Like on Facebook

header ads

Linda, Pahlawan dan Pentolan GAM Berdarah Gayo Keturunan Jawa

Imran
PENA News | Setelah tsunami 2004 menerjang Aceh, perang masih lagi berlanjut. Padahal Jenderal Darmono (Mayjend) sudah ada komitmen bahwa tidak ada lagi penyerangan atau perang di Aceh. Tapi pertengahan tahun 2005 di bulan Agustus, masih lagi ada peperangan antara TNA dan TNI yang mengakibatkan korbannya seorang pemuda yang gagah berani dan tegas, pemuda itu bernama Iwan (Linda nama sandinya). Linda adalah pemuda kelahiran Bener Meriah dan berdarah Gayo campur Jawa, Ayahnya dari Gayo dan ibunya dari Jawa (red).

Linda turun gunung dengan rambut panjang yang sudah dikepang satu, panjangnya sekitar 50 cm. Tiba-tiba Linda singgah ditempat Bang Madfan M. Jafar.
”Assalamualaikum Panglima”
Walaikum salam Linda mau kemana?”
”Saya mau ke Banda Aceh”
“Jangan Linda, keadaan belum tentu aman. Kalau di Nisam ini, kamu “No 1” dicari-cari” kata Bang Madfan.
“Ngak apa-apa bang, saya bisa jaga diri dengan baik. Ini menyangkut perjuangan, saya mau ambil senjata ada 65 pucuk dengan harga murah, sudah ada chanel di Kuta Raja”. Panglima tetap melarang, tetapi Linda tidak menghiraukannya, dia tancap gas dengan pistol FN Bareta di pinggang standar DANKI
Melaju ke arah jalan Medan - Banda Aceh. Sedangkan dari Gunung Hijau hingga ke Pinggir Laut masih di penuhi TNI yang bermacam kesatuannya.

Ahirnya Linda sampailah di sebuah rumah di kawasan Cot Tufah Geurugok arah Bireuen kalau kita dari Lhokseumawe. Dengan menghubungi temannya, Linda memutuskan untuk menginap beberapa malam di Cot Tufah.

Kami dan rekan-rekan di hutan sangat gelisah malam itu, memekirkan Linda sang komandan yang paling berani dan tegas di seluruh Pasee. Bang Madfan punya firasat tak baik tentang keberangkatan Linda.

Tiba-tiba beliau terbangun di tengah malam Ya ALLAH, apa yang terjadi terhadap Si Wan (Linda). Rupanya Linda sudah dikepung oleh pasukan SGI/TNI dari Kreunggukueh yang dipimpin seorang berpangkat LETTU dari Komandan Koramil DM Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.

Jam 4 sore Linda dikepung sampai jam 7 malam. Linda kehabisan peluru, sehingga dengan lawan yang punya amunisi yang cukup Linda cuma punya satu pistol dengan 36 peluru kaliber 56 mm.

Akhirnya Linda rebah terkulai syahid diterjang peluru. Dia rebah bersimbah darah, tapi masih bisa tersenyum dan mengacungkan jempol pada teman-temannya yang masih bertarung dengan tenaga dan amunisi yang terbatas. Linda gugur sebagai seorang pahlawan yang tangguh dan tak kenal menyerah di dalam rumah tersebut, dan ada beberapa orang yang sempat ditangkap.

Mayat Linda dibawa ke kantor Koramil Dewantara. Walaupun sudah tak bernyawa masih juga tangan dan kakinya diikat. Rambut yang lebat, badannya yang kekar dan dengan tubuh telanjang dan dipamerkan kepada khalayak umum.

Padahal dalam masa tsunami kedua belah pihak telah ada intruksi masing-masing dari korps, misalnya dari PANGKOOPS TNI Bambang Darmono memberikan instruksi, jangan buat penyergapan dan tahan operasi karena banyak orang Europa di Aceh untuk beri bantuan kepada korban tsunami.

Tapi justru dimanfaatkan oleh kelompok SGI untuk membunuh GAM yang tidak bersenjata lengkap. Waktu terus berlalu dan kamipun menunggu perdamaian tiba.

Suatu hari saya diperintahkan oleh Panglima Sagoe Nisam, Bang Madfan M. Jafar untuk turun dan menemui seorgan wartawan. Utusan wartawan yang mau meliput TNA dan mau membuat wawancara dalam menyambut perdamaian di aceh.

Waktru itu Bang Madfan menggantikan tugas segera DANKI-C Nisam untuk posisi Linda. Dan kemudian diganti lagi posisi itu oleh Nurdin Ranto. Tapi “Macan” segarang Linda tak kan pernah tergantikan.

