Illustrasi
|
PENA News | Kisah pilu terucap lirih dari Dwiyono Ponirin (55) tentang perjuangannya atas hak tanah yang sejak tahun 1943 sudah digarap orangtuanya (Alm) Subul Sastro Prawiro yang kemudian diserobot paksa pihak Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) II atau PTPN II dimasa kini.
Dengan nada lirih dan penuh keterputus-asaan Ponirin menuturkan kisahnya kepada The Portal of Atjeh, Selasa (09/01/2013). Dalam penuturannya, ia menjelaskan tentang ikhwal penyerobotan tanah garapan orangtuanya oleh pihak PTPN II Tj. Morawa yang terjadi tahun 1970 silam. “Waktu itu secara paksa orangtua saya diusir dari tanah yang kami garap oleh orang-orang perkebunan kendati orangtua saya dan sejumlah warga lain di Tj Garbus Kampung Pintu Air Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang telah memiliki izin sesuai Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 dan didukung surat PL TK II DS Nomor 39/LR/1968 serta surat Asisiten Wedana Lubuk Pakam Nomor 1223/3/1968,” ungkap Ponirin.
Selaku ahli waris yag sah, ia beserta sejumlah warga lain di Lubuk Pakam telah melakukan berbagai upaya untuk menuntut kembali haknya. Namun usaha itu sia-sia dan tidak menemui titik terang. Menurut Ponirin, bukan hanya keluargaya yang mengalami penyerobotan tanah oleh PNP II kala itu. Melainkan ada ribuan orang lain se Sumatera Utara yang diperlakukan demikian.
Tahun 1999 pernah dilakukan aksi untuk menuntut atas hak tanah tersebut melalui Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Rakyat Untuk Reformasi Agraria (GERAG) Sumatera Utara dan telah pula ada petunjuk pelaksanaan penyelesaian kasus tanah antara warga yang diwakili LSM GERAG dengan Kanwil Badan Pertanahan Negara (BPN) Sumatera Utara yang ditanda tangani perwakilan GERAG, Kanwil BPN Provinsi Sumut dan diketahui (Alm) T. Rizal Nurdin yang kala itu menjabat Gubernur Sumatera Utara.
“Setelah adanya pertemuan dan penandatanganan petunjuk penyelesaian kasus tanah itu ternyata bukannya menjadi lebih baik dan dapat mengembalikan hak rakyat. Malah semakin kabur dan tak jelas juntrungannya,” kata Ponirin seraya menambahkan, tahun 2000 silam ia bersama teman seperjuangan lainnya mendatangi DPRD II Deli Serdang guna mengadu persoalan ini dan meminta adanya perhatian dari pemerintah daerah.
Dalam sebuah kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang dan DPRD Deli serdang tentang masalah sengketa tanah rakyat di PTPN II dan PTPN III dibawah Koordinasi Gerakan Rakyat Untuk Reformasi Agraria (GERAG) yang isinya anatara lain : 1) Tanah rakyat di dalam HGU yang HGU-nya berakhir tidak bileh diperpanjang sebelum tanah yang diklaim masyarakat diredistribusikan kepada rakyat yang berhak; 2) Tanah rakyat yang diluar HGU dan yang sudah dikeluarkan dari HGU segera diredistribusikan kepada rakyat yang berhak; 3) Tanah yang diklaim rakyat yang masih berada dalam HGU dan HGU-nya belum berakhir segera dikeluarkan dari HGU dan diredistribusikan kepada rakyat yang berhak; 4) Isi kesepakatan ini berlaku untuk kelompok tani yang tergabung dalam GERAG Deli Serdang yang terdiri dari 22 kelompok tani; 5) Disarankan kepada PTPN II dan PTPN III agar tidak mengerjakan tanah yang dalam sengeta seperti tersebut diatas.
Kesepakatan itu, lanjut Ponirin, ditanda tangani Bupati Deli Serdang, H. Abdul Hafid, Wakil Ketua DPRD, M.Jibasrun, BPN Deli Serdang, Ir.H. Simandorang, PBHI Sumatera Utara Parma Bintang, SH dan perwakilan kelompk tani melalui Gerag. Saat itu dirinya bersama warga lain bak mendapat angina surga. Namun semua itu tetap saja tidak sesuai dengan yang dharapkan pihaknya, hingga saat ini tanah seluas 15 hektare tersebut masih menjadi milik perusahaan milik Negara di Sumatera Utara itu.
“Saya sangat kecewa dengan apa yang telah terjadi, terlebih orangtua saya adalah veteran dan waktu tahun 1970 itu diusir paksa dan dirampas hak kami oleh orang-orang suruhan perusahaan. Saya masih simpan surat kabar Sinar Harapan edisi Selasa, 10 Maret 1970 dengan judul berita “PNP II Tg Garbus Paksa Rakyat Serahkan Tanah. Adapula surat-surat lain yang saya simpan sebagai bukti,” ujarnya.
Poirin berharap kini ditengah usianya yang semakin rapuh, ia bisa menerima kembali tanah milik almarhum orangtuanya yang diambil paksa, “Saya meminta pemerintah dapat melihat dan respon terhadap hal ini. Apalagi Menteri BUMN saat ini sangat merakyat sehingga kami berharap beliau berkenan membantu kami,” harap Ponirin.
Kepada awak media, ia mengaku sangat trauma berada di Lubuk Pakam atau Medan karena kerap terjadi penganiayaan kepada teman-teman yang berjuang mendapatkan hak tanah tersebut oleh oknum tertentu yang layaknya bak preman. Karenanya, ia meminta alamatnya saat ini dirahasiakan.
SUMBER: www.atjehportal.com
0 Komentar