Kepada Yth.:
Gubernur Aceh,
Pangdam IM,
Kapolda Aceh
CC: Mendagri,
--- Menko Polhukam RI
Assalammu'alaikum Wr. Wb
Dengan Hormat,.
Izinkan saya menyampaikan pendapat saya pribadi selaku Perempuan Aceh yang lahir dan tinggal di Aceh.
Sesaat lagi orang Aceh yang berada di dalam dan di luar Aceh akan memperingati Milad GAM ke-36. Di pelosok desa maupun di kota, dunia nyata dan dunia maya, topik pembicaraan terfokus pada satu hal, apakah bendera perjuangan GAM akan berkibar pada saat peringatan Milad GAM tahun ini.
Ada begitu banyak peringatan Hari-Hari Besar Nasional yang memiliki nilai historis yang kita peringati bersama, termasuk peringatan HUT RI ke-67. Seingat saya, tak pernah ada dalam sejarah Aceh bendera merah putih berkibar di seluruh penjuru Aceh pada bulan Agustus selama sebulan penuh, baik di rumah-rumah penduduk maupun di instansi-instansi Pemerintahan kecuali pada tahun ini. Mungkin itu merupakan wujud kecintaan Bapak Gubernur Aceh yang begitu luar biasa terhadap NKRI. Salut!
Untuk melengkapi sejarah baru tersebut, sungguh bijaksana apabila pada perayaan Milad GAM tahun ini, rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk mengibarkan bendera GAM selama sehari penuh. Terlepas dari pro-kontra terhadap rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, alangkah baiknya bila pengibaran bendera pada peringatan Milad GAM tidak dikait-kaitkan dengan pencaplokan bendera GAM sebagai Bendera Daerah oleh Pemerintah Aceh.
Seperti kita ketahui bersama, perdamaian di Aceh terjadi setelah Pemerintah RI dan GAM sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan menandatangani kesepakatan damai yang tertuang dalam MoU Helsinki dimana pada pembukaannya tersebut bahwa “Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua”.
Ada kejanggalan tersendiri menurut saya, dimana setelah penandatangan Nota Kesepahaman tersebut, setiap tahunnya pada tanggal 15 Agustus diperingati sebagai hari penandatanganan MoU Helsinki sedangkan hari Milad GAM sebagai pihak yang berunding dan mengadakan kesepakatan damai dengan RI sendiri diabaikan. Ibarat kata pepatah, “lupa kacang pada kulitnya,” atau “habis manis sepah dibuang”, dan ini tidak sesuai dengan pembukaan MoU Helsinki itu sendiri dimana disebutkan bahwa “Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.”
Yang diperingati pada tanggal 4 Desember itu adalah hari Milad GAM, untuk mengenang perjuangan Hasan Tiro bersama rakyat Aceh dan mendoakan arwah mereka yang telah berpulang selama masa konflik yang berkepanjangan.
Adalah suatu ketidakadilan saat kami semua di Aceh turut memperingati Hari G30S PKI, Hari Kesaktian Pancasila, Supersemar, Sumpah Pemuda, yang tidak ada sangkut pautnya dengan Aceh sama sekali, sementara hari yang bersejarah bagi Aceh sendiri tidak dapat kami peringati secara layak?
MoU Helsinki dan UUPA ada karena GAM, sedangkan bendera GAM itu merupakan identitas pengenal organisasi GAM, baik di dalam negeri maupun di dunia internasional.
Sudah selayaknya bendera perjuangan itu berkibar pada upacara Milad GAM setiap tanggal 4 Desember, sama saja seperti upacara peringatan Hari-Hari Besar RI lainnya, namun tidak mengikat, hanya bagi yang mau merayakannya saja.
Di luar hari peringatan Milad GAM, bendera bulan bintang itu dapat berkibar di Kantor Pusat GAM, dan di kantor resmi Perwakilan GAM di tiap Wilayah Aceh.
Damai bukan berarti harus kehilangan marwah. Berhenti berperang bukan berarti kalah. Marilah kita sama-sama menjaga perdamaian yang telah tercipta, dengan saling menghargai kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak yang bertikai untuk mewujudkan damai Aceh yang bermartabat.
Saleum Damee.
A.n. NURLINA
SUMBER: www.tabloidsuarapublik.com
0 Komentar