UNGKAPAN
ini bisa ditemukan dalam memoar Syamaun Gaharu, seorang tokoh Aceh, perintis
sekaligus kepala Kodam Iskandar Muda pertama. Cerita ini juga sering dituturkan
oleh Lian Sahar, seorang pelukis ekspresionis asal Aceh yang tinggal di
Yogyakarta.
Pernyataan
Panglima Syamaun Gaharu (demikian ia sering dipanggil oleh kolega dan juga
lawan-lawan politiknya) disampaikan ketika berdebat tak putus dengan Hasan
Saleh dan Hasan Ali yang berkunjung ke rumahnya pada suatu malam di masa
konflik DI/TII pada 50-an. Hasan Saleh yang terkenal garang dan seram dengan
suara baritonnya pun seperti tercekat dengan kata-kata sakti itu. “Membakar
Aceh dan harus menanggung pada anak cucu?” Siapa yang mau?
Sejak
itu polemik pun melunak hingga kesepakatan damai pun diprakarsai di Desa
Lamteh, 7 April 1957. Perjanjian Lamteh dilakukan oleh tokoh lapangan, yaitu
Syamaun Gaharu, Ali Hasjmy, dan Muhammad Insja dari pihak Republik dan Hasan
Ali, Hasan Saleh, dan Ishak Amin dari DI/TII. Tgk. Muhammad Daud Beureueh tidak
hadir dalam pertemuan itu. Baru bertahun-tahun kemudian ia mau turun gunung
setelah dibujuk penuh hormat oleh Kolonel Yasin, 8 Mei 1962. Ia memanggil Abu
Beureueh dengan Ayahanda.
Namun,
jauh sebelum kesepakatan damai itu, kelompok masyarakat di Aceh juga sudah
jengah dengan perang dan ingin segera mewujudkan perdamaian. Menurut penuturan
Pak Lian Sahar, masyarakat Aceh perantauan juga ikut urun-rembuk dalam
menyelesaikan krisis yang terjadi di Aceh. Saat itu pelajar dan student
(sebutan untuk mahasiswa saat itu) Aceh di Yogyakarta dengan menggunakan sepur
(kereta api) berangkat dari Lempuyangan ke Jakarta dan bergabung dengan pelajar
dan student Aceh lainnya, melakukan audiensi dengan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo. Permohonan audiensi direspons cepat. Protokoler tidak serumit
sekarang. Kelompok intelektual muda itu bisa berbicara langsung dengan pemimpin
negeri secara leluasa, tanpa harus membuat skenario forum tertentu. Ali
Sastroamidjojo pun mencatat sebuah gagasan itu dalam buku kerjanya.
Sketsa
sejarah itu sepertinya cocok untuk diungkapkan pada situasi masa sekarang,
ketika perdamaian Aceh di Helsinki yang sudah terjelang lebih lima tahun ini
kembali memanas. Pemanasan politik yang terjadi selama ini bisa dikatakan lebih
karena perdamaian tidak bisa dihayati dengan baik oleh elite-elite politik di
Aceh, yang terlihat dalam drama wacana politik yang dihasilkannya.
Sikap
“buruk muka cermin dibelah” masih menjadi bagian dari mis-komunikasi yang
disebarkan di ruang publik. Seolah-olah ketidakharmonisan Aceh selalu
disebabkan oleh Jakarta. Mungkin benar bahwa “Jakarta” jika berhubungan dengan
“Aceh” bukan sebuah terminologi yang netral. Namun apakah cukup tepat
mengatakan semua masalah disebabkan oleh Jakarta dan menjadikannya kambing
paling hitam? Bukankah sebagian problem dibuat sendiri di sini, yang muncul
dari sikap anti-mendengarkan dan anti-belajar?
Jika
kita refleksikan bagaimana para pelajar dan mahasiswa di era 50-an sudah
dilibatkan dalam dialektika politik yang terjadi di zamannya, dan penguasa pun
tidak menganggap enteng dengan mendengarkan secara sungguh-sungguh semua ide
yang bisa menjadi solusi, maka DPRA sekarang yang menolak semua wacana kecuali
yang berhubungan dengan kepentingan purbanya-mempertahankan kekuasaan dan
identitas primordial-adalah kesesatan sejarah. Bahkan tidak tepat dikatakan
kemunduran sejarah, karena sejarah Aceh masa lalu malah lebih baik.
Lima
tahun lalu perdamaian itu disambut dengan gempita di Helsinki. Namun kini
bangunannya mulai melapuk akibat bombarbir misil-misil liar. Yang menggempurnya
pun bukan orang lain. Bukan Jakarta, Helsinki, atau Stockholm, tapi kita.
Harus
berani mengakui bahwa kita sendiri yang membuat bangunan perdamaian itu lemah
seperti pasir pantai, setelah kita berjuang lelah mendirikannya.
