Aiyub Ilyas |
PENA News | Perang dan konflik bersenjata telah menjadi keseharian Rakyat Aceh. Dari perlawanan yang dibangun untuk melawan penjajahan Portugis, Belanda, Jepang, orde lama dan yang terakhir melawan Kediktatoran Orde Baru atas ketidakadilan yang dibangun darah dan air mata pahlawan dan kesetiaan Rakyat Aceh. Situasi ini telah menjadi ujian berat bagi persatuan Rakyat Aceh.
Berbagai istilah berkembang di Masyarakat Aceh, seakan istilah tersebut menjadi ungkapan terhadap pengalaman pahit dalam membangun sebuah perjuangan. Kita ambil contoh seperti kata ”Cu’ak” dan ”Panglima Tibang” sering diungkapkan Masyarakat Aceh untuk mereka yang tidak konsisten terhadap perjuangan.
Ada pula kata yang diucapkan untuk membangkitkan semangat perjuangan dan persatuan seperti ”Perang Sabi” atau kata ”PAI” untuk memberi batas jelas terhadap lawan mana yang perlu diwaspadai dan bisa menjadi musuh terhadap perjuangan.
Selain itu ungkapan paranoid pun lahir dan berkembang yang sering diucapkan untuk merefleksikan kekecewaan bathin terhadap mereka yang tidak konsisten. Sebut saja salah satu yang sangat populer adalah ”Tayue jak dikeu ditoeh geuntet, tayu jak dilikoet di koh likoet” (artinya kalau disuruh jadi pemimpin akan berkhianat dan kalau menjadi rakyat akan memberontak pada pemimpinnya). Ungkapan ini diucapkan untuk merefleksikan bahwa betapa tidak konsistennya sebagian mereka yang penuh ambisi untuk memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang tidak benar.
Kita juga perlu mencermati refleksi sejarah akan eksistensi persatuan Rakyat Aceh sebagai pelajaran sehingga tidak terjungkal dalam kisah yang sama. Hanya keledai dungulah yang sering jatuh dalam lubang yang sama. Sebut saja kisah panjang patriotisme Rakyat Aceh melawan dan mengusir penjajahan Portugis, Belanda, Jepang yang diakhiri dengan kemerdekaan Indonesia. Dengan lantang seorang Tgk. Daud Beureueh berani mewakili Rakyat Aceh untuk menyatakan bergabung dengan Indonesia. Padahal kalau beliau lebih arif dan demokratis, belum tentu Rakyat Aceh setuju terhadap langkah tersebut.
Hasil deklarasi Tgk. Daud Beureueh akhirnya melahirkan konflik baru atas ketidakpuasan beliau terhadap janji Soekarno. Perlawananpun dikobarkan untuk melawan ketidakadilan pemerintahan Soekarno. Perlawanan berakhir dengan lahirnya Perjanjian Lamteh yang diprakarsai oleh beberapa tokoh Aceh dan tentunya dengan beberapa janji baru terhadap tuntutan yang digelorakan Rakyat Aceh.
Dalam masa damai banyak tokoh dan pejuang Aceh, seakan larut dengan penghargaan dan keuntungan ekonomi yang mereka terima. Mereka lupa bahwa persatuan masih dibutuhkan untuk menuntut konsistensi Pemerintah Pusat dalam mengimplementasikan butit-butir perjanjian. Ketakutan dan keengganan untuk menggugat Pemerintah Pusat terhadap apa yang telah mereka janjikan, melemahkan daya tawar Aceh untuk mendapatkan apa sebenarnya menjadi hak mereka.
Ketika Hasan Tiro menggelorakan semangat baru perjuangan untuk melawan ketidakadilan ekonomi dibawah pemerintahan Soeharto, banyak dari tokoh DITII-nya Daud Beureueh bersatu padu bergabung dan ikut berjuang. Drama perdamaian Lamteh ibarat pepesan kosong yang tidak sedikitpun mengikat mereka, karena hakikatnya memang dagelan politik wayang untuk meredam perjuangan rakyat Aceh.
