Like on Facebook

header ads

UUPA Di "Mata" Nur Djuli


Untuk mengetahui apa yang sudah dan apa yang belum terlaksana dalam pelaksanaan MoU didalam UUPA, maka The ACEH TIMES meminta uluran tangan Bang Nur Djuli untuk menulis pendangan beliau. Kami berpikir hanya dengan cara bertanya kepada orang yang langsung ikut dalam "perancangan" MoU saja dapat menguraikan dengan pasti. Apa dan bagaimana seharusnya penerapan MoU Helsinki itu kedalam UUPA. Di bawah ini anda akan dapat membaca ulasan beliau tentang MoU dan UUPA.

Matrix Anomali Antara MoU Helsinki dan UUPA No. 11/2006

Prinsip hukum: UUPA adalah payung hukum untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan MoU Helsinki. Oleh karenanya ketentuan-ketentuan UUPA tidak boleh bertentangan dengan isi MoU yang tertulis ataupun yang tersirat.

Terdapat 3 Jenis Anomali:

  1. KRITIKAL, yaitu isu-isu yang jelas merupakan pelanggaran ketentuan MoU, dan harus diamandemen secepat mungkin.
  2. PENTING, yaitu isu-isu yang juga jelas melanggar ketentuan-ketentuan MoU. Tetapi masih bisa diterima kalau dalam pelaksanaan UUPA itu nanti terlihat tidak terlalu jauh menyelewengan dari prinsip-prinsip MoU.
  3. MEMERLUKAN KLARIFIKASI, isu-isu yang tidak jelas kedudukannya dalam UUPA, atau ketentuan-ketentuan yang bertentangan antara satu dan lainnya.
ISU-ISU KRITIKAL :
Pasal 1.1.1 MoU: Undang-Undang baru tentang penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku tanggal 31 Maret 2006. UUPA 11/2006 tidak menyebut MoU Helsinki sebagai sumber hukumnya (“Menimbang”). Padahal, ini adalah salah satu dari ketentuan-ketentuaninti MoU yang mengikat bagi UUPA.

Kegagalan ini menjadikan klausal-klausal UUPA seolah-olah tidak mempunyai relevansi apa-apa dengan MoU. Bahkan timbul tafsiran bahwa UU Pemerintah Aceh adalah “hadiah” Pemerintah Pusat untuk Aceh, yang “sakral”, “harga mati”, “Jangan diganggu gugat, nanti dicabut kembali”.

Alasan yang dikemukakan Pemerintah Republik Indonesia dalam suratnya kepada Pieter Faith (AMM) tertanggal 28 Agustus 2006, bahwa MoU tidak bisa disebutkan sumber hukum UUPA. Karena kuatir dibawa pada judicial review oleh pihak-pihak yang menentang MoU tidak dapat diterima.

Penentuan sumber sebuah hukum sudah jelas ditentukan dalam UU No. 10/2004 (Prosedur penggubahan UU), dan tidak ada sesuatu hal pun yang menghambat MoU Helsinki untuk disebutkan dalam Mukaddimah UUPA ("Menimbang"). Bahkan ini adalah suatu keharusan untuk memberi UU tersebut secara sistematik latar belakang filosofis, maksud dan tujuan dibuatnya UU tersebut dengan jelas sebagaimana diatur dalam UU No.10/2004.

KRITIKAL :

PASAL 1.1.2 MoU: Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: 
a) Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebebasan tersebut merupakan kewenangan Pemetintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi. Jelas sekali prinsip filosofisnya disini, sesuai dengan pendirian pihak Pemerintah Republik Indonesia dalam perundingan: “Semua boleh kecuali merdeka, adalah Aceh memberi beberapa (6) otoritas kepada Pemerintah Pusat dan semua yang lainnya tetap berada di tangan Aceh. 
Pasal 7 dan 11 UUPA sangat berbeda dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam MoU tersebut di atas. Selain dari 6 sektor administrasi publik yang jelas diperuntukkan sebagai otoritas Pemerintah Pusat, UUPA menambah, “Urusan pemerintahan yang bersifat Nasional”. Definisi “Urusan pemerintahan yang bersifat Nasional” dalam UUPA sangat tidak konsisten dan tidak jelas sehingga membuka kesempatan bagi Pemerintah Pusat untuk mencaplok serangkaian yang luas otoritas-otoritas Aceh berlawanan dengan dimaksudkan dengan jelas dalam MoU.