Ranto ternyata tidak segarang Linda, maklum sudah habis “darah” kita selama 2 tahun Darurat Militer. Tentara Nasional Indonesia saja kewalahan, apalagi kita yang tentara gerilya, suka dan rela makan tidak teratur serta sering juga kelaparan hingga tiga hari, kadang-kadang seminggu, tapi ini semua ada hikmahnya.

Di sela-sela keangkeran suasana itu. Saya terus menuju jalan Medan - Banda Aceh dengan posisi sembunyi-sembunyi. Dan akhirnya bisa bertemu dengan orang yang mau menjumpai Bang Madfan dan Mualem Muzakir Manaf.

Namanya Zulkifli Paloh atau Doly, yang kemudian akrab dengan William Nelson atau lebih dikenal dengan sebutan Billy. Dialah yang harus jemput jempu, Doly siap dengan membawa camera dan handycam beserta laptop, saya bawa dia ke arah Nisam Antara.

Dengan posisi siaga kami pelan-pelan masuk ke hutan. Saya sempat bertanya pada Doly,
”Sering shooting prang?”
”ooo sering lah, saya wartawan perang” katanya
“Ini kiri kanan ada lawan yang berjarak 500 meter dengan kita” kataku.
“oooo ngak apa-apa jawab Doly” katanya sambil tertawa.
Kemudian saya kontak teman di dalam markas. Akhirnya ada pasukan kami 6 orang yang jemput, M. Daud, Amran, Fauzi, M. Nur dan Hafifuddin. Mereka pasukan yang jemput kami untuk berjumpa dengan Panglima Sagoe Nisam M. Jafar Daud.

Hari pertama aman dan sudah diwawancarai tentang sikap TNA dalam menyambut damai dgn RI. Hari kedua Bang Madfan menghubungi Mualem Muzakir. Bang Madfan meminta kesediaan Muzakir Manaf untuk diwawancari oleh Dolly. Tapi Muzakir Manaf, memberikan sepenuhnya kepada Bang Madfan untuk berurusan dengan Billy. Dengan jarak tempuh yang agak jauh sangat tidak mungkin kami bawak Dolly ke tempat Muzakir Manaf.

Waktu terus berjalan kontak senjata masih sering terdengar disekitar persembunyian kami di Nisam Antara. Hari ke 3 kami dibrondong dengan jarak 10 meter Dolly terkenak kaca handycamnya dan hancur. Tasnya bolong-bolong, tapi dia selamat dan saya juga sempat dilewati oleh peluru disela kuping saya. Husaini kenak di leher tetapi tidak tembus, perangpun pecah mulai jam 11 siang hingga jam 11 malam. Kami terus menghindar dan melepeskan tembakan hingga jam 11 malam, kami lolos ke Gampong Alue Garot Sawang.

Imran

Kami cari seorang penduduk untuk menunjuk arah jalan supaya tidak tersesat dikegelepan malam. Kami menelusuri hutan, hingga sampailah di ujung jalan “tikus” yang ditunjuk oleh Bang Gani nama penduduk tadi.

Saya “ring” depan Dolly yang lain juga ikut jaga. Saya dan yang lain juga harus menjaga teman yang tertembak dan darah masih mengalir, tak lama kemudian kami istirahat selama 5 menit. Walapun begitu kami selalu dalam keadaan dan posisi yang selalu siapa siaga untuk menembak.

Waktu itu lebih kurang pasukan yang ada bersama sekitar 18 orang, ada ygan sakit dan ada yang sudah terkenak serempet peluru. Teman saya yang bernama Husaini yang agak parah, sebab dia terkena di batang leher sebelah kanan. Tapi dengan cepat kami sintik dengan obat anti biotik.

Hinggalah perjalan dilanjutkan pada malam itu juga. Saya bertanya pada Bang Gani.
”Hai, Bang Gani kemana arah rumah Pak Geuchik Alue Garot”
”Yak e arah sini”, kata Bang Gani.

Di dalam kegelapan malam, kami terus berjalan, tiba-tiba terdengar lagi suara tembakan, rupanya pasukan TNI tadi siang sudah terperogok dengan kawan kami dari kompi-B. Ada 12 orang dari Kompi-B yang dipimpin oleh Alm. Tgk. Saleh.

Suara rentatan tembakan sekitar jam 12 terdengar memecahkan keheningan hutan di malam itu. Dan, kami melanjutkan perjalanan hingga kami terperosok ke jurang yang sangat dalam. Rupanya di bawah hutan gambut ada sungai yang sangat dalam, Bang Gani tidak tahu keberadaan sungai itu, membuat saya sedikit emosi, rasanya saya mau menghabisi saja Bang Gani dengan senapan ditangan saya.

