar penghormatan pada diri individu-individu di dalamnya, dan rasa tanggungjawab bersama dalam masyarakat, baik dalam kaitan dengan keluarga maupun masyarakat secara keseluruhan.
Hal ini, dikarenakan mereka sudah dididik semenjak dari kecil untuk hidup mandiri (selvstændig), tanggungjawab pada setiap aspek kehidupan sehari-hari. Kebebasan untuk berbicara berarti seseorang bebas untuk mengeluarkan pendapat dan mengekspresikan apa yang dirasakan maupun dipikirkan. Kebebasan berekspresi dalam bentuk tulisan, ucapan, atau bentuk-bentuk lainnya.
Namun, tentunya kebebasan itu tetap harus dapat dibertanggungjawabkan yang berkaitan dengan hukum dan aturan yang berlaku. Seseorang dapat dihukum bila menghina kehormatan orang lain atau mengancam orang/pihak lain, misalnya yang berkaitan dengan kepercayaan dll.
Bukan ingin memuji orang Denish Denmark tapi realitanya memang begitu kehidupan mareka yang bukan Agama Islam, tapi mareka begitu taat kepada hukum negara atau aturan-aturan dasar. Terkait bagaimana negara ini diperintah dan untuk memastikan hak-hak dasar dan kebebasan warga negara mareka tersebut.
Kita sebagai orang Islam di Bumi Serambi Mekkah, Acheh tapi masih banyak yang tidak taat akan hukum agama Islam. Kita berbeda pendapat saja sudah main bunuh membunuh sesama bangsa sediri dan sesama agama sediri. Dimana, juga rasa taat kepada hukum Agama Islam orang- orang kita di Acheh?
Nah, Saya ingin menyentuh diawal-awal proses perdamian GAM dan RI, karena Negara Denmark tempat mufakat Bangsa Acheh (Sigom Donja) di FJERRITSLEV – DENMARK pada tanggal 6-7 April 2005 seluruh Dunia. Banyak dari Tokoh-Tokoh GAM dan Tokoh-Tokoh Masyarakat Acheh yang datang ke Denmark hingga adanya satu kesepakatan dan kesesimpulan kita akan terima Nota MoU Helsinki.
Dan dilain segi, saya terus meranjak diri untuk membangun kebersamaan dalam jamaah Masyarakat Acheh di Denmark. Baik itu dari segi perjuangan Acheh Merdeka, memperjuangkan nilai-nilai ke-Aceh-an di luar negeri. Dan bahkan ikut mengkampayekan kekerasan masyarakat sipil di Aceh yang dilakukan oleh TNI/POLRI, kepada masyarakat Denmark dan masyarakat International bersama kawan-kawan ketika perang terjadi di Aceh.
Sambil membuat sesuatu semampunya di Denmark untuk Bangsa Aceh. Saya terus melirik dan mencoba menggali informasi dari “Jamaah” Acheh di Denmark sebagai tuan rumah dalam pelaksanaan ”Kongres RAPAT KEURIDJA NEUGARA ATJEH BAN SIGOM DONYA yang dilakukan di FJERRITSLEV – DENMARK pada tanggal 6-7 April 2005 ”.
Ini masih menjadi tanda tanya besar bagi Bangsa Acheh, karena sampai hari ini hasil kongres tersebut masih misterius dan beku. Tentu saja tidak sedikit yang bertanya-tanya, siapa saja tokoh-tokoh yang hadir pada deklarasi itu, dari perwakilan negara-negara mana saja dan apa saja gagasan yang mereka dicetuskan untuk menentukan arah perjuangan Bangsa Acheh ke depan setelah Acheh dilanda musibah Tsunami 26/12/12?
Memang dalam galian sesuatu informasi tidak gampang, apalagi dalam mengali informasi dengan istilah ”Rahasia Nanggroe”cetusnya sambil tersenyum. Karena semua dokumen acara itu sudah dikirim ke Kantor Pusat GAM di Swedia (ketika masih ada Kantor GAM)!.
Untuk mengoreksi kebenaran sejarah, pada akhirnya saya bisa juga mendapat sedikit informasi tentang hasil Meufakat delapan tahun silam Bangsa Acheh, Ban Sigom Donja di Denmark. Yang menghadiri acara kongres pada waktu itu tentu saja bukan masyarakat awam tetapi orang-orang yang berpengaruh, baik dari tokoh-tokoh GAM serta tokoh-tokoh sipil Acheh dari beberapa negara untuk mengambil sikap menuju tahap negosiasi perdamaian Helsinki, antara Gerakan Acheh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia (RI).
Dalam pengembangan hasil pertemuan dua hari tersebut, teryata mereka menghasilkan delapan buah poin yang kongkrit. Salah satunya adalah Peukong Hubungan Keuridja antara Maseng-Maseng Nanggroe yang Na Waki Bangsa Acheh, yang Teuleubeh Peunteng dalam Bideung Informasi.
Begitulah satu maklumat yang mendalam untuk memperkuat kerja – kerja Bangsa Acheh seluruh dunia dengan bangsa sendiri. Semua komponen Masyarakat Acheh sangat terkesima dengan ayat tersebut. Apalagi karena Negara Denmark tempat mufakat Bangsa Acheh (Sigom Donja) seluruh Dunia. Banyak dari Tokoh-Tokoh GAM dan Tokoh-Tokoh Masyarakat Acheh yang datang ke Denmark ketika itu, sehingga adanya satu kesepakatan dan kesimpulan kita (GAM) akan terima Nota kesepahaman MoU Helsinki.
