Ghazali Abbas Adan |
PENA News | Minggu lalu media massa di Aceh memberitakan ihwal rombongan BEM se-Aceh datang ke Gedung DPRA dengan maksud berdialog dengan anggota dewan yang terhormat mengenai APBA dan meminta rincian APBA tahun 2013 itu untuk juga diberikan kepada mereka. Tetapi tidak ada seorangpun dari 69 anggota yang menyebut dirinya wakil rakyat itu berada di tempat dan menerima kehadiran rombongan BEM itu di kantor mereka. Demikian pula break down APBA yang diminta tidak terpenuhi. Agaknya kecewa dengan kejadian itu BEM se Aceh menggelar demo diam dengan lakban di mulut di Bundaran Simpang Lima Banda Aceh.
Hari Jumat (15/02/2013) media massa juga memberitakan ihwal Gerakan ALA-ABAS Merdeka (GAAM) melakukan demo dengan bertelanjang dada di depan gedung DPRA, secara tegas dan gamblang menunjuk protes dan penolakan terhadap Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dan orang yang selama ini secara sepihak digadang-gadangkan sebagai “Wali Nanggroe”. Sekaligus menyatakan haram uang rakyat dijadikan dana operasional “Wali Nanggroe” siluman itu. Karena memang secara legal formal menurut konstitusi negara di Aceh belum ada LWN, dan dengan demikian apa yang dinamakan “Wali Nanggroe” pun illegal di Aceh.
Saya masih ingat Qanun Jinayat yang sudah disahkan DPRA masa bakti 2004-2009, tetapi oleh DPRA periode sekarang dianggap tidak sah karena tidak memenuhi syarat dimasukkan dalam Lembaran Daerah dan tidak boleh dilaksanakan. Dengan contoh ini, apa alasannya Qanun LWN yang belum cukup syarat dimasukkan dalam Lembaran Daerah dianggap sah dan serta merta untuk lembaga liar itu oleh DPRA sudah disiapkan anggaran operasionalnya dengan jumlah yang sangat fantastis Rp 40 miliar atau Rp 40 ribu juta.
Kendati jamaah GAAM sudah berteriak di depan gedung parlemen Aceh itu, namun tidak satupun orang-orang menyebut dirinya wakil rakyat, mendapat gaji dan rupa-rupa fasilitas dari uang rakyat bersedia menemui dan berdialog dengan jamaah GAAM yang juga bagian dari rakyat Aceh.
Aneh tapi nyata, 69 kepala wakil rakyat itu tidak satupun yang bersedia menerima dan berdialog dengan anak-anak bangsa itu. Dengan fakta ini, omong kosong laqab macam-macam yang yang dipatenkan untuk diri oleh partai-partai yang ada wakilnya di DPRA, seperti klaim suaranya adalah suara rakyat dan lain-lain, apabila kerap tidak bersedia bertemu dan berdialog dengan rakyat serta merespon aspirasi mereka, sebagaimana diperlihatkan terhadap rombongan BEM dan GAAM tersebut.
Memang tampaknya selama ini mereka terkesan diskriminatif ketika merespons kehadiran rakyat di gedung DPRA. Apabila satu gerbong dengannya dan menunjukkan dukungan serta puja-puji terhadap sosok dan kinerja mereka, dengan penuh semangat, sumringah dan wajah berseri-seri menyambut dan mempersilah masuk ke area gedung DPRA, menyampaikan hasrat apa saja kepada mereka. Tetapi apabila yang datang berdemo dengan ekspresi dan nada kritis, pintu gedungpun digembok disertai aparat keamamanan dengan sigap dan berlapis-lapis menjaga gedung dewan itu.
Saya menilai, bahwa sikap diskrimatif, ekskulsif, dan pengecut itu sebagai upaya menutup diri dari sikap kritis masyarakat dan tidak berani berdialog terhadap perilaku dan kinerja mereka yang dirasakan mendapat kritikan dan penolakan.
Apabila mereka tidak diskriminatif semestinya terima, dengar dan berdialog dengan semua elemen masyarakat yang datang ke gedung tempat mereka berkantor. Juga, apabila mereka tidak tertutup, semestinya transparan saja terhadap proses dan hasil kerja mereka terhadap rakyat, seperti break down APBA misalnya. Demikian pula apabila DPRA benar menunjukkan sikap ksatria, siap dan berani bertemu, serta dengan ramah dan cerdas berdialog dengan elemen manapun, dan di tempat manapun, terurama di kantor mereka yang kerap disebut sebagai rumah rakyat. Mampu menjelaskan profesionalitas sebagai wakil rakyat. Bekerja dalam koridor konstitusi, serta sepenuhnya untuk kepentingan dan kemaslahatan seluruh rakyat yang heterogen.
Apa yang saya deskripsikan tersebut, raalitanya seringkali berbanding terbalik dengan penampilan dan kinerja DPRA selama ini. Di sisi lain, kandati di DPRA ada beberapa fraksi, tetapi ketika mengambil kesimpulan dalam banyak hal menunjukkan sikap ” koor” belaka. Padahal yang di-”koor”-nya itu mendapat kritik, bahkan penolakan dari sebagian masyarakat. Contoh paling faktual adalah “koor” tentang LWN, “Wali Nanggroe” dan APBA tahun 2013. Termasuk “koor” dan kompak menunjukkan sikap diskriminatif, tertutup dan pengecut.