UUPA juga menyatakan bahwa urusan-urusan yang bersifat nasional itu akan diatur selanjutnya dibawah Peraturan Pemerintah (Pasal 270 (1)), yang dengan sendirinya bisa meletakkan semua otoritas Pemerintahan Aceh dibawah wewenang Pemerintah Pusat dengan hanya membuat Peraturan Pemerintah.

KRITIKAL:
Tidak bisa diterima bahwa Pemerintah Republik Indonesia memegang kuasa untuk menentukan norma-norma yang berlaku di tingkat Kabupaten dan Kota, sesuai standar dan prosedur yang berlaku untuk urusan-urusan pemerintahan secara umum, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11 (1) UUPA dan turunan-turunannya. Penjelasan Pemerintah Republik Indonesia bahwa Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota hanya harus mengikuti norma, standar dan prosedur nasional tersebut ketika UU 11/2006 menyebutnya dengan jelas, tidak dapat diterima karena hampir tidak ada urusan pemerintahan yang diatur dalam UU tersebut yang tidak harus dipatuhi.

Hal ini jelas sekali dalam peraturan yang mewajibkan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota untuk melaksanakan urusan-urusan lisensi-lisensi penting berdasarkan norma, standar dan prosedur nasional (Pasal 165, 2 and 3). Pemaksaan norma, standar dan prosedur nasional atas Aceh dan Kabupaten/Kota menghambat secara tidak patut hak-hak Pemerintah Aceh dan Kab/Kota untuk melaksanakan otoritas khususnya sebagaimana ditetapkan oleh MoU dan UU 11/2006 itu sendiri.

KRITIKAL:

Pasal 112 MoU:
  • Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ihwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
  • Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
  • Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
Pasal 8 UUPA:
Terdapat pelanggaran yang eksplist prinsip MoU dengan menukar kata “persetujuan” menjadi “pertimbangan”. Alasan yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia bahwa penukaran tersebut dibuat untuk menghindari klausal itu dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi menunjukkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah membuat persetujuan yang tidak jujur di Helsinki yaitu dengan sengaja membuat persetujuan tentang sesuatu yang diketahuinya tidak mungkin dilaksanakan.  

KRITIKAL : Pasal 1.1.3 MoU: “Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah Pemilihan Umum yang akan datang”
Pasal 251 UUPA:
Sementara Pasal 251 (1) menyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan bahwa nama Aceh dan gelar-gelar pejabat senior akan ditentukan oleh legislatur Aceh, Pasal 251 (2) menurunkan taraf “keputusan” DPRA itu menjadi “usul” yang masih harus diterjemahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia ke dalam Peraturan Pemerintah sebelum berlaku, yang artinya keputusan terakhir tetap berada di tangan Pemerintah Republik Indonesia, yang merupakan pelanggaran secara ekplisit ketentuan MoU di atas.

KRITIKAL:
Pasal 1.4.5 MoU: “Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh:.
Pasal 203 UUPA tidak menyebut hal ini dengan jelas: “Tindak pidana yang dilakukan prajurit TNI di Aceh diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Perundangundangan yang mana, sipil atau militer?

