Like on Facebook

header ads

Membingungkan Terkait GAM & KPA


Setelah perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (PemRI) dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia membuat kondisi keamanan di Aceh berangsur normal dan kondusif.

Namun, ada persoalan lain yang sampai kini (setelah 7 tahun MoU) masih adanya ketidak-pahaman masyarakat terkait GAM dan Komite Peralihan Aceh (KPA). Nah, pada kesempatan ini penulis telah membuat riset yang cukup "luas" dengan menggali kembali pernyataan-pernyataan dari berbagai pihak, seperti mantan-mantan perunding dari ke dua belah pihak dan pegawai-pegawai mediator, Crisis Management Initiative (CMI), mantan-mantan anggota Aceh Monitoring Mission (AMM), membaca kembali berbagai laporan pers, dsb. Untuk mencoba memberikan sebuah informasi dan pencerahan yang menyeluruh dan jelas terkait persepsi membingungkan tentang kedudukan KPA sekarang ini, apakah benar umpamanya kleim-kleim sepihak bahwa GAM telah berubah menjadi KPA dan KPA menjadi PA.

Kebingungan masyarakat timbul terutamanya karena banyak sekali anggota GAM yang tidak termasuk dalam struktur KPA, apalagi dalam PA, sebuah partai politik lokal terbuka yang didirikan dibawah UU Republik Indonesia yang dibarisan pimpinan tertingginya terlihat bukan saja non-GAM, bahkan mereka yang dulunya menentang GAM.

Namun, sebelum jauh membaca tulisan ini penulis berharap semoga pencerahan ini tidak dijadikan alat untuk bermusuh-musuhan, dan tidak dijadikan alat untuk menyalahkan antara sesama. Jadikanlah pencerahan ini sebagai referensi kita yaitu Bangsa Aceh untuk meneliti dan mempelajari apa yang telah kita lakukan.

Selamat membaca, dan saya harap kalau ada yang tidak setuju dengan pencerahan ini, silakan bantah dan tulis bantahan anda dan silakan kirim ke email: tacehtimes@gmail.com atau ke penaaceh@gmail.com. Dan, kita akan publish juga pencerahan dari anda. Pencerahan anda kami harap tidak bersifat emosi dan tidak sopan.

Dari interview The ACEH TIMES (TAT) Perwakilan EUROPA dengan beberapa mantan-perunding GAM yang kemudian menjabat kedudukan-kedudukan penting dalam Pemerintahan Aceh, memang jelas bahwa banyak sekali persepsi yang keliru tentang KPA. Tidak banyak diketahui orang bahwa KPA sebenarnya didirikan oleh wakil resmi GAM dalam AMM, Irwandi Yusuf, atas permintaan Ketua AMM, Pieter Faith, sebagai kompromi atas keberatan wakil RI dalam AMM, Letjen Bambang Darmono (saat itu) yang menyatakan tidak logis RI masih terus bicara dengan GAM setelah MoU diteken, sedangkan Di lain pihak, tidak ada kejelasam tentang status resmi GAM dalam MoU dan masa depannya.

Pimpimam GAM menolak membubarkannya karena itu memang tidak dibicarakan dalam perundingan MOU. GAM tidak mau membubarkan diri karena diperlukan kalau terjadi masalah dan perlu dibicarakan dalam dispute settlement yang tertera dalam pasal 6 MoU. Kalau dibubarkan, maka pasal 6 jadi tidak relevan. Ketika Juha Christensen mengingatkan supaya dibicarakan hal pembubaran GAM/ASNLF ini pada ronde akhir, dia malah dimarahi oleh Ahtisaari, karena kata Ahtisaari, itu bertentangan dengan motto perundingan, untuk mencapai "perdamaian yang adil dan bermartabat"; membicarakan pembubaran pada saat itu dikatakannya melukai martabat GAM, oleh karena itu dia melarangnya.

KPA, ternyata adalah sebuah lembaga resmi yang diakui RI dan dibiayai operasionalnya oleh RI melalui Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA), per tahun sebesar 1 milyar untuk KPA Pusat dan 100 juta untuk 16 kantor KPA wilayah. AMM hanya membenarkan kantor-kantor cabang KPA hingga tingkat kecamatan. Ketika membaca laporan financial tahunan BRA, secara kebetulan kami juga mendapati bahwa BRA waktu itu juga mendanai operasional FKK yang diketuai oleh Letjen Amiruddin, sebagai mewakili Pemerintah RI (Desk Aceh) dalam AMM. Jadi waktu itu sebenarnya semuanya jelas, tidak ada yang membingungkan. Masalah jadi tidak jelas ketika AMM tiba-tiba ”Gulung Tikar” dan ”Angkat Kaki” dari Aceh. karena Panglima-panglima GAM juga menjadi kepala-kepala KPA, maka timbullah salah persepsi bahwa GAM sudah berubah menjadi KPA. Jadi jelas sekali bahwa persepsi bahwa GAM berubah menjadi KPA keliru. GAM tetap GAM, banyak sekali pimpinan dan anggota GAM yang tidak termasuk dalam struktur KPA, apalagi PA.