”Bang Gani, apa kamu mau menjebak kami ya!!!”
Dengan muka tak bersalah Bang Gani menjawab.
”Tidak, demi ALLAH saya tidak bermaksud menjebak kalian, setahu saya inilah satu-satunya jalan lintas timur yang paling bagus”, katanya.
Saya memang sedikit tak tahan emosi waktu itu, salah satu sebabnya adalah perut kosong mulai siang sampai jam 12 malam.

Dengan izin Allah akhirnya kami tiba juga ke rumah orang No 1 di Gampong Alue Garot. Dengan mengucap salam dan memberikan kata sandi, kami diberikan izin untuk masuk. Di rumah itulah kami istirahat dan membersihkan dan membalut luka tembakan yang menimpa teman-teman.

Kami cari makanan, sandal jepit obat-obatan untuk Husaini (umur 22 tahun), dia terkena tembak di leher tapi tidak tembus. Kira-kira 30 menit kami dibelakang rumah Geuchik Alue Garot, menungggu makanan dan minuman, sandal jepit dan rokok. Setelah kami mendapat semua keperluan maka kami cari tempat persembunyian di hutan lagi dekat rumah geuchik.

Besok paginya, kami melanjutkan wawancara dengan Dolly, wartawan (yang jadi anggota DPRA sekarang), wawancara masalah politik Aceh tentang kabar perdamaian, diantaranya, dia bertanya tentang sikap kami sebagai kombatan.

Dalam hal itu, kami katakan bahwa, sikap kami menerima perintah kalau memang diperintah damai, ya berdamai, kalau perang lagi ya usahakan semampu kami berperang lagi.

Sampai jam 6 sore kami diwawancara, tiba-tiba Husaini mendadak pingsan, darah segar mengalir di batang leher nya, tapi tak lama kemudian dia sadar lagi. Dan kami berusaha agar luka Husaini tidak mengeluarkan darah, dengan membalut dan memberikannya obat.

Sementara saya juga masih berdarah di muka dan pelipis mata serta kuping sebelah kanan, luka saya sebab terserempet peluru nyasar yang membrondong kami adalah pasukan TNI Raider 700 Jawa Tengah dan 112 Banda Aceh Japakeh.

Keesokan harinya jam 2 siang atas izin Panglima Tertinggi TNA Muzakir Manaf, Dolly Paloh kami hantar ke jalan raya, jalan KKA. Maksud kami untuk menyelamatkan camera dan video rekaman wawancara dengan TNA Sagoe Babah Kreung Nisam yang dipimpin oleh Panglima Sagoe Babah Kreung M. Jafar Daud/Madfan.

Setelah menghantar Dolly, kami balik lagi ke hutan dan bertahan selama 8 bulan lagi, dalam penantian yang belum pasti, kami tetap siaga diposisi yang telah ditentukan oleh Danru kami yang masa itu dipimpin oleh Ibnu Hajar.

Dengan keadaan Danru yang sakit-sakitan, malaria. Sementara tank/panser milik TNI tetap mondar mandir diseputaran persembunyian kami di Nisam Antara. Bulan Mei 2005, kalau tidak salah baru jelas informasi tentang kepastian damai. Dan, kami ditarik ke tempat yang lebih aman yaitu ke Gampong Kreung Tuan 36 Km dengan Bener Meriah/Wilayah Linge.

Disanalah kami berkumpul dan satu persatu sahabat kami yang sakit diobati dengan cara mengusuk dan memberi obat apa adanya. Dan dalam posisi siaga, saya yang masih kuat dalam tim itu, mencoba mendekati pemukiman penduduk dengan izin Komandan Kompi dalam 3 hari saya bisa dapat perbekalan dari masyarakat setempat. Dan kami membuat acara do'a bersama untuk arwah rekan-rekan yang sudah syahid dalam Darurat Militer selama 2 tahun.

Saya Imran dari Nisam dengan khusus, saya berdo'a kepada arwah abang kandung saya, Muslem yang meninggal dalam masa Darurat Sipil, walaupun kuburan abang, belum saya dapatkan tetapi saya sudah ada niat baik sesudah damai ditandatangan saya akan mencari kuburan almarhum.

Bulan Juni 2005 datang seorang petinggi GAM menjumpai kami ditempat istirahat ditepi Sungai Kreung Tuan yang bahwa damai Aceh dengan RI bersyarat dan senjata tidak kita serahkan ke Pihak TNI melainkan dipotong oleh pihak yang memfasilitasi damai antara GAM dengan RI.