Pada masa mufakat (Sigom Donja) itu, sebelum menyetujui berdamai dengan Indonesia, tentu saja ada terjadi pro dan kontra dalam pertemuan tersebut. Tidak kalahnya dengan sistem dalam suatu parlemen harus melalui dengan proses hasil voting, maka tak dapat dipungkiri lagi karena ketika itu bayak tinta yang tertera untuk ”Tjoêk MoU” dan protokoler pun mengumumkan hasil dukungan suara terbayak dalam menjalankan prang urat saraf.
Ini suatu sejarah baru, dimana gerakan bersenjata dapat diberhentikan seketika dan melanjutkan dengan Perang Politik untuk ”Tjoêk Nanggroë dan Peurintah Keudroë”. Setiap gerangan yang baru pasti semua kalangan sangat senang, bersemangat dan mengharapkan dengan adanya perubahan yang lebih baik lagi Acheh ke depan. Baik itu dari strategi perjuangan, program dan cita-cita Bangsa Acheh untuk Merdeka, apalagi ada pihak Uni Europa sebagi pihak penengah GAM-RI.
Kala itu, komunikasi tokoh GAM Swedia dengan tokoh-tokoh sipil Bangsa Acheh dan TNA tidak pernah terhenti dari satu Negara keu Negara lain yang ada Bangsa Acheh di seluruh dunia dalam mengawal proses perdamaian. (Saleum mesusyén dari markas GAM untuk TNA dan Bangsa Acheh) disetiap berkomunikasi tidak pernah terlupakan.
(Siat-at Troeh Saleum Dari Petinggi-Petingi di Swedia dan Panglima-Panglima dari Nanggroe) untuk masayarakat Acheh di Denmark dan di negara-negara lain. Rasa kebersamaan dan tanggungjawab bersama untuk Acheh masih dibawah sumpah Acheh Merdeka 1976 (Hudép beusaré mate beusadjan) hidup bersama matipun bersama belum berubah dalam sanubari mereka.
Tetapi setelah petinggi-petinggi (Tingkat Lambông) tingkat tinggi sudah kembali kepangkuan Ibu Pertiwi (NKRI) dan Panglima-Panglima TNA sudah menjadi kaki tangan Pemerintah “Jakarta” dalam Pemerintah Aceh (yang sekarang sudah menjadi Legislatif, Eksekutif, dan Team Khusus, dan Team “Sah”). Mereka tidak pernah lagi berkomunikasi dengan tokoh-tokoh masyarakat Acheh yang ada di luar negeri dalam ranah perang politik (Prang Urat Saraf) untuk merealisasikan cita-cita perjuangan Bangsa Acheh setelah mereka termakan dengan seribu sumpah.
Buktinya sudah delapan tahun perdamain Acheh, kami (Bangsa Acheh di Luar Negeri) tidak pernah mendengar kata-kata seindah dulu (Saleum Meusyén, Merdeka). Bahkan tidak ada hubungan komunikasi lagi dengan petinggi-petinggi dalam mengawal tahapan jalannya butir-butir MoU Helsinki, Finlandia.
Setelah punya kedudukan dan kekuasaan diroda Pemerintahan Aceh, seolah-olah jauh panggang dari apinya. Padahal diawal-awal proses damai, jelas Bangsa Acheh di Luar Negeri punya keinginan untuk memajukan Acheh ke depan dengan kebersamaan dalam kontek perdamaian.
Walaupun demikian, Bangsa Acheh di Luar Negeri (Denmark) mengajak Pemerintah Aceh yang sekarang dipimpin oleh mantan-mantang pejuang untuk membuat perubahan sikap pejuang sejati, harus bermasyarakat, berbangsa dan keterbukaan kepada bangsanya sendiri untuk membangun Acheh secara adil. Jangan mengganggap sebangsa sebagai musuh, lebih-lebih dalam hal memperjuangkan kekhususan Acheh. Acheh yang baru ataupun Acheh beudjeut keu Acheh, Acheh yang lage diharapakan buet ureng Acheh.
(dari tulisan yang Bersambung, ini adalah yang terakhir (Tamat) untuk salah satu bagian kehidupan yang saya alami. Insya Allah, akan ada bagian kehidupan dan pemikiran serta ide dari saya yang akan dituangkan dalam bentuk tulisan dimasa yang akan datang)
Sekian, Terimakasih
Syukri Ibrahim - Wareeh
Moto Perubahan Terjadi, Dikala Kita Mau Melakukan Perubahan yang Terjadi
Syukri Ibrahim - Wareeh
Moto Perubahan Terjadi, Dikala Kita Mau Melakukan Perubahan yang Terjadi
4 Komentar
good job.....
BalasHapusTeurimong geunasih syedara Syukri Ibrahim, saleum kamo aneuk nanggro dandang tawo bak gampung ma, saba beuteuga wahe ee wareh walaupun peudeh sim lam dada, kehendak Tuhan atanyo bandum ruoh tajouk eumpeun keu lahuda....
BalasHapusTeurimong geunasih syedara Syukri Ibrahim, saleum kamo aneuk nanggro dandang tawo bak gampung ma, saba beuteuga wahe ee wareh walaupun peudeh sim lam dada, kehendak Tuhan atanyo bandum ruoh tajouk eumpeun keu lahuda....
BalasHapusget that jroh .be me ase kalinya pu yang jeat kamo tulong tema
BalasHapus