KRITIKAL:
Pasal 4.7 MoU: “Jumlah tentera organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14 700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang”.
UUPA sama sekali tidak menyebut soal ini, sehingga tidak ada mekanisme yang wujud untuk memastikan bahwa ketentuan tersebut dihormati oleh otoritas militer dan polisi. Kenyataan di lapangan sekarang menunjukkan bahwa setiap diperlukan tenaga tambahan untuk menangani peristiwa-peristiwa khusus (Pemilu, umpamanya), akan diadakan pengiriman anggota TNI dan Polisi tambahan. 
Tambahan tersebut tidak pernah diumumkan telah ditarik kembali hingga secara transparan. Bahkan Pangdam Letnan Jendral Sunarko (mantan/purnawirawan) telah membuat konfirmasi dalam pernyataannya di tahun 2010 bahwa jumlah TNI di Aceh adalah 15 000 orang. Dan, akan ditambah jika diperkirakan perlu. Pernyataan ini merupakan tantangan terbuka kepada ketentuan MoU di atas, yang tidak mendapat respon dari siapapun. 

KRITIKAL, TIDAK DISEBUT DALAM UUPA:

Pasal 4.1.1 MoU: “Tentera akan bertanggungjawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentera organik yang akan berada di Aceh”.
Jelas, menurut ketentuan MoU di atas, peran TNI terbatas pada mempertahankan Aceh dari serangan dari luar negeri. Ini artinya tugas-tugas TNI yang disebutkan dalam UU 34/2004, secara eksplisit tidak bisa diberlakukan di Aceh. Respon Pemerintah kepada AMM tertanggal 8 Agustus 2006, yang menyatakan bahwa TNI bisa dilibatkan dalam hal-hal sekuriti dalam negeri adalah bertentangan dengan ketentuan MoU, karena sekuriti dalam negeri adalah sepenuhnya tanggungjawab polisi, seperti ditentukan dalam Pasal 4.10 MoU: “Polisi organik akan bertanggungjawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh".

ISU-ISU PENTING:

Pasal 1.1.4 MoU: “Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956. UUPA Pasal 3: Referensi perbatasan-perbatasan Aceh merujuk kepada UU 24/1956. Referensi perbatasan-perbatasan Aceh sebagaimana tertera dalam UU 24/1956 adalah sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman tentang garis perbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara. Dan juga untuk mencegah pemecahahan wilayah Aceh tanpa persetujuan DPRA dan Pemerintah Aceh. Penggunaan istilah “Lautan Indonesia” menimbulkan masalah karena dalam peta-peta internasional tidak ada lautan yang bernama demikian, yang ada adalah “Lautan Hindia” (Indian Ocean)

PENTING:
MoU Pasal 1.3..1 :“Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri". Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).
Ketentuan UUPA Pasal 186 (1) dan (3): Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah yang dananya bersumber dari luar negeri atau bersumber selain dari pinjaman luar negeri dengan persetujuan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri.
Ketentuan ini menjadikan ketentuan MoU diatas tidak memberi keistimewaan apa-apa kepada Aceh dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain karena provinsi mana saja bisa pinjam uang pada Pemerintah Pusat. Memang disedari bahwa tidak mungkin Pemerintah Aceh bisa dengan bebas tanpa kontrol Pusat membuat perjanjian dengan pemerintah atau badan-badan finansial internasional tanpa kontrol sama sekali dari Pemerintah Pusat, menukar “memperoleh dana melalui hutang luar negeri” menjadi “memperoleh pinjaman dari Pemerintah” menjadikannya tidak bermakna sama sekali.
PENTING: Pasal 1.3.5 MoU: ”Aceh boleh mengadakan pembangunan danpengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh”.
Perhatikanlah ketentuan-ketentuan yang bersangkut soal ini dalam UUPA Pasal: 19, 172, 173 dan 254. Pasal 19 memberi pengecualian pada “yang dikelola oleh BUMN”. Masalahnya boleh dikatakan semua pelabuhan besar dan penting di Aceh dikelola oleh BUMN. Pasal 172/173, setelah memberi hak kepada Aceh sebagaimana dimaksudkan dalam MoU, ditambah dengan “ekor” yang berbunyi: “diatur dengan qanun dengan memperhatikan norma, standar, dan prosedur yang berlaku”, yang kembali meletakkan otoritas terakhir pada Pemerintah Pusat, karena yang akan mengukur apakah sebuah qanun telah memperhatikan norma, standar dan prosedur yang berlaku tentunya adalah pemilik norma, standar dan prosedut itu sendiri (Pemerintah Pusat). Pasal 254 memberi batas waktu selambat-lambatnya awal 2008 untuk penyerahan pelabuhan-pelabuhan laut dan udara kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, namun sampai sekarang masih banyak yang belum diserahkan.

