Banyak
orang menafsirkan, sejarah telah mati di Atjeh karena terus dilanda
perang, terkadang dapat dibenarkan, atau juga tidak ada betulnya.
Pasalnya dalam banyak kisah menceritakan tentang peperangan dan heroisme
pejuang Atjeh. Lebih parah lagi ada yang menyebutkan, telah bosan
dengan sejarah Atjeh karena ceritanya penuh dengan cerita perang.
Namun terlepas dari berbagai pandangan tersebut, sejarah Atjeh sesungguhnya belum mati dan Atjeh terus menciptakan sejarah, bahkan orang Atjeh terus berbicara tentang sejarahnya. Selain sejarah perang, Atjeh juga memiliki sejarah kejayaan. Dua sisi antara perang dan kejayaan ini pula orang lebih tertarik menyimak sejarah Atjeh. Sadar terhadap hikmah dibalik semua yang terjadi.
Karena itu, bagi orang Atjeh sendiri yang harus kita lakukan, pelajari sejarah dan ambil hikmahnya. Memang sejarah Atjeh telah berputar, dari kejayaan kepada kemunduran. Kita tidak perlu meratapi dan mengutuk diri, memang kita saat ini sedang berada dalam masa kemunduran. Yang diperlukan sekarang, memupuk kesadaran tentang sejarah Atjeh untuk menumbuhkan semangat dalam meraih kembali kejayaan yang telah hilang itu.
Perang dan konflik Atjeh telah berlalu, kita sedang berada di era damai setelah RI-GAM menandatangani perjanjian damai di Helsinki. Dengan perjanjian tersebut, kini kita orang Atjeh telah bisa menyusun gaya pemerintahan dan gaya demokrasinya sendiri yang berbeda dengan daerah lain. Kemudian coba menganalisanya untuk sebuah kesadaran dengan tekat merebut kembali kembali kejayaan dan dimulian yang telah hilang itu.
Mungkin yang perlu dipahami, sejarah Atjeh adalah Islam, dan Islam mewarnai sejarah Atjeh. Sudah menjadi kesepakatan umum, daerah yang pertama sekali masuk Islam di Nusantara adalah Atjeh. Disinilah kerajaan Islam yang pertama lahir, yang menandakan dimulainya peradaban Islam. Identitas Islam terus mewarnai perjalanan peradaban di Atjeh dan Nusantara.
Hal yang unik dari ke-Islaman Atjeh ialah, ia tidak hanya sebagai agama yang dipakai dalam keseharian dan kebudayaan, tetapi juga menjadi ideologi yang telah menyatu dengan Atjeh. Islam menjadi dasar negara untuk sebuah pemerintahan baru yang kemudian dibentuk dan menjadi pedoman hukum tertinggi Negara Islam Atjeh ketika itu.
Pernyataan sejarawan terkenal, H.A.R Gibb, yang menyatakan, “Islam sesungguhnya lebih dari satu sistem, ia adalah satu peradaban yang lengkap” telah terbukti di Atjeh. Rakyat Atjeh pada masa itu, dengan kecerdasan yang tinggi, ketaatan kepada Tuhannya, dan dinamika sosial-budaya yang beragam, berhasil memanifestasikan Islam dalam sebuah peradaban madani. Semua tingkah laku negara dan rakyat berdasarkan Islam.
Kenyataan Ini terangkum dalam sebuah Adagium: adat bak po teumeuruhom, hukom bak syiah kuala, kanun bak putroe phang, reusam bak laksamana. Dari sini pula, Islam kemudian berkembang dan menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Nusantara. Islam di Atjeh telah menjadi sebuah peradaban yang mewarnai perjalanan hidupnya dihari-hari selanjutnya. Atjeh memiliki corak ke-Islaman yang khas.
Proses penyatuan Islam dengan adat berlangsung sangat sempurna sehingga sering dikatakan adat Atjeh adalah Islam dan Islam telah menjadi adat rakyat Atjeh (adat ngon syariat lagee zat ngon sifeut). Semangat dari sebuah Egaliter dan peradaban yang terbuka turut pula menjadikan daerah ini memiliki peradaban yang tinggi (kosmopolit) lebih cepat maju seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. Letak Atjeh yang sangat strategis, dari jalur lintas Nusantara dengan Asia dan Eropa (India, Arab, Turki, Cina, dan Eropa) dapat lebih mendukung Atjeh mencapai kemajuan.
Mengenai dengan peradaban yang dibangun disamping beridentitaskan Islam, juga memiliki identitas tersendiri yang khas yaitu identitas khas Atjeh. Identitas ini bersumber dari ajaran Islam yang dimanifestasikan dalam adat kebudayaan dan juga dari peleburan berbagai kebudayaan dan peradaban luar yang singgah di Atjeh yang telah menyatu dalam masyarakat.
Peradaban serta kosmopolit ini telah menjadikan Atjeh lebih maju dibanding kerajaan lain di Nusantara. Di sinilah lahir ilmuan-ilmuan terkemuka, Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniry, Abdur Rauf As-Singkili dan banyak lagi.
Selanjutnya kejayaan Atjeh kian mundur yang diakibatkan perang yang cukup panjang dan sangat melelahkan. Puluhan ribu nyawa telah melayang termasuk ilmuan, ulama, cendikiawan dan orang orang terkemuka lainnya. Sebuah kehilangan besar dan lebih menyedihkan sampai hari ini belum muncul pengganti. Dengan perang telah merobah sejarah Atjeh. Perang telah merusak seluruh sendi kehidupan yang telah tersusun berabad abad lamanya.
Hari ini, Atjeh sedang dalam kemunduran yang cukup parah. Nyaris hampir semua sisi kehidupan tidak tertata dan terbina lagi. Bidang ekonomi hancur begitu juga bidang politik, budaya termasuk agama. Atjeh telah kehilangan semuanya Kemunduran ini juga ternyata turut menghilangkan pengaruh adat dan identitas yang selama ini sangat melekat yaitu Islam.
Hilangnya identitas ke-Islaman telah menyebabkan Atjeh tidak lagi berada pada posisi terhormat dan dimuliakan. Secara perlahan pula dengan kaburnya indentitas ke-Islaman telah pula berimbas kepada hilangnya peradaban dan ciri khas Atjeh lainnya. Pertanyaannya, mampukah generasi yang memimpin Atjeh sekarang untuk mengembalikan indentitas yang telah lama hilang itu. Hanya Mukjizat yang mampu mengembalikan. Entahlah…
0 Komentar