"Kami merasa lega ketika Mr. K. Heinz Rauball menjelaskan bahwa masalahnya bukan di Aceh, dan mereka tidak merasa khawatir dengan kondisi keamanan. Bahkan menurut Mr. Rauball, Aceh jauh lebih kondusif dibandingkan daerah konflik lainnya seperti di Afrika, dimana group tersebut juga menanamkan modalnya"
Catatan:
Fadhmi Ridwan dan Illarius Wibisono .
Doc. WAA |
PENA News | Miskinnya sebuah negeri bukan karena tidak memiliki sumberdaya alam yang melimpah, tetapi lebih disebabkan oleh miskinnya sebuah kebijakan yang dirumuskan oleh penguasa negeri.
Silkeborg, 21 Desember 2009. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyajikan sebuah argumen ilmiah tentang seluk-beluk menjaring investasi. Kami menulis artikel ini untuk berbagi pengalaman tentang apa yang bisa kami lakukan sebagai warga Aceh yang berada di negeri orang.
Di bawah derasnya hujan salju. Kami melaju dari Silkeborg menuju Hamburg hingga Berlin, dengan satu tujuan mempromosikan Aceh kepada para investor sehingga rela menanamkan modalnya untuk membangun ekonomi Aceh. Sepanjang perjalanan dari Silkeborg di Denmark hingga Hamburg dan Berlin di Jerman, kami melihat barisan tower-tower Pembangkit Listrik Tenaga Angin.
Sebuah inovasi teknologi dari Denmark yang dimulai sejak tahun 70an, sehingga tidak mengherankan saat ini hampir 30% sumber energi yang digunakan di Denmark berasal dari tenaga angin.
Disaat sampai di Hamburg, kami bertemu dengan seorang warga negara Indonesia yang telah bermukim di Jerman sejak tahun 1974. Seorang pria bersahaja, kelahiran di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dengan kedekatan kultur dan geografis dengan Aceh menambah suasana pertemuan menjadi lebih akrab.
Saudara Edi Sanusi, yang memiliki jaringan luas dikalangan para investor memberikan motivasi kepada kami, bahwa sebenarnya daerah seperti Aceh memiliki peluang yang sangat besar untuk mengembangkan perekonomiannya.
Saat ini Saudara Edi bekerjasama dengan Deutsch Asia Wirtschaft, sebuah lembaga kerjasama ekonomi Jerman dengan negara-negara Asia. Beliau menjelaskan, ada banyak kesempatan untuk bisa menarik investasi. Hal yang paling penting adalah bagaimana menyajikan sebuah konsep yang berkualitas dan membangun kepercayaan terhadap investor.
Dalam sebuah bisnis yang melibatkan para investor kelas dunia, reputasi seseorang atau sebuah daerah menjadi modal besar dalam membangun kepercayaan tersebut.
Kami melanjutkan perjalanan pada malam itu juga menuju Berlin. Dimana, kami berencana untuk melakukan pertemuan dengan Rasyid Financial Group, sebuah perusahaan financial yang pernah berkunjung ke Aceh hampir dua tahun yang lalu.
Kami mencoba menggali, apa yang menjadi hambatan selama ini sehingga rencana investasi tersebut belum terealisasi. Sempat terlintas di benak kami bahwa mereka memiliki kekhawatiran terhadap kondisi keamanan di Aceh atau faktor lainnya.
Kami merasa lega ketika Mr. K. Heinz Rauball menjelaskan bahwa masalahnya bukan di Aceh, dan mereka tidak merasa khawatir dengan kondisi keamanan. Bahkan menurut Mr. Rauball, Aceh jauh lebih kondusif dibandingkan daerah konflik lainnya seperti di Afrika, dimana group tersebut juga menanamkan modalnya.
Mr. Rauball, sebagai pemilik saham dan sekaligus pimpinan perusahaan tersebut, menjelaskan seluk-beluk berinvestasi dan perkembangan teknologi yang menjadi andalan perusahaannya.
Kami berdiskusi cukup intensif tentang berbagai peluang yang bisa dilakukan di Aceh. Mulai dari pengalaman, salah satu perusahaannya dalam mengelola sampah, Waste Management. Dimana, mereka mengaku telah berhasil membantu sebuah kota di Kongo untuk mengolah sampah kota menjadi bahan bakar dengan efisiensi mencapai 50%.
Sebagai illustrasi, dari satu ton sampah, instalasi pengolahan sampah yang mereka bangun, dapat menghasilkan setara dengan 500 liter bahan bakar diesel. Di sektor energi, group tersebut memberikan prioritas pada pembangunan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan seperti Wind Mill (tenaga angin), Hydropower (tenaga air), Solar (tenaga surya) hingga Geothermal (tenaga panas bumi).
