Like on Facebook

header ads

MoU Helsinki, Terjerumus Kedalam "Perjanjian Lamteh" Jilid 2?



UNGKAPAN ini bisa ditemukan dalam memoar Syamaun Gaharu, seorang tokoh Aceh, perintis sekaligus kepala Kodam Iskandar Muda pertama. Cerita ini juga sering dituturkan oleh Lian Sahar, seorang pelukis ekspresionis asal Aceh yang tinggal di Yogyakarta.

Pernyataan Panglima Syamaun Gaharu (demikian ia sering dipanggil oleh kolega dan juga lawan-lawan politiknya) disampaikan ketika berdebat tak putus dengan Hasan Saleh dan Hasan Ali yang berkunjung ke rumahnya pada suatu malam di masa konflik DI/TII pada 50-an. Hasan Saleh yang terkenal garang dan seram dengan suara baritonnya pun seperti tercekat dengan kata-kata sakti itu. “Membakar Aceh dan harus menanggung pada anak cucu?” Siapa yang mau?

Sejak itu polemik pun melunak hingga kesepakatan damai pun diprakarsai di Desa Lamteh, 7 April 1957. Perjanjian Lamteh dilakukan oleh tokoh lapangan, yaitu Syamaun Gaharu, Ali Hasjmy, dan Muhammad Insja dari pihak Republik dan Hasan Ali, Hasan Saleh, dan Ishak Amin dari DI/TII. Tgk. Muhammad Daud Beureueh tidak hadir dalam pertemuan itu. Baru bertahun-tahun kemudian ia mau turun gunung setelah dibujuk penuh hormat oleh Kolonel Yasin, 8 Mei 1962. Ia memanggil Abu Beureueh dengan Ayahanda.

Namun, jauh sebelum kesepakatan damai itu, kelompok masyarakat di Aceh juga sudah jengah dengan perang dan ingin segera mewujudkan perdamaian. Menurut penuturan Pak Lian Sahar, masyarakat Aceh perantauan juga ikut urun-rembuk dalam menyelesaikan krisis yang terjadi di Aceh. Saat itu pelajar dan student (sebutan untuk mahasiswa saat itu) Aceh di Yogyakarta dengan menggunakan sepur (kereta api) berangkat dari Lempuyangan ke Jakarta dan bergabung dengan pelajar dan student Aceh lainnya, melakukan audiensi dengan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Permohonan audiensi direspons cepat. Protokoler tidak serumit sekarang. Kelompok intelektual muda itu bisa berbicara langsung dengan pemimpin negeri secara leluasa, tanpa harus membuat skenario forum tertentu. Ali Sastroamidjojo pun mencatat sebuah gagasan itu dalam buku kerjanya.

Sketsa sejarah itu sepertinya cocok untuk diungkapkan pada situasi masa sekarang, ketika perdamaian Aceh di Helsinki yang sudah terjelang lebih lima tahun ini kembali memanas. Pemanasan politik yang terjadi selama ini bisa dikatakan lebih karena perdamaian tidak bisa dihayati dengan baik oleh elite-elite politik di Aceh, yang terlihat dalam drama wacana politik yang dihasilkannya.

Sikap “buruk muka cermin dibelah” masih menjadi bagian dari mis-komunikasi yang disebarkan di ruang publik. Seolah-olah ketidakharmonisan Aceh selalu disebabkan oleh Jakarta. Mungkin benar bahwa “Jakarta” jika berhubungan dengan “Aceh” bukan sebuah terminologi yang netral. Namun apakah cukup tepat mengatakan semua masalah disebabkan oleh Jakarta dan menjadikannya kambing paling hitam? Bukankah sebagian problem dibuat sendiri di sini, yang muncul dari sikap anti-mendengarkan dan anti-belajar?

Jika kita refleksikan bagaimana para pelajar dan mahasiswa di era 50-an sudah dilibatkan dalam dialektika politik yang terjadi di zamannya, dan penguasa pun tidak menganggap enteng dengan mendengarkan secara sungguh-sungguh semua ide yang bisa menjadi solusi, maka DPRA sekarang yang menolak semua wacana kecuali yang berhubungan dengan kepentingan purbanya-mempertahankan kekuasaan dan identitas primordial-adalah kesesatan sejarah. Bahkan tidak tepat dikatakan kemunduran sejarah, karena sejarah Aceh masa lalu malah lebih baik.

Lima tahun lalu perdamaian itu disambut dengan gempita di Helsinki. Namun kini bangunannya mulai melapuk akibat bombarbir misil-misil liar. Yang menggempurnya pun bukan orang lain. Bukan Jakarta, Helsinki, atau Stockholm, tapi kita.

