PENA News : 11-04-2014 | LÈH NJOË LÈH KON. Tapi cerita ini kami dapat dari wall salah seorang saudara kami yg berasa dari Nagan Raya, menurut keterangan beliau, cerita ini di ambil dari tulisan alm Prof. Dr. Hamka. Sayangnya kita tidak bisa membuktikan kebenaran tulisan dibawah ini, sebab kita sendiripun belum mendapatkan buku tentang tulisan ini. Walaupun begitu kami ingin juga berbagi cerita ini dengan anda.
"Maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa’atku".
Kedatangan para pedagang dan ulama Arab beberapa puluh tahun lalu ternyata meninggalkan kesan tersendiri bagi masyarakat Aceh. Dari dulu hingga saat ini pun, tak jarang kita menemukan masyarakat Aceh memiliki nama yang diembel-embeli dengan gelar “Said” dan “Syarifah”. Hmm, sebenarnya ada apa sih dibalik gelar tersebut? Mengapa, perempuan Syarifah dituntut harus menikah dengan laki-laki yang bergelar Said?? Kok bisa ya??
Para Said dan Syarifah, memiliki keunikan tersendiri dari orang-orang Aceh pada umumnya. Dari segi perawakan, wajah, ataupun garis muka, mereka berbeda dengan orang-orang Aceh lainnya. Kendati mereka pun berdarah Aceh atau tinggal bersama orang Aceh. Yah, tentu saja ini tak terlepas dari sejarah bangsa Arab yang pernah singgah di Aceh dulu. Lihat saja, para Said dan Syarifah ini, memiliki wajah yang sangat kearab-araban. Sebagian besar berkulit putih, dan bermata kecoklat-coklatan. Tak heran, jika mereka cantik dan tampan Kok bisa sih ada Said dan Syarifah??
Begini penjelasannya:
Said dan Syarifah merupakan keturunan yang memiliki nasab atau garis keturunan langsung kepada Rasulullah SAW yang memiliki kemuliaan. Karena kemuliaan dari nasab tersebutlah, sangat diutamakan mereka harus tetap mempertahankan garis nasab itu. Berdasarkan penjelasan Rasulullah SAW, pada hari akhir kelak, seluruh nasab akan putus kecuali nasabnya Rasul. Adapun makna yang terkandung dalam hadits di atas tadi adalah dalam hal nasab mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan nabi saw kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan terputus nasab seorang anak kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada nabi saw. Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas dijelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa’atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan sayid.
Seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah, karena melalui kakeknya Nabi Muhammad saw mereka menjadi manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan, bukan sebaliknya mereka kufur ni’mat atas apa yang mereka telah dapatkan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan diri dan keturunannya melalui pernikahan yang mengabaikan kafa’ah nasab dalam perkawinan anak dan saudara perempuannya, yaitu dengan mengawinkan anak dan saudara perempuannya sebagai seorang syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid. Nah, karena faktor inilah, para Syarifah dituntut untuk menikah dengan Said (harus se kufu’). Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka ituberdosa. Imam Ahmad bin Hanbal berkata : ‘Wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu’, maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah) hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho menerima laki-laki yang tidak sekufu’, maka keridhaan mereka tidak sah’.
Seorang ulama yang terkenal yang dianggap pendobrak kebekuan pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang Syarif yang putrinya dikawinkan dengan seorang bukan Syarif padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut sah ? Ibnu Taimiyah menjawab :
‘Kafaah dalam hal nasab tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu
Hanifah, Syafii dan Ahmad–dalam salah satu riwayat darinya– kafaah adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kafu, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafaah adalah ‘hak Allah’ dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafaah’.