Hari itulah pikiran kami lega dengan syukur kepada ALLAH SWT dengan niat lillahitaala sambil kami nikmati daging kambing yang kami potong 8 ekor. Dan hari itulah baru jelas informasi tentang tendatangan MoU di Helsinki dengan Pemerintah Indonesia, tanggal 15 Agustus 2005.
Tiga bulan sesudah tanda tangan, kami belum juga diizinkan pulang oleh Komando Operasi Daerah yang bertanggungjawab masalah senjata. Karena pemotongan senjata ada aturannya dan dipotong bertahab, kami yang terakhir dipanggil ke Lapangan Paloh Gadeng Kecamtan Dewanta, Aceh Utara. Jumlah senjata yang kami bawa yang asli 42 pucok yang kurang sehat, senjata rusak yang bukan outomatif ada beberapa pucuk lagi termasuk satu pucuk Bazoka dan 2 pucuk LE, dengan peluru 1 karung dan bom ada 4 buah ditambah Dable Luck 1 pucuk. Itulah sisa senjata KOMPI-C Daerah 1 Tgk. Chik di Paloh Wilayah Pasee.

Pagi itu juga kami meneteskan air mata bahagia dan sedih. Dari Pihak RI, saya masih ingat yang hadir KAPOLDA ACEH Bahrumsyah Kasman, orangnya berkumis lebat bermata seperti Belanda, dan Wakapolres Aceh Utara IWAN EKAPUTRA orang kulit hitam mirib Hindia Kleng. Saya dengar dia berbicara dalam bahasa Aceh logat Pidie.

Inilah kisah sepengal, Perjuangan Aceh saya cerita secara singkat dan masih banyak sekali yang tinggal, karena kontak tembak tidak bisa kita hitung selama 2 tahun. Dan saya ceritakan apa yang saya ingat.

Harapan saya adalah, agar teman-teman yang membaca tulisan ini jangan segan-segan untuk mengkritik, mana tahu ada yang tertinggal dan salah saya ceritakan.

Dan saya sangat berharap agar ada yang mau mengupas sejarah Panglima Operasi Tgk. Malem Panyang/Tgk. Leman Paloh Punti, dan ini hanya sekedar bahan pertimbangan untuk saudara saya Bangsa Aceh.

Akhirnya saya berharap agar ada yang mau buat buku tentang Sejarah Prang Aceh. Jumpai KOMANDAN OPERASI di masing-masing wilayah di Aceh, dan TNA yang tertinggal di hutan selama Darurat Militer maupun sebelum darurat, agar sejarah tidak hilang delapan tahun sudah berlalu seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa di Aceh. Padahal ribuan orang meninggal dalam Prang Aceh dengan “JAKARTA”. Tulislah buku, Wassalam Imran Nisam.

”Sejarah adalah reprensi untuk anak cucu kita nanti, sebab itu sejarah perlu dicatat agar kita tidak lupa akan masa silam. Kalau bukan kita yang mencatat sejarah kita sendiri, siapa lagi yang kita harapkan”.

Salam Perjuangan dan Salam Damai
Yang Ikhlas, Imran
Bersambung TNA jadi KPA dalam masa damai.

Posting Komentar

6 Komentar

  1. imran, di cot tufhah dia menginap ditempat saudaranya, tiba2 dia menerima tlp dr seorang kawan akrabnya Amiruddin menanyakan keberadaan silinda.
    Amiruddin yg ditangkap sebelumnya ternyata dijadikan umpan utk mendeteksi keberadaan sigarang bernama cwe itu.
    Tanpa rasa khawatis krn amis kawan akrabnya, tanpa sungkan2 lansung dikasi tau bhwa dia dicot tufhah geurugok.
    Selang waktu 15 SGI tiba, maka terjadi tum2 lah, tam tum gram grum, truk2, phey2.

    BalasHapus
  2. Kisah nyata yg cukup menarik ...saya suka membaca sejarah dan menulis sejarah. Trimks Sdrku Imran.

    BalasHapus
  3. saya sangat terharu....
    terimakasih pejuang aceh...

    BalasHapus
  4. dengan perjuangan anda2 wahai pahlawan kami aceh mulia, kami selaku generasi penerus bisa hidup damai,tentram tiada penderitaan lagi yg dlakukan R.I
    , thangk GAM

    BalasHapus
  5. Semoga saja nanti ada penulis yang bersedia untuk menuliskan kisah sejarah berdarah di aceh dari sumber yang nyata, dan bila perlu dijadikan film yang berdurasi panjang.
    Salam Damai... saya dari jawa.
    Aceh Part of Indonesia! Brotherhood no limit!
    Jangan lagi ada dendam diantara kita. Kita semua bersaudara.

    BalasHapus
  6. Saya berpikir kalau tidak ada tsunami mungkin negara aceh pasti berdiri samapai saat ini seperti Partai Aceh yang menang dan mengibarkan benderah simbolis partai aceh.
    walau pun secara strategis dan logika GAM akan kalah tapi dengan bantuan Allah tsunami diturunkan oleh Allah dan para pasukan indonesia bergelimpang itulah doa para pejuang GAM makanya tdk menang atas nama GAM tapi menang atas nama PA (Partai Aceh)
    hidu Partai Aceh

    BalasHapus