”Operasi militer Indonesia di Aceh atau juga disebut Operasi
Jaring Merah adalah operasi
kontra-pemberontakan yang diluncurkan untuk melawan
gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Selamaperiode tersebut,
Aceh dinyatakan sebagai "Daerah Operasi Militer" (DOM), dimana Tentara Nasional Indonesia diduga melakukan pelanggaran hak
asasi manusia dalam
skala besar dan sistematis terhadap pejuang GAM maupun rakyat sipil Aceh.
Operasi ini ditandai
sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang,
penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan pembakaran desa. Amnesty
International menyebut
diluncurkannya operasi militer ini sebagai "shock therapy" bagi GAM.
Desa yang dicurigai
menyembunyikan anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka militan
diculik dan disiksa. Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur
mengalami perkosaan dan
antara 9.000-12.000 orang, sebagian besar warga sipil tewas antara tahun 1989
dan 1998 dalam operasi TNI tersebut.
Atas perintah
Presiden BJ
Habibie pada tanggal 22
Agustus 1998 setelah jatuhnya Presiden Soeharto dan berakhirnya era Orde
Baru maka Jendral Wiranto menarik DOM dari Aceh dengan penarikan
hampir seluruh personil TNI yang terlibat. Dan kemudian 2003 presiden Indonesia
yang waktu itu Megawati mendeklarasikan lagi DOM di Aceh dan berakhir 2005.”
Di tahun 2003 yang meregut banyak rakyat Aceh itu, saya berangkat
dari Gampong Luengsa, Sp. Ulim ke Kuala Idi Aceh Timur dengan 3 orang kawan,
salah satu di antara mareka dalah Amri Daut Nek Meuri atau Ayah Meuri dan Joni
(RaJa Tapak). Dari Kuala Idi Aceh Timur kami dibawa oleh pasukan yang ada Idi
melalui Jalan Keudeh Keuruba ke rumah Rocki (nama sandi yang sekarang menjabat Bupati Aceh Timur) sesampainya ke rumah si Rocki kami duduk cerita- cerita.
Saat itu si Raja Tapak bilang bahwa dia baru pulang dari
Comando di Tiro, dan berita terbaru dari Comando bahwa dalam beberapa bulan ini Aceh kemungkinan akan diadakan lagi Darurat
Militer ujar Raja. Raja Tapak berkata juga, kami diperitahkan oleh Comando Pusat
di Tiro dan Nektu (Ridwan Abubakar) untuk berangkat ke Aceh Tamaing.
Lalu dari tempat si Rocki, kami dibawa ke tempat "Tekong Bayen Peureulak"
disitu lah kami ambil senjata AK dan bom. Bom yang berkekuatan tinggi itu kiriman
dari Luar Negara. Dari Tempat si Tekong Bayen Peureulak hingga ke kawasan Kuala Ligee Peureulak. Dan dari situ kami sudah menelpon seseorang agar dia menyiapkan
speed boat yang akan membawa kami masuk kedalam Kuala Puenaga Aceh Tamaing.
Begitu sampai di Peunaga Aceh Tamiang, malam itu kami disambut
oleh seorang yang bernama Muslem Wali (Panglima Deli Merdeka) dan dia jugak
sebagai Panglima Deli Merdeka pada masa itu. Karena Abu Hindo sudah ditangkap
sabagai Panglima Tinggi Deli Merdeka, maka Bang Muslem lah jadi Panglima Deli
Merdeka pada masa itu. Dalam pembicaraan di Raya Tapa, kami diperintahkan oleh
Comando Pusat Tiro untuk menemui Abu Syam Panglima Tamiang yaitu Ayah Meri.
Begitu sampai ketempat Kuala Peunaga, rupanya banyak diantara Pasukan Deli yang
kenal dengan Ayah Meri waktu itu. Saya tidak banyak komentar/bicara, sebab usia
saya masi sangat muda belia. Saya juga masih dikira amatir dalam hal
perjuangan.