Perang
dan konflik bersenjata telah menjadi keseharian rakyat Aceh. Dari perlawanan
yang dibangun untuk melawan penjajahan Portugis, Belanda, Jepang, orde lama dan
yang terakhir melawan kediktatoran orde baru atas ketidakadilan yang dibangun
darah dan air mata pahlawan dan kesetiaan rakyat Aceh. Situasi ini telah
menjadi ujian berat bagi persatuan rakyat Aceh.
Berbagai
istilah berkembang di masyarakat Aceh, seakan istilah tersebut menjadi ungkapan
terhadap pengalaman pahit dalam membangun sebuah perjuangan. Kita ambil cotoh
seperti kata ”Cu’ak” dan ”Panglima tibang” sering diungkapkan masyarakt Aceh
untuk mereka yang tidak konsisten terhadap perjuangan.
Ada
pula kata yang diucapkan untuk membangkitkan semangat perjuangan dan persatuan
seperti ”Perang Sabi” atau kata ”PAI” untuk memberi batas jelas terhadap lawan
mana yang perlu diwaspadai dan bisa menjadi musuh terhadap perjuangan.
Selain
itu ungkapan paranoid pun lahir dan berkembang yang sering diucapkan untuk
merefleksikan kekecewaan batin terhadap mereka yang tidak konsisten. Sebut saja
salah satu yang sangat populer adalah ”Tayue jak dikeu ditoeh geuntet, tayu jak
dilikoet di koh likoet” (artinya kalau
disuruh jadi pemimpin akan berkhianat dan kalau menjadi rakyat akan memberontak
pada pemimpinnya). Ungkapan ini diucapkan untuk merefleksikan bahwa betapa
tidak konsistenya sebagian mereka yang penuh ambisi untuk memperoleh kekuasaan
dengan cara-cara yang tidak benar.
Kita
juga perlu mencermati refleksi sejarah akan eksistensi persatuan rakyat Aceh
sebagai pelajaran sehingga tidak terjungkal dalam kisah yang sama. Hanya
keledai dungulah yang sering jatuh dalam lubang yang sama. Sebut saja kisah
panjang patriotisme rakyat Aceh melawan dan mengusir penjajahan Portugis,
Belanda, Jepang yang diakhiri dengan kemerdekaan Indonesia. Dengan lantang
seorang Tgk Daud Beureueh berani mewakili rakyat Aceh untuk menyatakan
bergabung dengan Indonesia. Padahal kalau beliau lebih arif dan demokratis,
belum tentu rakyat Aceh setuju terhadap langkah tersebut.
Hasil
deklarasi Tgk Daud Beureueh akhirnya melahirkan konflik baru atas ketidak
puasan beliau terhadap janji Soekarno. Perlawananpun dikobarkan untuk melawan
ketidakadilan pemerintahan Soekarno. Perlawanan berakhir dengan lahirnya
perjanjian Lamteh yang diprakarsai oleh beberapa tokoh Aceh dan tentunya dengan
beberapa janji baru terhadap tuntutan yang digelorakan rakyat Aceh.
Dalam masa damai banyak tokoh dan pejuang Aceh, seakan larut dengan penghargaan dan keuntunga ekonomi yang mereka terima. Mereka lupa bahwa persatuan masih dibutuhkan untuk menuntut konsistensi pemerintah pusat dalam mengimplementasikan butit-butir perjanjian. Ketakutan dan keengganan untuk menggugat pemerintah pusat terhadap apa yang telah mereka janjikan, melemahkan daya tawar Aceh untuk mendapatkan apa sebenarnya menjadi hak mereka.
Ketika Hasan Tiro menggelorakan semangat baru perjuangan untuk melawan ketidakadilan ekonomi dibawah pemerintahan Soeharto, banyak dari tokoh DI/TII nya Daud Beureueh bersatu padu bergabung dan ikut berjuang.
Dalam masa damai banyak tokoh dan pejuang Aceh, seakan larut dengan penghargaan dan keuntunga ekonomi yang mereka terima. Mereka lupa bahwa persatuan masih dibutuhkan untuk menuntut konsistensi pemerintah pusat dalam mengimplementasikan butit-butir perjanjian. Ketakutan dan keengganan untuk menggugat pemerintah pusat terhadap apa yang telah mereka janjikan, melemahkan daya tawar Aceh untuk mendapatkan apa sebenarnya menjadi hak mereka.
Ketika Hasan Tiro menggelorakan semangat baru perjuangan untuk melawan ketidakadilan ekonomi dibawah pemerintahan Soeharto, banyak dari tokoh DI/TII nya Daud Beureueh bersatu padu bergabung dan ikut berjuang.
Drama
perdamaian Lamteh ibarat pepesan kosong yang tidak sedikitpun mengikat mereka,
karena hakikatnya memang dagelan politik wayang untuk meredam perjuangan rakyat
Aceh.Saat ini perdamaian pun telah dibangun dengan landasan yang lebih kuat.