Kenapa ada yang mengatakan tidak logis kalau bicara tentang GAM, sedangkan mereka kan membuat perdamaian dengan GAM. Persoalan terkait yang selanjutnya menarik perhatian TAT adalah kenapa banyak eks kombatan yang mengeluh tentang bantuan yang telah dijanjikan dalam MoU kepada mereka?

Dari keterangan seorang mantan pegawai tinggi AMM dari Finlandia, kami memperoleh keterangan bahwa ketika Irwandi Yusuf diberhentikan dari AMM oleh pimpinan GAM, Meuntroe Malik Mahmud, karena perselisihan paham soal penentuan calon Gubernur dan wakil Gubernur H2O yang ditentang oleh Irwandi dkk, dan diganti oleh Zakaria Saman, pihak GAM telah meminta agar lahan tanah yang dijanjikan itu ditukar dengan wang tunai sebesar 15 juta rupiah, ditambah dengan pampasan 10 juta rupiah yang sudah dipersetujui sebelumnya tetapi belum cair untuk setiap 3000 orang ex kombatan. Karena jumlah ex kombatan yang sebenarnya lebih dari 20.000 maka dana itu telah dibagi-bagi oleh para Panglima GAM, dengan jumlah yang jauh lebih kecil; ada ex kombatan yang terimanya Rp.200.000.- (dua ratus ribu rupiah), ada yang 1 juta rupiah, dsb. Hal ini bisa dibaca dalam berbagai laporan resmi badan-badan internasional seperti IOM, World Bank, dll.

Sehubungan dengan hal ini, TAT Europa telah berkonsultasi dengan seorang pakar undang-undang internasional yang menjelaskan bahwa pergantian lahan tanah dengan uang itu tidak sah, walaupun disetujui oleh Pemimpin Tertinggi GAM yang teken MoU (Meuntroe Malik Mahmud), karena MoU itu sebuah perjanjian internasional, dengan kesaksian pihak internasional yang isinya hanya bisa dirubah melalui mekanisme yang ada dalam perjanjian itu sendiri, yaotu pasal 6 MoU (dispute settlement). Jadi soal tanah, soal pembayaran ganti rugi untuk harta benda, soal ruang pekerjaan, soal pensiun untuk eks kombatan yang tidak bisa bekerja, memang sama sekali BELUM ditangani.

Kisruh yang juga sekarang sedang hangat dibicarakan dalam masyarakat Aceh di Indonesia dan juga di luar negeri adalah tentang bendera GAM.

Dalam tahun 2006-2007 telah bersebar ribuan badge dan tie pin bendera GAM yang sangat digemari masyarakat. Penyebaran im bahkan sampai ke negara-negara Skandinavia (Sweden, Denmark dan Norwegia) dalam jumlah ribuan. Timbul penentangan dari TNI dan Polri yang melarang penggunaan emblem tersebut. Pieter Faith mula-mula juga melarang. Tapi masyarakat tidak perduli dan terus memakainya. Menjelang 4 Desember 2006, Pieter Faith membenarkan pengibaran 4 Bendera Bulan Bintang di tiap kecamatan, tidak boleh lebih, karena akan dianggap provokasi oleh aparat.

Namun izin ini dicabut kembali ketika Zakaria Saman, memberi tau Pieter Faith bahwa GAM tidak akan meneruskan pemotongan senjata karena katanya "sudah tidak ada lagi". Pieter Faith marah dan mengancam menyatakan GAM non compliance (tidak mematuhi) MoU dan mencabut izin pengibaran bendera GAM pada 4 Desember. Tidak lama kemudian persoalam non compliance itu dapat diatasi oleh Irwandi dengan melengkapkan jumlah pemotongan senjata yang dijanjikan di tempat pemotongan terakhir, yaitu di Sabang. Tetapi kontroversi larangan pengibaran bendera GAM menjadi lebih runcing dengan aparat mulai menyita badge dan tie pin, hingga masyarakat tidak berani memakai lagi.

Hingga kini keberadaan GAM di Aceh masih lagi tidak jelas. Walaupun sebenarnya dari segi hukum GAM tidak ada larangan untuk membuka kantor dan mengibarkan bendera disetiap wilayah, seperti yang disetujui oleh Pieter Faith. Mari kita renungkan sama-sama dan tanya pada diri kita masing-masing sebagai Rakyat Aceh, apa yang telah kita lakukan terhadap perdamaian ini. 
Johan Makmor Habib AG
The ACEH TIMES Perwakilan Europa
Group Company
Tabloid SUARA PUBLIK


Sumber: www.tabloidsuarapublik.com

Posting Komentar

0 Komentar