Setelah perjanjian damai antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (PemRI) dalam
Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005
di Helsinki Finlandia membuat kondisi keamanan di Aceh berangsur normal dan
kondusif.
Namun, ada persoalan lain yang
sampai kini (setelah 7 tahun MoU) masih adanya ketidak-pahaman masyarakat
terkait GAM dan Komite Peralihan Aceh (KPA). Nah, pada kesempatan ini penulis
telah membuat riset yang cukup "luas" dengan menggali kembali
pernyataan-pernyataan dari berbagai pihak, seperti mantan-mantan perunding dari
ke dua belah pihak dan pegawai-pegawai mediator, Crisis Management Initiative
(CMI), mantan-mantan anggota Aceh Monitoring Mission (AMM), membaca kembali berbagai
laporan pers, dsb. Untuk mencoba memberikan sebuah informasi dan pencerahan
yang menyeluruh dan jelas terkait persepsi membingungkan tentang kedudukan KPA
sekarang ini, apakah benar umpamanya kleim-kleim sepihak bahwa GAM telah
berubah menjadi KPA dan KPA menjadi PA.
Kebingungan masyarakat timbul
terutamanya karena banyak sekali anggota GAM yang tidak termasuk dalam struktur
KPA, apalagi dalam PA, sebuah partai politik lokal terbuka yang didirikan
dibawah UU Republik Indonesia
yang dibarisan pimpinan tertingginya terlihat bukan saja non-GAM, bahkan mereka
yang dulunya menentang GAM.
Namun, sebelum jauh membaca
tulisan ini penulis berharap semoga pencerahan ini tidak dijadikan alat untuk
bermusuh-musuhan, dan tidak dijadikan alat untuk menyalahkan antara sesama.
Jadikanlah pencerahan ini sebagai referensi kita yaitu Bangsa Aceh untuk
meneliti dan mempelajari apa yang telah kita lakukan.
Selamat membaca, dan saya harap
kalau ada yang tidak setuju dengan pencerahan ini, silakan bantah dan tulis
bantahan anda dan silakan kirim ke email: tacehtimes@gmail.com atau ke
penaaceh@gmail.com. Dan, kita akan publish juga pencerahan dari anda.
Pencerahan anda kami harap tidak bersifat emosi dan tidak sopan.
Dari interview The ACEH TIMES
(TAT) Perwakilan EUROPA dengan beberapa mantan-perunding GAM yang kemudian
menjabat kedudukan-kedudukan penting dalam Pemerintahan Aceh, memang jelas
bahwa banyak sekali persepsi yang keliru tentang KPA. Tidak banyak diketahui orang
bahwa KPA sebenarnya didirikan oleh wakil resmi GAM dalam AMM, Irwandi Yusuf,
atas permintaan Ketua AMM, Pieter Faith, sebagai kompromi atas keberatan wakil
RI dalam AMM, Letjen Bambang Darmono (saat itu) yang menyatakan tidak logis RI
masih terus bicara dengan GAM setelah MoU diteken, sedangkan Di lain pihak,
tidak ada kejelasam tentang status resmi GAM dalam MoU dan masa depannya.
Pimpimam GAM menolak
membubarkannya karena itu memang tidak dibicarakan dalam perundingan MOU. GAM
tidak mau membubarkan diri karena diperlukan kalau terjadi masalah dan perlu
dibicarakan dalam dispute settlement yang tertera dalam pasal 6 MoU. Kalau
dibubarkan, maka pasal 6 jadi tidak relevan. Ketika Juha Christensen
mengingatkan supaya dibicarakan hal pembubaran GAM/ASNLF ini pada ronde akhir,
dia malah dimarahi oleh Ahtisaari, karena kata Ahtisaari, itu bertentangan
dengan motto perundingan, untuk mencapai "perdamaian yang adil dan
bermartabat"; membicarakan pembubaran pada saat itu dikatakannya melukai
martabat GAM, oleh karena itu dia melarangnya.
KPA, ternyata adalah sebuah
lembaga resmi yang diakui RI dan dibiayai operasionalnya oleh RI melalui Badan
Reintegrasi Damai Aceh (BRA), per tahun sebesar 1 milyar untuk KPA Pusat dan
100 juta untuk 16 kantor KPA wilayah. AMM hanya membenarkan kantor-kantor
cabang KPA hingga tingkat kecamatan. Ketika membaca laporan financial tahunan
BRA, secara kebetulan kami juga mendapati bahwa BRA waktu itu juga mendanai
operasional FKK yang diketuai oleh Letjen Amiruddin, sebagai mewakili Pemerintah RI
(Desk Aceh) dalam AMM. Jadi waktu itu sebenarnya semuanya jelas, tidak ada yang
membingungkan. Masalah jadi tidak jelas ketika AMM tiba-tiba ”Gulung Tikar” dan
”Angkat Kaki” dari Aceh. karena Panglima-panglima GAM juga menjadi kepala-kepala
KPA, maka timbullah salah persepsi bahwa GAM sudah berubah menjadi KPA. Jadi
jelas sekali bahwa persepsi bahwa GAM berubah menjadi KPA keliru. GAM tetap
GAM, banyak sekali pimpinan dan anggota GAM yang tidak termasuk dalam struktur
KPA, apalagi PA.