Saat ini perdamaianpun telah dibangun dengan landasan yang lebih kuat. MOU Helsinki yang difasilitasi CMI dan turut dikawal oleh semua negara Eropa. Butir-butir perjanjian MOU Helsinki jelas sangat menguntungkan Rakyat Aceh bila Pemerintah Pusat dengan ikhlas mau mengimplementasikannya. Implementasi butir-butir MOU Helsinki tidak akan serta merta dikabulkan, tapi harus didesak dan diperjuangkan. Jangan lagi mengulang sejarah lama kalau kita tidak mau dibilang keledai dungu.
Saat ini mereka yang dahulu mengaku pejuang, aktivis dan tokoh masyarakat Aceh larut dalam memperjuangkan kepentingan ekonomi dan kekuasaan masing-masing. Kita terpecah belah dalam perebutan kekuasaan dan kekayaan. Sehingga muncul pertanyaan apakah persatuan rakyat Aceh hanya ada dalam perang?.
Kita tidak ingat bahwa persatuan masih dibutuhkan karena memang perjuangan belum usai. Jangan saling sikut, karena kita perlu berjalan seiring layaknya dalam perang sehingga kita tidak mudah menjadi sasaran tembak lawan. Jangan terlena dengan kekuasaan, penghargaan dan keuntungan ekonomi, sementara kita melupakan hakekat perjuangan yang ingin dicapai.
Semua lapisan Rakyat Aceh baik bekas kombatan, aktivis, tokoh masyarakat, tokoh politik dan tokoh agama harus bersatu padu mengawal pelaksanaan butir-butir MOU Helsinki. Kita harus waspada terhadap pengalihan isu dalam upaya pengaburan esensi MOU Helsinki. Kita harus mengawal bersama kalau tidak ingin Aceh kembali tertipu.
Kita harus ingat persatuan tidak hanya dibutuhkan saat perang, karena saat damaipun persatuan sangat dibutuhkan. Aceh sudah cukup banyak ditipu, karena memang kita mau ditipu. Sekarang saatnya menguatkan tekad dalam satu derap langkah yang seayun dan seirama berjuang untuk Aceh yang lebih bermartabat. (Taduek tadeng beusaban pakat sang seuneusap meu ado-a, bek dile pike keu hudep mangat segoh ta ingat keu nasib bangsa,nyo masanyoe geutanyoe lalee, hana le wate peubibeuh bangsa).
Berbagai istilah berkembang di Masyarakat Aceh, seakan istilah tersebut menjadi ungkapan terhadap pengalaman pahit dalam membangun sebuah perjuangan. Kita ambil contoh seperti kata ”Cu’ak” dan ”Panglima Tibang” sering diungkapkan Masyarakat Aceh untuk mereka yang tidak konsisten terhadap perjuangan.
Ada pula kata yang diucapkan untuk membangkitkan semangat perjuangan dan persatuan seperti ”Perang Sabi” atau kata ”PAI” untuk memberi batas jelas terhadap lawan mana yang perlu diwaspadai dan bisa menjadi musuh terhadap perjuangan.
Selain itu ungkapan paranoid pun lahir dan berkembang yang sering diucapkan untuk merefleksikan kekecewaan bathin terhadap mereka yang tidak konsisten. Sebut saja salah satu yang sangat populer adalah ”Tayue jak dikeu ditoeh geuntet, tayu jak dilikoet di koh likoet” (artinya kalau disuruh jadi pemimpin akan berkhianat dan kalau menjadi rakyat akan memberontak pada pemimpinnya). Ungkapan ini diucapkan untuk merefleksikan bahwa betapa tidak konsistennya sebagian mereka yang penuh ambisi untuk memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang tidak benar.
Kita juga perlu mencermati refleksi sejarah akan eksistensi persatuan Rakyat Aceh sebagai pelajaran sehingga tidak terjungkal dalam kisah yang sama. Hanya keledai dungulah yang sering jatuh dalam lubang yang sama. Sebut saja kisah panjang patriotisme Rakyat Aceh melawan dan mengusir penjajahan Portugis, Belanda, Jepang yang diakhiri dengan kemerdekaan Indonesia. Dengan lantang seorang Tgk. Daud Beureueh berani mewakili Rakyat Aceh untuk menyatakan bergabung dengan Indonesia. Padahal kalau beliau lebih arif dan demokratis, belum tentu Rakyat Aceh setuju terhadap langkah tersebut.