Menurut beliau, apa yang kami diskusikan sangat mungkin untuk direalisasikan di tanoh endatu Aceh. Pertanyaan yang tersisa adalah sejauh mana Pemerintah Aceh dapat meresponnya untuk merealisasikannya. Kerja keras, keseriusan dan keikhlasan menjadi pilar-pilar penyokong untuk merealisasikannya.
Apa yang dibutuhkan Nanggroe?
Menurut pengamatan kami, untuk menjamin datangnya investor dan memaksimalkan potensi Aceh, diperlukan kestabilan politik, infrastruktur energi (sistem kelistrikan) dan industrialisasi pertanian untuk mendukung mata pencaharian masyarakat Aceh yang sebagian besar petani.
Dari tiga hal tersebut, pembangunan sistem kelistrikan perlu diprioritaskan setelah secara politik Aceh terbukti dapat melalui proses transisi politik dengan baik. Infrastruktur listrik yang terjamin akan mendukung perkembangan industri lainnya.
Mendengar pemaparan kami, Rasyid Financial Group terlihat tertarik untuk memulai menanamkan modalnya di sektor energi sebagai Pilot Project sebelum investasi sektor lainnya.
Mr. K. Heinz Rauball lebih lanjut menyatakan bahwa groupnya siap untuk melakukan investasi melalui Colleteral Fund saham anak perusahaannya untuk memulai pembiayaan proyek-proyek yang diinginkan oleh Pemerintah Aceh. Bahkan apabila kerjasama dapat berjalan, mereka tidak segan-segan untuk mempersiapkan dana melalui Collateral Fund hingga 400 juta euro.
Sejauh ini menurut penuturan Mr. Rauball, hambatan utama yang dirasakan selama tahap persiapan adalah proses birokrasi yang penuh dengan ketidakpastian, sehingga sulit untuk mengantisipasi langkah-langkah apa yang harus dipersiapkan oleh group perusahaan tersebut.
Untuk menjembatani hambatan tersebut, berdasarkan diskusi dan pengalaman yang pernah mereka lakukan dalam memulai investasinya di Afrika, Pemerintah Aceh dapat memulai kerjasama dengan membuat Letter of Intent (LoI) bersama group perusahaan tersebut. Setelah terwujudnya LoI, dapat dilanjutkan dengan kerjasama konkrit dengan BUMD maupun pihak swasta lainnya untuk bekerjasama dalam mewujudkan proyek-proyek yang direncanakan. Dalam kerjasama tersebut, melalui BUMD, Pemerintah Aceh juga bisa melakukan penyertaan modal.
Menurut penuturan Zulkifli Yahya (Geutjhik Don) dan Johan Makmor Habib Abdul Gani, yang memfasilitasi pertemuan tersebut, Mr. Rauball memahami tentang keterbatasan Pemerintah Aceh dalam melakukan pendanaan pembangunan proyek-proyek tersebut. Namun menurut Mr. Rauball terdapat banyak skema alternatif yang dapat ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut.
Salah satunya adalah dengan menyertakan pihak Bank Swasta untuk menyediakan Collateral Fund dengan jaminan saham dari anak perusahaan yang telah beroperasi. Oleh karena itu, menurut mereka pihak birokrasi harus bekerja keras dalam memikirkan berbagai alternatif penyelesaian.
Menurut Ilarius Wibisono dan Fadmi Ridwan yang terlibat dalam pertemuan tersebut, sebagai tahap awal perlu segera dipersiapkan segala kebutuhan administrasi untuk dapat dibuat Letter of Intent tersebut. Dalam hal ini, institusi Badan Investasi dan Promosi Pemerintah Aceh perlu didorong menjadi leading sektor dalam merealisasikan kerjasam tersebut.
Apalagi menurut penjelasan Geutjhik Don dan Johan Makmor Habib Abdul Gani, pada tahun 2008 mereka telah melakukan serangkaian persiapan administrasi dengan instansi tersebut. Sayangnya proses yang telah dirintis tersebut belum berjalan seperti yang diharapkan.
Hal yang sangat menggembirakan adalah pengakuan kepala Badan Investasi dan Promosi Pemeintah Aceh yang juga ikut dalam delegasi Pemerintah Aceh di Copenhagen dan terlibat dalam berbagai diskusi dengan komunitas Aceh di Denmark yang mengatakan, ia akan dengan segala cara membantu untuk memudahkan investor untuk masuk ke Aceh. Semoga pengakuan tersebut bukan hanya sebatas pengakuan tetapi lahir dalam kenyataan keseharian.
Demikian harapan Geuthik Don dan Johan Makmor Habib Abdul Gani Aktivis World Achehnese Association (WAA) sebuah persatuan masyarakat Aceh se-dunia
Fadhmi Ridwan adalah
Reducing Carbon Emissions from Deforestation (REDD)
& Illarius Wibisono dari Aceh Green
0 Komentar