Kenapa ada yang
mengatakan tidak logis kalau bicara tentang GAM, sedangkan mereka kan membuat perdamaian
dengan GAM. Persoalan terkait yang
selanjutnya menarik perhatian TAT adalah kenapa banyak eks kombatan yang
mengeluh tentang bantuan yang telah dijanjikan dalam MoU kepada mereka?
Dari keterangan seorang mantan
pegawai tinggi AMM dari Finlandia, kami memperoleh keterangan bahwa ketika
Irwandi Yusuf diberhentikan dari AMM oleh pimpinan GAM, Meuntroe Malik Mahmud,
karena perselisihan paham soal penentuan calon Gubernur dan wakil Gubernur H2O
yang ditentang oleh Irwandi dkk, dan diganti oleh Zakaria Saman, pihak GAM
telah meminta agar lahan tanah yang dijanjikan itu ditukar dengan wang tunai
sebesar 15 juta rupiah, ditambah dengan pampasan 10 juta rupiah yang sudah
dipersetujui sebelumnya tetapi belum cair untuk setiap 3000 orang ex kombatan.
Karena jumlah ex kombatan yang sebenarnya lebih dari 20.000 maka dana itu telah
dibagi-bagi oleh para Panglima GAM, dengan jumlah yang jauh lebih kecil; ada ex
kombatan yang terimanya Rp.200.000.- (dua ratus ribu rupiah), ada yang 1 juta
rupiah, dsb. Hal ini bisa dibaca dalam berbagai laporan resmi badan-badan
internasional seperti IOM, World Bank, dll.
Sehubungan dengan hal ini, TAT
Europa telah berkonsultasi dengan seorang pakar undang-undang internasional
yang menjelaskan bahwa pergantian lahan tanah dengan uang itu tidak sah,
walaupun disetujui oleh Pemimpin Tertinggi GAM yang teken MoU (Meuntroe Malik
Mahmud), karena MoU itu sebuah perjanjian internasional, dengan kesaksian pihak
internasional yang isinya hanya bisa dirubah melalui mekanisme yang ada dalam
perjanjian itu sendiri, yaotu pasal 6 MoU (dispute settlement). Jadi soal
tanah, soal pembayaran ganti rugi untuk harta benda, soal ruang pekerjaan, soal
pensiun untuk eks kombatan yang tidak bisa bekerja, memang sama sekali BELUM
ditangani.
Kisruh yang juga sekarang sedang
hangat dibicarakan dalam masyarakat Aceh di Indonesia dan juga di luar negeri
adalah tentang bendera GAM.
Dalam tahun 2006-2007 telah bersebar ribuan badge dan tie pin bendera GAM yang sangat digemari masyarakat.
Penyebaran im bahkan sampai ke negara-negara Skandinavia (Sweden , Denmark dan Norwegia) dalam jumlah
ribuan. Timbul penentangan dari TNI dan Polri yang melarang penggunaan emblem
tersebut. Pieter Faith mula-mula juga melarang. Tapi masyarakat tidak perduli
dan terus memakainya. Menjelang 4 Desember 2006, Pieter Faith membenarkan
pengibaran 4 Bendera Bulan Bintang di tiap kecamatan, tidak boleh lebih, karena
akan dianggap provokasi oleh aparat.
Namun izin ini dicabut kembali
ketika Zakaria Saman, memberi tau Pieter Faith bahwa GAM tidak akan meneruskan
pemotongan senjata karena katanya "sudah tidak ada lagi". Pieter
Faith marah dan mengancam menyatakan GAM non compliance (tidak mematuhi) MoU
dan mencabut izin pengibaran bendera GAM pada 4 Desember. Tidak lama kemudian
persoalam non compliance itu dapat diatasi oleh Irwandi dengan melengkapkan
jumlah pemotongan senjata yang dijanjikan di tempat pemotongan terakhir, yaitu di
Sabang. Tetapi kontroversi larangan pengibaran bendera GAM menjadi lebih
runcing dengan aparat mulai menyita badge dan tie pin, hingga masyarakat tidak
berani memakai lagi.
Hingga kini keberadaan GAM di
Aceh masih lagi tidak jelas. Walaupun sebenarnya dari segi hukum GAM tidak ada
larangan untuk membuka kantor dan mengibarkan bendera disetiap wilayah, seperti
yang disetujui oleh Pieter Faith. Mari kita renungkan sama-sama dan tanya pada
diri kita masing-masing sebagai Rakyat Aceh, apa yang telah kita lakukan
terhadap perdamaian ini.
Johan Makmor Habib AG
The ACEH TIMES Perwakilan Europa
Group Company
Tabloid SUARA PUBLIK
Sumber: www.tabloidsuarapublik.com
0 Komentar