Hari Jumat (15/02/2013) media massa juga memberitakan ihwal Gerakan ALA-ABAS Merdeka (GAAM) melakukan demo dengan bertelanjang dada di depan gedung DPRA, secara tegas dan gamblang menunjuk protes dan penolakan terhadap Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dan orang yang selama ini secara sepihak digadang-gadangkan sebagai “Wali Nanggroe”. Sekaligus menyatakan haram uang rakyat dijadikan dana operasional “Wali Nanggroe” siluman itu. Karena memang secara legal formal menurut konstitusi negara di Aceh belum ada LWN, dan dengan demikian apa yang dinamakan “Wali Nanggroe” pun illegal di Aceh.
Saya masih ingat Qanun Jinayat yang sudah disahkan DPRA masa bakti 2004-2009, tetapi oleh DPRA periode sekarang dianggap tidak sah karena tidak memenuhi syarat dimasukkan dalam Lembaran Daerah dan tidak boleh dilaksanakan. Dengan contoh ini, apa alasannya Qanun LWN yang belum cukup syarat dimasukkan dalam Lembaran Daerah dianggap sah dan serta merta untuk lembaga liar itu oleh DPRA sudah disiapkan anggaran operasionalnya dengan jumlah yang sangat fantastis Rp 40 miliar atau Rp 40 ribu juta.
Kendati jamaah GAAM sudah berteriak di depan gedung parlemen Aceh itu, namun tidak satupun orang-orang menyebut dirinya wakil rakyat, mendapat gaji dan rupa-rupa fasilitas dari uang rakyat bersedia menemui dan berdialog dengan jamaah GAAM yang juga bagian dari rakyat Aceh.
Aneh tapi nyata, 69 kepala wakil rakyat itu tidak satupun yang bersedia menerima dan berdialog dengan anak-anak bangsa itu. Dengan fakta ini, omong kosong laqab macam-macam yang yang dipatenkan untuk diri oleh partai-partai yang ada wakilnya di DPRA, seperti klaim suaranya adalah suara rakyat dan lain-lain, apabila kerap tidak bersedia bertemu dan berdialog dengan rakyat serta merespon aspirasi mereka, sebagaimana diperlihatkan terhadap rombongan BEM dan GAAM tersebut.
Memang tampaknya selama ini mereka terkesan diskriminatif ketika merespons kehadiran rakyat di gedung DPRA. Apabila satu gerbong dengannya dan menunjukkan dukungan serta puja-puji terhadap sosok dan kinerja mereka, dengan penuh semangat, sumringah dan wajah berseri-seri menyambut dan mempersilah masuk ke area gedung DPRA, menyampaikan hasrat apa saja kepada mereka. Tetapi apabila yang datang berdemo dengan ekspresi dan nada kritis, pintu gedungpun digembok disertai aparat keamamanan dengan sigap dan berlapis-lapis menjaga gedung dewan itu.
Saya menilai, bahwa sikap diskrimatif, ekskulsif, dan pengecut itu sebagai upaya menutup diri dari sikap kritis masyarakat dan tidak berani berdialog terhadap perilaku dan kinerja mereka yang dirasakan mendapat kritikan dan penolakan.
Apabila mereka tidak diskriminatif semestinya terima, dengar dan berdialog dengan semua elemen masyarakat yang datang ke gedung tempat mereka berkantor. Juga, apabila mereka tidak tertutup, semestinya transparan saja terhadap proses dan hasil kerja mereka terhadap rakyat, seperti break down APBA misalnya. Demikian pula apabila DPRA benar menunjukkan sikap ksatria, siap dan berani bertemu, serta dengan ramah dan cerdas berdialog dengan elemen manapun, dan di tempat manapun, terurama di kantor mereka yang kerap disebut sebagai rumah rakyat. Mampu menjelaskan profesionalitas sebagai wakil rakyat. Bekerja dalam koridor konstitusi, serta sepenuhnya untuk kepentingan dan kemaslahatan seluruh rakyat yang heterogen.
Apa yang saya deskripsikan tersebut, raalitanya seringkali berbanding terbalik dengan penampilan dan kinerja DPRA selama ini. Di sisi lain, kandati di DPRA ada beberapa fraksi, tetapi ketika mengambil kesimpulan dalam banyak hal menunjukkan sikap ” koor” belaka. Padahal yang di-”koor”-nya itu mendapat kritik, bahkan penolakan dari sebagian masyarakat. Contoh paling faktual adalah “koor” tentang LWN, “Wali Nanggroe” dan APBA tahun 2013. Termasuk “koor” dan kompak menunjukkan sikap diskriminatif, tertutup dan pengecut.
Ghazali Abbas Adan adalah
Mantan Anggota DPR-RI asal Aceh
Mantan Anggota DPR-RI asal Aceh
0 Komentar