Pada, keesokan harinya kami diantarkan ke Mantang Seupen Aceh Tamiang
untuk menemui Abu Syam. Pasukan Melayu Deli itu kebanyakan dari orang
orang Aceh yang hidup dirantau dan yang berbasis di Medan, tepatnya di daerah Belawan
Sumatra Utara.
Ketika kami bertemu dengan Abu Syam (Raja Tapak) maka kami langsung
bicara tentang poin kedatang kami ke Aceh Tamaing.
Abu, kata si Raja, Abu
pasti tahu bagaimana situasi pada saat ini.
Abu Syam menyela pembicaraan si Raja.
Perlahan saja bicaranya, kata Abu Syam.
Kemudian si Raja melanjutkan pembicaraannya:
Saya utusan yang dikirim dari Comando Pusat Tiro. Saat ini kita sangat membutuhkan pasukan Abu dan dana operasional. Untuk membuat Abu percaya, kami bawakan barang-barang ini semua, yaitu bom-bom yang kami bawa untuk Abu. Kemudian Abu Syam pun memberikan sedikit uang Operasional dan Pistol untuk si Raja Tapak. Ayah Muri bukanlah orang asing dalam masalah perjuangan, sebab beliau pernah mendirikan Langkat Merdeka.
Setelah pertemuan itu saya pun turun ke kampung Teulaga Muku (Aceh Tamiang)
dengan Pang Sagoe. Di daerah itu ada seorang yang bernama Wakle, dia orang yang
dihormati dalam masyarakat di daerah Teulaga Muku.
Cerita tentang cara kehidupan tentara Aceh Tamiang, mengingatkan saya kata-kata gurauan orang Melayu yang keluar dari celotehan mereka di Aceh Tamiang.
”Hamba Ingat sudah biat sudah Merdeka, rupanya esok pagi ku kelih kebelakang rumah sudah bertepuk hijou”. (Saya ingat setelah disumpah maka Merdekalah kita, rupanya besok pagi kulihat dibelakang rumah sudah hijau ”Ada Aparat TNI”).
Setelah tiga hari saya di Aceh Tamiang maka disahkan Darurat Militer pada 19 Mei 2003 oleh Pemerintah Indonesia. Mereka mengirim 30.000 TNI dan 12.000 POLRI di Aceh.
Keadaan pun semakin
tidak memungkinkan untuk terus berada di Tamiang, sebab pasukan TNI sudah mulai
masuk ke daerah Teulaga Muku, Aceh Tamiang dan TNA (Tentara Negara Acheh) Aceh Tamiang juga sudah menyiapkan benteng
untuk menyambut kedatangan TNI itu.
Dua hari Darurat Militer, Pasukan Deli Mardeka mendapat serangan dari laut, darat dan udara. Suara peluru yang mendesing dan deruman
mesin Helikopter memecahkan kedamaian di bumi Tamiang. Kami mendapat infomasi
dari Abu Syam bahwa Pasukan Deli akan merapat untuk membantu menguatkan pasukan.
Karena keadaan yang sudah tidak memungkinkan lagi, maka saya terpaksa berpisah
dengan Raja Tapak.
Hari terus berlalu dan kontak senjata antara pasukan GAM (TNA) dan
TNI terus bersahut di alam yang seharusnya damai. Pada masa itu saya tingal
bersama Teungku As, Simurong dan kawan yang lainnya juga ada disana. ”Sayangnya saya sudaH banyak lupa nama-nama
pahlawan di daerah itu sebab sudah lama dalam Kem Comando Aceh Tamiang”. Banyak dari kawan-kawan tentara pejuang Aceh
Taming dan Deli Mardeka yang gugur. Dan kami sudah kekurangan logistik, baik dari
makan dan alat perang. Lapar dan dahaga sudah terbiasa bagi kami, semua itu kami
lakukan demi perjuangan yang suci untuk Aceh yang kita cintai. (Bersambung cerita mengharungi hutan bangka/bakau Tamiang) Tulisan ini adalah luapan hati Adinda Syukri (Wareeh)
0 Komentar