Hasil deklarasi Tgk. Daud Beureueh akhirnya melahirkan konflik baru atas ketidakpuasan beliau terhadap janji Soekarno. Perlawananpun dikobarkan untuk melawan ketidakadilan pemerintahan Soekarno. Perlawanan berakhir dengan lahirnya Perjanjian Lamteh yang diprakarsai oleh beberapa tokoh Aceh dan tentunya dengan beberapa janji baru terhadap tuntutan yang digelorakan Rakyat Aceh.
Dalam masa damai banyak tokoh dan pejuang Aceh, seakan larut dengan penghargaan dan keuntungan ekonomi yang mereka terima. Mereka lupa bahwa persatuan masih dibutuhkan untuk menuntut konsistensi Pemerintah Pusat dalam mengimplementasikan butit-butir perjanjian. Ketakutan dan keengganan untuk menggugat Pemerintah Pusat terhadap apa yang telah mereka janjikan, melemahkan daya tawar Aceh untuk mendapatkan apa sebenarnya menjadi hak mereka.
Ketika Hasan Tiro menggelorakan semangat baru perjuangan untuk melawan ketidakadilan ekonomi dibawah pemerintahan Soeharto, banyak dari tokoh DITII-nya Daud Beureueh bersatu padu bergabung dan ikut berjuang. Drama perdamaian Lamteh ibarat pepesan kosong yang tidak sedikitpun mengikat mereka, karena hakikatnya memang dagelan politik wayang untuk meredam perjuangan rakyat Aceh.
Saat ini perdamaianpun telah dibangun dengan landasan yang lebih kuat. MOU Helsinki yang difasilitasi CMI dan turut dikawal oleh semua negara Eropa. Butir-butir perjanjian MOU Helsinki jelas sangat menguntungkan Rakyat Aceh bila Pemerintah Pusat dengan ikhlas mau mengimplementasikannya. Implementasi butir-butir MOU Helsinki tidak akan serta merta dikabulkan, tapi harus didesak dan diperjuangkan. Jangan lagi mengulang sejarah lama kalau kita tidak mau dibilang keledai dungu.
Saat ini mereka yang dahulu mengaku pejuang, aktivis dan tokoh masyarakat Aceh larut dalam memperjuangkan kepentingan ekonomi dan kekuasaan masing-masing. Kita terpecah belah dalam perebutan kekuasaan dan kekayaan. Sehingga muncul pertanyaan apakah persatuan rakyat Aceh hanya ada dalam perang?.
Kita tidak ingat bahwa persatuan masih dibutuhkan karena memang perjuangan belum usai. Jangan saling sikut, karena kita perlu berjalan seiring layaknya dalam perang sehingga kita tidak mudah menjadi sasaran tembak lawan. Jangan terlena dengan kekuasaan, penghargaan dan keuntungan ekonomi, sementara kita melupakan hakekat perjuangan yang ingin dicapai.
Semua lapisan Rakyat Aceh baik bekas kombatan, aktivis, tokoh masyarakat, tokoh politik dan tokoh agama harus bersatu padu mengawal pelaksanaan butir-butir MOU Helsinki. Kita harus waspada terhadap pengalihan isu dalam upaya pengaburan esensi MOU Helsinki. Kita harus mengawal bersama kalau tidak ingin Aceh kembali tertipu.
Kita harus ingat persatuan tidak hanya dibutuhkan saat perang, karena saat damaipun persatuan sangat dibutuhkan. Aceh sudah cukup banyak ditipu, karena memang kita mau ditipu. Sekarang saatnya menguatkan tekad dalam satu derap langkah yang seayun dan seirama berjuang untuk Aceh yang lebih bermartabat. (Taduek tadeng beusaban pakat sang seuneusap meu ado-a, bek dile pike keu hudep mangat segoh ta ingat keu nasib bangsa,nyo masanyoe geutanyoe lalee, hana le wate peubibeuh bangsa).
Penulis: Aiyub Ilyas
1 Komentar
muejoekoen merdeka sapue koen,,
BalasHapus