PENA News | Menteri Kesehatan Nafsiah Mboy menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia keberatan dengan Praktek Sunat Perempuan atau Female Genital Mutilation (FGM).
"Secara prinsip, jelas kami keberatan dengan FGM. Itu tidak bisa diterima," kata Nafsiah dalam wawancara dengan BBC Indonesia, hari Senin (26/11).
Nafsiah menyatakan hal ini terkait laporan di surat kabar Inggris, The Guardian, edisi 18 November 2012, yang menyebutkan sunat dengan melukai alat kelamin anak perempuan, umum dipraktekkan.
The Guardian antara lain memaparkan fakta bahwa pada suatu hari tahun 2006, di Bandung, 246 anak perempuan disunat.
Menurut koran ini sunat perempuan makin banyak dipraktekkan dalam beberapa tahun setelah keluar peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010 tentang panduan sunat perempuan.
"Secara prinsip, jelas kami keberatan dengan FGM. Itu tidak bisa diterima," kata Nafsiah dalam wawancara dengan BBC Indonesia, hari Senin (26/11).
Nafsiah menyatakan hal ini terkait laporan di surat kabar Inggris, The Guardian, edisi 18 November 2012, yang menyebutkan sunat dengan melukai alat kelamin anak perempuan, umum dipraktekkan.
The Guardian antara lain memaparkan fakta bahwa pada suatu hari tahun 2006, di Bandung, 246 anak perempuan disunat.
Menurut koran ini sunat perempuan makin banyak dipraktekkan dalam beberapa tahun setelah keluar peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010 tentang panduan sunat perempuan.
Nafsiah Mboy mengatakan khitan perempuan di Indonesia sebagian besar simbolis. |
Simbolis
Nafsiah menyatakan menurut beberapa penelitian sunat perempuan di Indonesia tidak benar-benar memotong alat kelamin.
"Lebih banyak simbolis. Ada yang diletakkan di pisau atau yang cuma menggores. Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada yang betul-betul menyunat alat kelamin perempuan," kata Nafsiah.
Tentang peraturan menteri soal sunat perempuan, Nafsiah menjelaskan bahwa tadinya Menteri Kesehatan tidak ingin ada praktek sunat perempuan, seperti tercantum dalam keputusan tahun 2007.
Tapi Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak setuju pelarangan sama sekali sunat perempuan.
Akhirnya dikeluarkan perangkat peraturan dikeluarkan untuk mencegah pendarahan atau infeksi.
"Yang penting bagi Menkes, jangan sampai ada dampak buruk dari sunat perempuan, baik yang dilakukan berdasar agama maupun adat kebiasaan," jelas Nafsiah.
Praktek sunat perempuan menjadi ritual yang umum dilarang dan ilegal di negara Barat karena disertai dengan perlukaan dan pemotongan bagian kelamin yang umumnya dilakukan dengan alasan 'untuk mengendalikan syahwat seksual' pemiliknya.
Di Mesir praktek ini baru dilarang tahun 2008 setelah muncul kasus tewasnya anak perempuan yang dikhitan dengan mutilasi. Di negeri piramida itu, sembilan dari sepuluh anak perempuan dilaporkan menjalani sunat.
Tidak ada pengawasan
Larangan serupa sudah diterapkan di Uganda sejak 2006. Sementara di sejumlah negara Afrika termasuk Sudan dan Mali, kasus korban tewas akibat praktek sunat yang ceroboh kerap dilaporkan.
Di Indonesia, Kementrian Kesehatan melalui Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat tahun 2006 sempat mengeluarkan larangan praktek sunat perempuan apapun bentuknya.
Tetapi dalam masyarakat yang majemuk secara agama maupun tradisi, ternyata praktek ini tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kerap kali tanpa prosedur keselamatan memadai. Tahun 2010, Kementrian Kesehatan mengeluarkan peraturan baru tentang bagaimana sunat justru harus dilakukan oleh petugas medis untuk menghindarkan terjadinya mutilasi atau jatuhnya korban.
"Oleh karena justru mau menyelamatkan. kalau toh memang mau dilakukan lakukan secara higienis, supaya tidak ada perdarahan, infeksi," tambah Nafsiah.
Namun Nafsiah juga mengakui, kontrol apakah sunat perempuan berujung pada praktek mutilasi atau sekedar simbol nyaris tidak ada karena pihaknya mengandalkan informasi dari laporan kasus.
"Sejauh ini tidak ada (laporan) ya."
Nafsiah menyatakan menurut beberapa penelitian sunat perempuan di Indonesia tidak benar-benar memotong alat kelamin.
"Lebih banyak simbolis. Ada yang diletakkan di pisau atau yang cuma menggores. Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada yang betul-betul menyunat alat kelamin perempuan," kata Nafsiah.