Dalam kitabnya Bughya al-Mustarsyidin, sayid Abdurahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur, berkata :
‘Seorang syarifah yang dipinang oleh orang selain laki-laki keturunan Rasulullah, maka aku tidak melihat diperbolehkannya pernikahan tersebut. Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi saw dan walinya yang terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang mulia tersebut tidak bisa diraih dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan sayyidah Fatimah al-Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul Bait Nabi tersebut‘. Selanjutnya beliau berkata : ‘Meskipun para fuqaha mengesahkan perkawinannya, bila perempuan itu ridho dan walinya juga ridho, akan tetapi para fuqaha leluhur kami mempunyai pilihan yang para ahli fiqih lain tidak mampu menangkap rahasianya, maka terima sajalah kamu pasti selamat dan ambillah pendapatnya, jika kamu bantah akan rugi dan menyesal‘.
Dijelaskan oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi) : ‘Dalam perkara kafa’ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu’ apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah namun para ulama ahlul bait mempunyai ijtihad dan ikhtiar dalam perkara syara’ yang tiada di dapati oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid‘.
Selanjutnya beliau berkata : ‘Daripada yang menjadi godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian keluarga daripada sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa sayid Bani Alawi, ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian juga orang yang memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang menjadi perantaranya pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan Sayidatuna Fathimah dan anak cucunya keluarga Rasulullah saw‘.
Mufti Makkah al-Mukarromah, sayid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf , menjelaskan dalam kitabnya Tarsyih al-Mustafidin Khasiyah Fath al-Mu’in: ‘Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu’) dengan anak keturunan Siti Fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah saw, karena anak keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada beliau dalam hal kafa’ah dan lainnya.”
KESIMPULANNYA MEREKA ADALAH PRINCESS
Buat para Said dan Syarifah yang guanteng n cuantik, alangkah utamanya jika tetap mempertahankan nasab yang ada. Keturunan dari orang paling mulia yaitu Rasulullah SAW harus tetap terjaga dengan baik. Tidak merusaknya apalagi mengabaikannya. Said dan Syarifah merupakan keturunan yang spesial. Jagalah kemuliaan nasab, baik dari segi sikap, perkawinan terlebih lagi agama.
Yang paling penting adalah Nasab ini bukan berarti menjadi perbedaan dan salah satu bentuk kesenjangan yang ada di Aceh, tapi inilah salah satu keunikan yang ada di Aceh ini yang menjadi “bukti” bersejarah bahwa bangsa Arab pernah singgah di Aceh beberapa puluh tahun lalu.
Disunting oleh Team PENA cabang Denmark
"Maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa’atku".
Kedatangan para pedagang dan ulama Arab beberapa puluh tahun lalu ternyata meninggalkan kesan tersendiri bagi masyarakat Aceh. Dari dulu hingga saat ini pun, tak jarang kita menemukan masyarakat Aceh memiliki nama yang diembel-embeli dengan gelar “Said” dan “Syarifah”. Hmm, sebenarnya ada apa sih dibalik gelar tersebut? Mengapa, perempuan Syarifah dituntut harus menikah dengan laki-laki yang bergelar Said?? Kok bisa ya??
Para Said dan Syarifah, memiliki keunikan tersendiri dari orang-orang Aceh pada umumnya. Dari segi perawakan, wajah, ataupun garis muka, mereka berbeda dengan orang-orang Aceh lainnya. Kendati mereka pun berdarah Aceh atau tinggal bersama orang Aceh. Yah, tentu saja ini tak terlepas dari sejarah bangsa Arab yang pernah singgah di Aceh dulu. Lihat saja, para Said dan Syarifah ini, memiliki wajah yang sangat kearab-araban. Sebagian besar berkulit putih, dan bermata kecoklat-coklatan. Tak heran, jika mereka cantik dan tampan Kok bisa sih ada Said dan Syarifah??
Begini penjelasannya:
Said dan Syarifah merupakan keturunan yang memiliki nasab atau garis keturunan langsung kepada Rasulullah SAW yang memiliki kemuliaan. Karena kemuliaan dari nasab tersebutlah, sangat diutamakan mereka harus tetap mempertahankan garis nasab itu. Berdasarkan penjelasan Rasulullah SAW, pada hari akhir kelak, seluruh nasab akan putus kecuali nasabnya Rasul. Adapun makna yang terkandung dalam hadits di atas tadi adalah dalam hal nasab mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan nabi saw kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan terputus nasab seorang anak kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada nabi saw. Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas dijelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa’atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan sayid.
Seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah, karena melalui kakeknya Nabi Muhammad saw mereka menjadi manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan, bukan sebaliknya mereka kufur ni’mat atas apa yang mereka telah dapatkan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan diri dan keturunannya melalui pernikahan yang mengabaikan kafa’ah nasab dalam perkawinan anak dan saudara perempuannya, yaitu dengan mengawinkan anak dan saudara perempuannya sebagai seorang syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid. Nah, karena faktor inilah, para Syarifah dituntut untuk menikah dengan Said (harus se kufu’). Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka ituberdosa. Imam Ahmad bin Hanbal berkata : ‘Wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu’, maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah) hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho menerima laki-laki yang tidak sekufu’, maka keridhaan mereka tidak sah’.
Seorang ulama yang terkenal yang dianggap pendobrak kebekuan pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang Syarif yang putrinya dikawinkan dengan seorang bukan Syarif padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut sah ? Ibnu Taimiyah menjawab :
‘Kafaah dalam hal nasab tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu
Ulama-Habi (poto islamic-theology) |
Dalam kitabnya Bughya al-Mustarsyidin, sayid Abdurahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur, berkata :
‘Seorang syarifah yang dipinang oleh orang selain laki-laki keturunan Rasulullah, maka aku tidak melihat diperbolehkannya pernikahan tersebut. Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi saw dan walinya yang terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang mulia tersebut tidak bisa diraih dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan sayyidah Fatimah al-Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul Bait Nabi tersebut‘. Selanjutnya beliau berkata : ‘Meskipun para fuqaha mengesahkan perkawinannya, bila perempuan itu ridho dan walinya juga ridho, akan tetapi para fuqaha leluhur kami mempunyai pilihan yang para ahli fiqih lain tidak mampu menangkap rahasianya, maka terima sajalah kamu pasti selamat dan ambillah pendapatnya, jika kamu bantah akan rugi dan menyesal‘.
Dijelaskan oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi) : ‘Dalam perkara kafa’ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu’ apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah namun para ulama ahlul bait mempunyai ijtihad dan ikhtiar dalam perkara syara’ yang tiada di dapati oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid‘.
Selanjutnya beliau berkata : ‘Daripada yang menjadi godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian keluarga daripada sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa sayid Bani Alawi, ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian juga orang yang memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang menjadi perantaranya pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan Sayidatuna Fathimah dan anak cucunya keluarga Rasulullah saw‘.
Mufti Makkah al-Mukarromah, sayid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf , menjelaskan dalam kitabnya Tarsyih al-Mustafidin Khasiyah Fath al-Mu’in: ‘Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu’) dengan anak keturunan Siti Fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah saw, karena anak keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada beliau dalam hal kafa’ah dan lainnya.”
KESIMPULANNYA MEREKA ADALAH PRINCESS
Buat para Said dan Syarifah yang guanteng n cuantik, alangkah utamanya jika tetap mempertahankan nasab yang ada. Keturunan dari orang paling mulia yaitu Rasulullah SAW harus tetap terjaga dengan baik. Tidak merusaknya apalagi mengabaikannya. Said dan Syarifah merupakan keturunan yang spesial. Jagalah kemuliaan nasab, baik dari segi sikap, perkawinan terlebih lagi agama.
Yang paling penting adalah Nasab ini bukan berarti menjadi perbedaan dan salah satu bentuk kesenjangan yang ada di Aceh, tapi inilah salah satu keunikan yang ada di Aceh ini yang menjadi “bukti” bersejarah bahwa bangsa Arab pernah singgah di Aceh beberapa puluh tahun lalu.
Disunting oleh Team PENA cabang Denmark
0 Komentar