Harus berani mengakui bahwa kita sendiri yang membuat bangunan perdamaian itu lemah seperti pasir pantai, setelah kita berjuang lelah mendirikannya.

Perang dan konflik bersenjata telah menjadi keseharian rakyat Aceh. Dari perlawanan yang dibangun untuk melawan penjajahan Portugis, Belanda, Jepang, orde lama dan yang terakhir melawan kediktatoran orde baru atas ketidakadilan yang dibangun darah dan air mata pahlawan dan kesetiaan rakyat Aceh. Situasi ini telah menjadi ujian berat bagi persatuan rakyat Aceh.

Berbagai istilah berkembang di masyarakat Aceh, seakan istilah tersebut menjadi ungkapan terhadap pengalaman pahit dalam membangun sebuah perjuangan. Kita ambil cotoh seperti kata ”Cu’ak” dan ”Panglima tibang” sering diungkapkan masyarakt Aceh untuk mereka yang tidak konsisten terhadap perjuangan.

Ada pula kata yang diucapkan untuk membangkitkan semangat perjuangan dan persatuan seperti ”Perang Sabi” atau kata ”PAI” untuk memberi batas jelas terhadap lawan mana yang perlu diwaspadai dan bisa menjadi musuh terhadap perjuangan.

Selain itu ungkapan paranoid pun lahir dan berkembang yang sering diucapkan untuk merefleksikan kekecewaan batin terhadap mereka yang tidak konsisten. Sebut saja salah satu yang sangat populer adalah ”Tayue jak dikeu ditoeh geuntet, tayu jak dilikoet di koh likoet (artinya kalau disuruh jadi pemimpin akan berkhianat dan kalau menjadi rakyat akan memberontak pada pemimpinnya). Ungkapan ini diucapkan untuk merefleksikan bahwa betapa tidak konsistenya sebagian mereka yang penuh ambisi untuk memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang tidak benar.

Kita juga perlu mencermati refleksi sejarah akan eksistensi persatuan rakyat Aceh sebagai pelajaran sehingga tidak terjungkal dalam kisah yang sama. Hanya keledai dungulah yang sering jatuh dalam lubang yang sama. Sebut saja kisah panjang patriotisme rakyat Aceh melawan dan mengusir penjajahan Portugis, Belanda, Jepang yang diakhiri dengan kemerdekaan Indonesia. Dengan lantang seorang Tgk Daud Beureueh berani mewakili rakyat Aceh untuk menyatakan bergabung dengan Indonesia. Padahal kalau beliau lebih arif dan demokratis, belum tentu rakyat Aceh setuju terhadap langkah tersebut.

Hasil deklarasi Tgk Daud Beureueh akhirnya melahirkan konflik baru atas ketidak puasan beliau terhadap janji Soekarno. Perlawananpun dikobarkan untuk melawan ketidakadilan pemerintahan Soekarno. Perlawanan berakhir dengan lahirnya perjanjian Lamteh yang diprakarsai oleh beberapa tokoh Aceh dan tentunya dengan beberapa janji baru terhadap tuntutan yang digelorakan rakyat Aceh.

Dalam masa damai banyak tokoh dan pejuang Aceh, seakan larut dengan penghargaan dan keuntunga ekonomi yang mereka terima. Mereka lupa bahwa persatuan masih dibutuhkan untuk menuntut konsistensi pemerintah pusat dalam mengimplementasikan butit-butir perjanjian. Ketakutan dan keengganan untuk menggugat pemerintah pusat terhadap apa yang telah mereka janjikan, melemahkan daya tawar Aceh untuk mendapatkan apa sebenarnya menjadi hak mereka.

Ketika Hasan Tiro menggelorakan semangat baru perjuangan untuk melawan ketidakadilan ekonomi dibawah pemerintahan Soeharto, banyak dari tokoh DI/TII nya Daud Beureueh bersatu padu bergabung dan ikut berjuang.

Drama perdamaian Lamteh ibarat pepesan kosong yang tidak sedikitpun mengikat mereka, karena hakikatnya memang dagelan politik wayang untuk meredam perjuangan rakyat Aceh.Saat ini perdamaian pun telah dibangun dengan landasan yang lebih kuat. MoU Helsinki yang di fasilitasi CMI dan turut dikawal oleh semua negara Eropa. Butir-butir perjanjian MoU Helsinki jelas sangat menguntungkan rakyat Aceh bila pemerintah pusat dengan ikhlas mau mengimplementasikannya. Implementasi butir-butir MoU Helsinki tidak akan serta merta dikabulkan, tapi harus didesak dan diperjuangkan. Jangan lagi mengulang sejarah lama kalau kita tidak mau dibilang keledai dungu.

