Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad |
PENA News | Aceh terancam ke dalam situasi darurat kemanusiaan. Di saat penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa konflik kian tak jelas, pelanggaran HAM di Aceh justru menemukan bentuk barunya, seperti kekerasan komunal, penerapan syariah Islam yang belum manusiawi, dan pelanggaran kebebasan beragama. Ironinya, negara justru absen dalam upaya penyelesaian.
Demikian disampaikan Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad, dalam acara peringatan Hari HAM Sedunia di Banda Aceh, Senin (10/12/2012). Dalam acara yang dipusatkan di Bundaran Simpang Lima Banda Aceh itu, juga hadir sejumlah aktivis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Aceh, akademisi, mahasiswa, dan korban konflik.
Mereka mendesak agar pemerintah segera mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh sejak penerapan daerah operasi militer (DOM) di Aceh, hingga masa darurat militer dan sipil. Kasus-kasus tersebut di antaranya Kasus Rumah Geudong di Pidie, pembantaian di Idi Cut, Tragedi Simpang KKA Aceh Utara, dan Kasus Bantaqiah di Beutong Ateuh.
Zulfikar mengatakan, situasi yang bergulir di Aceh akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Upaya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan pelanggaran HAM pada masa konflik tak kunjung dilakukan. Demikian pula dengan pembentukan pengadilan HAM.
Bahkan, meskipun Undang-Undang Pemerintahan Aceh sudah mengamanatkan adanya Qanun KKR, DPR Aceh sendiri justru tak melanjutkan pembahasan qanun tersebut. "Mereka lebih mementingkan qanun-qanun yang tak lebih penting, seperti wali nanggroe," ujar Zulfikar.
Pada saat yang sama, konflik komunal terjadi di sejumlah tempat. Ironinya, konflik ini disertai kekerasan yang sadis. Kasus terakhir terjadi di Desa Plimbang, Bireuen, sebulan lalu, terhadap kelompok pengajian yang dipimpin Teuku Aiyub, yang dituduh sesat. Ribuan warga menggrebek dan membakar rumah Aiyub. Aiyub dan seorang pengikutnya tewas dan tubuhnya dibakar massa. Satu orang warga tewas dalam insiden itu dan sembilan lainnya luka parah.
Kekerasan yang dipicu tuduhan aliran sesat atau perbedaan keyakinan pun juga terjadi di sejumlah tempat seperti di Nagan Raya dan Aceh Barat. Penutupan secara paksa terhadap rumah ibadah non-muslim pun terjadi, seperti di Aceh Singkil dan Kota Banda Aceh.
"Sayangnya, tak ada tindak lanjut dari penegak hukum untuk mengusut kasus-kasus semacam itu. Aparat seperti membiarkan. Ketiadaan penegakan hukum ini akan membuat kekerasan yang sama akan terus berlanjut,"tutur Zulfikar.
Penerapan syariah Islam pun dinilai belum manusiawi. Di tengah merebaknya konflik komunal itu, institusi Syariat Islam, seperti dinas syariah justru terlihat makin mengobarkan kebencian terhadap kelompok aliran atau agama minoritas. Akibatnya, tindakan kekerasan hingga kepada pembakaran manusia pun terjadi, seperti kasus Plimbang. Padahal, pembakaran tersebut tak sesuai dengan ajaran Islam yang damai dan manusiawi.
"Sepertinya penyelesaian lebih mengedepankan dialog. Jangan mudah memberi cap sesat. Lakukan sertifikasi kelompok, misalnya dengan memberi kesempatan kepada mereka mendaftar ke Kesbanglinmaspol," katanya.
Selain itu, pelanggaran HAM juga hadir dalam aspek lingkungan. Sejak beberapa waktu terakhir, penguasaan paksa lahan hutan dan lahan masyarakat terjadi di Aceh oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan. Kasus di Rawa Tripa dan Singkil adalah contohnya.
Demikian disampaikan Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad, dalam acara peringatan Hari HAM Sedunia di Banda Aceh, Senin (10/12/2012). Dalam acara yang dipusatkan di Bundaran Simpang Lima Banda Aceh itu, juga hadir sejumlah aktivis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Aceh, akademisi, mahasiswa, dan korban konflik.
Mereka mendesak agar pemerintah segera mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh sejak penerapan daerah operasi militer (DOM) di Aceh, hingga masa darurat militer dan sipil. Kasus-kasus tersebut di antaranya Kasus Rumah Geudong di Pidie, pembantaian di Idi Cut, Tragedi Simpang KKA Aceh Utara, dan Kasus Bantaqiah di Beutong Ateuh.
Zulfikar mengatakan, situasi yang bergulir di Aceh akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Upaya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan pelanggaran HAM pada masa konflik tak kunjung dilakukan. Demikian pula dengan pembentukan pengadilan HAM.
Bahkan, meskipun Undang-Undang Pemerintahan Aceh sudah mengamanatkan adanya Qanun KKR, DPR Aceh sendiri justru tak melanjutkan pembahasan qanun tersebut. "Mereka lebih mementingkan qanun-qanun yang tak lebih penting, seperti wali nanggroe," ujar Zulfikar.
Pada saat yang sama, konflik komunal terjadi di sejumlah tempat. Ironinya, konflik ini disertai kekerasan yang sadis. Kasus terakhir terjadi di Desa Plimbang, Bireuen, sebulan lalu, terhadap kelompok pengajian yang dipimpin Teuku Aiyub, yang dituduh sesat. Ribuan warga menggrebek dan membakar rumah Aiyub. Aiyub dan seorang pengikutnya tewas dan tubuhnya dibakar massa. Satu orang warga tewas dalam insiden itu dan sembilan lainnya luka parah.
Kekerasan yang dipicu tuduhan aliran sesat atau perbedaan keyakinan pun juga terjadi di sejumlah tempat seperti di Nagan Raya dan Aceh Barat. Penutupan secara paksa terhadap rumah ibadah non-muslim pun terjadi, seperti di Aceh Singkil dan Kota Banda Aceh.
"Sayangnya, tak ada tindak lanjut dari penegak hukum untuk mengusut kasus-kasus semacam itu. Aparat seperti membiarkan. Ketiadaan penegakan hukum ini akan membuat kekerasan yang sama akan terus berlanjut,"tutur Zulfikar.
Penerapan syariah Islam pun dinilai belum manusiawi. Di tengah merebaknya konflik komunal itu, institusi Syariat Islam, seperti dinas syariah justru terlihat makin mengobarkan kebencian terhadap kelompok aliran atau agama minoritas. Akibatnya, tindakan kekerasan hingga kepada pembakaran manusia pun terjadi, seperti kasus Plimbang. Padahal, pembakaran tersebut tak sesuai dengan ajaran Islam yang damai dan manusiawi.
"Sepertinya penyelesaian lebih mengedepankan dialog. Jangan mudah memberi cap sesat. Lakukan sertifikasi kelompok, misalnya dengan memberi kesempatan kepada mereka mendaftar ke Kesbanglinmaspol," katanya.
Selain itu, pelanggaran HAM juga hadir dalam aspek lingkungan. Sejak beberapa waktu terakhir, penguasaan paksa lahan hutan dan lahan masyarakat terjadi di Aceh oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan. Kasus di Rawa Tripa dan Singkil adalah contohnya.
SUMBER: KOMPASdotCOM
0 Komentar