MoU Helsinki yang di fasilitasi CMI dan turut dikawal oleh semua negara Eropa.
Butir-butir perjanjian MoU Helsinki jelas sangat menguntungkan rakyat Aceh bila
pemerintah pusat dengan ikhlas mau mengimplementasikannya. Implementasi
butir-butir MoU Helsinki tidak akan serta merta dikabulkan, tapi harus didesak
dan diperjuangkan. Jangan lagi mengulang sejarah lama kalau kita tidak mau
dibilang keledai dungu.
Saat
ini mereka yang dahulu mengaku pejuang, aktivis dan tokoh masyarakat Aceh larut
dalam memperjuangkan kepentingan ekonomi dan kekuasaan masing-masing. Kita
terpecah belah dalam perebutan kekuasaan dan kekayaan. Sehingga muncul
pertanyaan apakah persatuan rakyat Aceh hanya ada dalam perang?
Kita
tidak ingat bahwa persatuan masih dibutuhkan karena memang perjuangan belum
usai. Jangan saling sikut, karena kita perlu berjalan seiring layaknya dalam
perang sehingga kita tidak mudah menjadi sasaran tembak lawan. Jangan terlena
dengan kekuasaan, penghargaan dan keuntungan ekonomi, sementara kita melupakan
hakekat perjuangan yang ingin dicapai.
Semua
lapisan rakyat Aceh baik bekas kombatan, aktivis, tokoh masyarakat, tokoh
politik dan tokoh agama harus bersatu padu mengawal pelaksanaan butir-butir MoU
Helsinki. Kita harus waspada terhadap pengalihan isu dalam upaya pengaburan
esensi MoU Helsinki. Kita harus mengawal bersama kalau tidak ingin Aceh kembali
tertipu.
Kita
harus ingat persatuan tidak hanya dibutuhkan saat perang, karena saat damai pun
persatuan sangat dibutuhkan. Aceh sudah cukup banyak di tipu, karena memang
kita mau di tipu. Sekarang saatnya menguatkan tekad dalam satu derap langkah
yang seayun dan seirama berjuang untuk Aceh yang lebih bermartabat. (Taduek
tadeng beusaban pakat sang seuneusap meu ado-a, bek dile pike keu hudep mangat
segoh ta ingat keu nasib bangsa,nyo masanyoe geutanyoe lalee, hana le wate
peubibeuh bangsa).
Mereka
memanfaatkan MoU Helsinki untuk meraih simpati rakyat. Rakyat mana yang dapat
mereka raih simpatinya?
Orang Acheh yang sadar tau persis bahwa itu
adalah sandiwara politik. Di MoU Helsinki dinyatakan Acheh Sumatra berstatus
Self Government tapi yang disodorkan Yudhoyono dan Kalla adalah otonomi basi.
Kalau pihak yang berwewenang di Acheh merasa aman dengan Otonomi basi tampa mau
meng amandement UUPA hasil rekayasa Jakarta, itu namanya bukan perdamaian tapi
penyerahan kembali kepangkuan penjajah Hindunesia. Hal ini perlu diingatkan dan
digarisbawahi agar pihak yang berwenang tidak terlena dengan sandiwara
Hindunesia yang terkenal "jurus tipunya" dengan gaya Ewuh Pakewuh sejak jaman Abu di Beureueh dulu,
dimana pihak Hindunesia mengelabuinya melalui perjanjian Lamteh. Apabila kami
mengingatkan seperti ini tujuan kami adalah jangan sampai terjerumus kedalam
LAMTEH 2?
Yang
mengherankan saya, kenapa tidak ada pihak yang menanggapi ketika mereka
memanfaatkan MoU Helsinki untuk tujuan pribadi mereka? Dalam perang kita tidak
takut mati, tapi dalam masa aman dipasung kenapa takut? Apa juga kita mengaku Islam, orang Papua saja
yang mayoritas non Islam memiliki nyali tinggi dalam menghadapi musuh. Kalau
begini sikap pihak yang berwewenang tak usah membangga-banggakan diri sebagai
orang Aceh atau terlanjur berbicara seolah-olah Aceh itu hebat sekali. Hebat
tidaknya bukan dengan cara berkaok-kaok tapi mengubah ketimpangan kepada
realita yang benar. Ironisnya yang kami saksikan justru berlomba-lomba menjadi
Pakturut
Isu
yang banyak diangkat pihak penipu rakyat, baik di Jawa maupun di Aceh
senantiasa pada jalur ekonomi. Padahal ekonomi yang mereka perjuangkan itu
bukan untuk orang Aceh pada umumnya tapi untuk apa-apa kapluk, penipu rakyat.
Lihatlah itu dana milyaran yang telah dilahap para penipu di Lhokseumawe.
Apakah mampu dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya? Bukankah sudah
dipetieskan. (Rizwan)
SUMBER: www.iwanfkipunsyiah.blogspot.com
1 Komentar
mantap
BalasHapus