PENTING:
Pasal 137 MoU: “Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara”.
Pasal 165 (3) UUPA kembali mengenakan syarat “berdasarkan norma, standar dan prosedur yang barlaku nasional” yang berarti suatu hambatan, yang dalam prakteknya bisa disangkutkan dengan kewajiban birokratis untuk mendapatkan izin, permit, lisensi, sertifikat atau hambatan-hambatan lainnya dari Lembaga Pemerintah Pusat, yang dengan eksplisit melanggar ketentuan “tanpa hambatan” Pasal 137 MoU. 

PENTING dan BELUM DILAKSANAKAN:
Pasal 2.2.MoU: “Sebuah pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh”.
Walaupun Pasal 228 dan 259 UUPA telah memberi peruntukan bagi pembentukan Mahkamah HAM ini, paling lambat 1 tahun setelah dari tanggal berlakunya UU ini, sampai sekarang belum ada langkah-langkah yang jelas menuju pembentukannya.

PENTING DAN BELUM DILAKSANAKAN:
Pasal 2.3 MoU: “Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi".
Walau Pasal 229 UUPA telah membuat peruntukan untuk pembentukannya, KKR untuk Aceh belum juga dibentuk. Pasal 229 (1) menentukan bahwa KKR dibentuk dengan UUPA 11/2006 itu sendiridan Pasal 229 (2) memberi peruntukan bahwa KKR yang akan dibentuk itu menjadi bagian integral dari KKR Indonesia. Mengingat bahwa UU Indonesia (UU 27/2004) telah ditunda pemberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi ada dua jalan yang bisa ditempuh untuk memenuhi tuntutan MoU tersebut di atas:
  1. Mengamandemen UU 27/2004 secepat-cepatnya (sekarang sudah 8 tahun dari waktu pendundaannya) supaya KKR Indonesia bisa berlaku dan seterusnya Qanun KKR dibuat untuk menjadi bagiannya,
  2. Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, menimbang bahwa ini adalah masalah yang urgen. Proses perdamaian tidak bisa berjalan lancar sekiranya mereka yang menjadi korban pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius tidak mendapatkan perhatian khusus, adil dan bermartabat dengan segera, atas perdoman: “Justice delayed, justice denied”
PENTING DAN BELUM TUNTAS:
Pasal 3.1.1 MoU: “Pemerintah RI, sesuai dengan prosedur konstitusional akan memberikan amnesti kepada semua orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini”
Sementara bisa dikatakan ketentuan ini telah dilaksanakan dengan baik dengan dilepaskannya lebih dua ribu orang GAM atau dituduh terlibat dalam perjuangan GAM yang ditahan atau dipenjarakan, 7 tahun setelah ketentuan di atas itu ditandatanganin, masih ada seorang pejuang GAM yang belum menikmati "udara bebas" secara total. Walaupun hal ini tidak sepenuhnya merupakan “non-compliance” oleh pihak RI karena pihak pimpinan tertinggi GAM juga bertanggungjawab karena ketidakjelasan pendiriannya dalam soal ini, menjadi simbol kegagalan Pemerintah RI melaksanakan janjinya. 

PENTING DAN BELUM TUNTAS:
Pasal 3.2.4 MoU: “Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh”.
Belum ada tanda-tanda Pemerintah akan melaksanakan kententuan ini sepenuhnya. Bahkan dana yang dijanjikan kepada BRA sebesar 2.1 trilliun rupiah tidak seluruhnya diberikan ketika Pemerintah Pusat menyatakan tidak akan melanjutkan dana Reintegrasi setelah 2012. Sistem birokrasi keuangan negara yang biasa telah digunakan untuk penyaluran dana khusus ini yang menimbulkan berbagai masalah pencairan dana tepat waktu dan penyaluran yang lebih efektif dan bermanfaat.