Saat ini mereka yang dahulu mengaku pejuang, aktivis dan tokoh masyarakat Aceh larut dalam memperjuangkan kepentingan ekonomi dan kekuasaan masing-masing. Kita terpecah belah dalam perebutan kekuasaan dan kekayaan. Sehingga muncul pertanyaan apakah persatuan rakyat Aceh hanya ada dalam perang?

Kita tidak ingat bahwa persatuan masih dibutuhkan karena memang perjuangan belum usai. Jangan saling sikut, karena kita perlu berjalan seiring layaknya dalam perang sehingga kita tidak mudah menjadi sasaran tembak lawan. Jangan terlena dengan kekuasaan, penghargaan dan keuntungan ekonomi, sementara kita melupakan hakekat perjuangan yang ingin dicapai.

Semua lapisan rakyat Aceh baik bekas kombatan, aktivis, tokoh masyarakat, tokoh politik dan tokoh agama harus bersatu padu mengawal pelaksanaan butir-butir MoU Helsinki. Kita harus waspada terhadap pengalihan isu dalam upaya pengaburan esensi MoU Helsinki. Kita harus mengawal bersama kalau tidak ingin Aceh kembali tertipu.

Kita harus ingat persatuan tidak hanya dibutuhkan saat perang, karena saat damai pun persatuan sangat dibutuhkan. Aceh sudah cukup banyak di tipu, karena memang kita mau di tipu. Sekarang saatnya menguatkan tekad dalam satu derap langkah yang seayun dan seirama berjuang untuk Aceh yang lebih bermartabat. (Taduek tadeng beusaban pakat sang seuneusap meu ado-a, bek dile pike keu hudep mangat segoh ta ingat keu nasib bangsa,nyo masanyoe geutanyoe lalee, hana le wate peubibeuh bangsa).

Mereka memanfaatkan MoU Helsinki untuk meraih simpati rakyat. Rakyat mana yang dapat mereka raih simpatinya?

Orang Acheh yang sadar tau persis bahwa itu adalah sandiwara politik. Di MoU Helsinki dinyatakan Acheh Sumatra berstatus Self Government tapi yang disodorkan Yudhoyono dan Kalla adalah otonomi basi. Kalau pihak yang berwewenang di Acheh merasa aman dengan Otonomi basi tampa mau meng amandement UUPA hasil rekayasa Jakarta, itu namanya bukan perdamaian tapi penyerahan kembali kepangkuan penjajah Hindunesia. Hal ini perlu diingatkan dan digarisbawahi agar pihak yang berwenang tidak terlena dengan sandiwara Hindunesia yang terkenal "jurus tipunya" dengan gaya   Ewuh Pakewuh sejak jaman Abu di Beureueh dulu, dimana pihak Hindunesia mengelabuinya melalui perjanjian Lamteh. Apabila kami mengingatkan seperti ini tujuan kami adalah jangan sampai terjerumus kedalam LAMTEH 2?

Yang mengherankan saya, kenapa tidak ada pihak yang menanggapi ketika mereka memanfaatkan MoU Helsinki untuk tujuan pribadi mereka? Dalam perang kita tidak takut mati, tapi dalam masa aman dipasung kenapa takut?  Apa juga kita mengaku Islam, orang Papua saja yang mayoritas non Islam memiliki nyali tinggi dalam menghadapi musuh. Kalau begini sikap pihak yang berwewenang tak usah membangga-banggakan diri sebagai orang Aceh atau terlanjur berbicara seolah-olah Aceh itu hebat sekali. Hebat tidaknya bukan dengan cara berkaok-kaok tapi mengubah ketimpangan kepada realita yang benar. Ironisnya yang kami saksikan justru berlomba-lomba menjadi Pakturut

Isu yang banyak diangkat pihak penipu rakyat, baik di Jawa maupun di Aceh senantiasa pada jalur ekonomi. Padahal ekonomi yang mereka perjuangkan itu bukan untuk orang Aceh pada umumnya tapi untuk apa-apa kapluk, penipu rakyat. Lihatlah itu dana milyaran yang telah dilahap para penipu di Lhokseumawe. Apakah mampu dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya? Bukankah sudah dipetieskan. (Rizwan)

SUMBER: www.iwanfkipunsyiah.blogspot.com

Posting Komentar

1 Komentar