PENTING DAN BELUM DILAKSANAKAN:
Pasal 3.2.5: “Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat. Dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak. Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut:
  • Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.
  • Semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.
  • Semua rakyat sipil yaang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.
Tidak ada ketentuan apapun dalam UUPA yang menyebutkan tentang kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh yang mengatur hal ini. Kegagalan menangani masalah ini yang berterusan akan mempunyai dampak yang sangat serius dalam proses perdamaian yang berkesinambungan.

PENTING, BELUM DILAKSANAKAN:
Pasal 3.2.6.MoU: “Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan”. Badan Reintegrasi Aceh (BRA), telah dibentuk oleh Pemerintah Aceh untuk menyalurkan dana reintegrasi dari Pemerintah Pusat yang kemudian ikut didananai oleh Pemerintah Aceh.

Banyak sekali klaim-klaim yang tidak dapat diselesaikan oleh BRA karena tidak diberi mandat dan dana untuk tujuan tersebut. Walaupun masyarakat menyangka, dengan sepatutnya, bahwa BRA bertanggungjawab untuk melayani klaim-klaim mereka. Sampai sekarang, belum ada tanda-tanda Komisi Bersama ini akan dibentuk dalam waktu yang singkat.

MEMERLUKAN KLARIFIKASI:
Pasal 4.8 MoU: “Tidak akan ada pergerakan besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya Kepada Misi Monitoring.

Pernyataan Pemerintah Republik Indonesia dalam buku ”Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia untuk AMM” halaman 93 bahwa tidak perlu membuat laporan lagi setelah AMM mengakhiri mandatnya di Aceh”. Tidak kondusif untuk pemeliharaan proses perdamaian yang berkesinambungan. Pergerakan militer besar-besaran menakutkan masyarakat di wilayah pasca konflik, sebelum proses reintegrasi berjalan sepenuhnya dan kohesi sosial tercapai dan Aceh kembali normal sepenuhnya, dalam mana masyarakat tidak lagi diidentifikasi sebagai “korban konflik, mantan kombatan, mantan milisi”, dsb.

Penempatan unit-unit militer sampai ke kampung-kampung juga harus dipersoalkan, karena sama sekali tidak menggambarkan peranan militer di Aceh yang hanya untuk pertahanan eksternal.

What is Peace ?
PEACE IS BEING ABLE TO DO WHAT ONE LIKES TO DO WITHOUT BEING DISTURBED OR DISTURBING OTHERS

Kami berharap agar pembaca tidak menganggap ulasan Bang Nur Djuli ini sebagai provokasi, tapi anggaplah sebagai masukan yang berarti untuk kita pelajari. Sebagai manusia kita memang tidak terlepas dari kekurangan dan kesilapan. Tapi kekurangan dan kesilapan itu akan bisa kita atasi dengan adanya kemahuan untuk bekerja sama dan mau merubah diri, membuang ego dan membuang benci.

Untuk membuat sesuatu yang besar bukanlah gampang, tanpa kebersamaan, mustahil pekerjaan yang besar bisa diselesaikan. Kita bukan Allah yang bisa berkata Qun Paya Qun.

Pendahulu kita telah meninggalkan pepatah yang sangat berarti kepada kita “Adak Tamèh Surang Saréng Asai Puténg Lôp Lam Bara”. Betapa terangnya arti dari pepatah itu, kebersamaan tanpa mengira siapa anda dan tidak perduli bagaimana pola pikir anda, yang penting bermanfaat untuk semua.

"Akhirnya saya ingin mengucapkan terimakasih sebanyak banyaknya kepada Bang Nur Djuli yang telah sudi memberikan ulasan-ulasan tentang MoU dalam UUPA ini. kami yakin dan percaya, ulasan ini sedikit sebanyak akan berguna bagi Rakyat Aceh".
 
Laporan Johan Makmor
(The ACEH TIMES Denmark)
The ACEH TIMES adalah
Group Campany Tabloid SUARA PUBLIK

Posting Komentar

0 Komentar