Tentang peraturan menteri soal sunat perempuan, Nafsiah menjelaskan bahwa tadinya Menteri Kesehatan tidak ingin ada praktek sunat perempuan, seperti tercantum dalam keputusan tahun 2007.
Tapi Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak setuju pelarangan sama sekali sunat perempuan.
Akhirnya dikeluarkan perangkat peraturan dikeluarkan untuk mencegah pendarahan atau infeksi.
"Yang penting bagi Menkes, jangan sampai ada dampak buruk dari sunat perempuan, baik yang dilakukan berdasar agama maupun adat kebiasaan," jelas Nafsiah.
Praktek sunat perempuan menjadi ritual yang umum dilarang dan ilegal di negara Barat karena disertai dengan perlukaan dan pemotongan bagian kelamin yang umumnya dilakukan dengan alasan 'untuk mengendalikan syahwat seksual' pemiliknya.
Di Mesir praktek ini baru dilarang tahun 2008 setelah muncul kasus tewasnya anak perempuan yang dikhitan dengan mutilasi. Di negeri piramida itu, sembilan dari sepuluh anak perempuan dilaporkan menjalani sunat.
Tidak ada pengawasan
Larangan serupa sudah diterapkan di Uganda sejak 2006. Sementara di sejumlah negara Afrika termasuk Sudan dan Mali, kasus korban tewas akibat praktek sunat yang ceroboh kerap dilaporkan.
Di Indonesia, Kementrian Kesehatan melalui Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat tahun 2006 sempat mengeluarkan larangan praktek sunat perempuan apapun bentuknya.
Tetapi dalam masyarakat yang majemuk secara agama maupun tradisi, ternyata praktek ini tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kerap kali tanpa prosedur keselamatan memadai. Tahun 2010, Kementrian Kesehatan mengeluarkan peraturan baru tentang bagaimana sunat justru harus dilakukan oleh petugas medis untuk menghindarkan terjadinya mutilasi atau jatuhnya korban.
"Oleh karena justru mau menyelamatkan. kalau toh memang mau dilakukan lakukan secara higienis, supaya tidak ada perdarahan, infeksi," tambah Nafsiah.
Namun Nafsiah juga mengakui, kontrol apakah sunat perempuan berujung pada praktek mutilasi atau sekedar simbol nyaris tidak ada karena pihaknya mengandalkan informasi dari laporan kasus.
"Sejauh ini tidak ada (laporan) ya."
Menkes vs MUI
Lalu, apa yang mendasari perbedaan sikap Kementrian Kesehatan antara 2006 dan 2008?
Pertanyaan ini dijawab Nafsiah dengan terus terang menyatakan bahwa tekanan ada pada kubu Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Waktu itu Menteri Kesehatan sebenarnya lebih menginginkan supaya (sunat perempuan) tidak dilakukan sama sekali. Tetapi waktu itu dari MUI menyatakan bahwa itu tidak boleh," lanjut adalah dokter spesialis anak yang juga ahli Kesehatan Masyarakat ini.
Sebaliknya, pandangan yang menyebut tak ada dalil mewajibkan sunat sebagai bagian dari ajaran agama dipakai pegiat untuk menghentikan praktek mutilasi anak perempuan.
"Mestinya kalau yang dipersoalkan adalah persoalan masih maraknya praktek sunat perempuan, yang dilakukan (Kemenkes) bukan mengeluarkan (Permenkes) acuan tata cara sunat, tetapi sinergi (kampenye) dengan Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian pemberdayaan Perempuan dan Anak, Kementrian Agama," kritik Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah.
"Jadi upayanya bukan supaya itu aman, tetapi supaya praktek sunat yang berimplikasi buruk pada kondisi kesehatan perempuan itu dihentikan," tegasnya.
Bentuk sunat, apakah simbolik atau mutilasi, menurut Masruchah berpotensi melanggar hak seksual perempuan, apalagi bila tujuannya adalah untuk mereduksi nafsu seksual.
"Itu merupakan bentuk pelanggaran seksual, salah satu bentuk pelanggaran yang kerap dialami perempuan."
Sejak 2011, Komnas Perempuan meminta agar Permenkes yang dipersoalkan itu dicabut, namun surat resmi Komnas menurut masruchah belum pernah direspon Kementrian Kesehatan.
Menurut Nafsiah Mboi, tuntutan itu bukannya tak diketahui, tetapi pemerintah harus mendengar pula munculnya sikap yang berbeda dalam masyarakat menyangkut hal ini.
"Pokoknya sepanjang itu menyangkut FGM, kita tegas tidak boleh. Terus terang saya pada saat ini belum emnguasai dulus eluruh masalahnya, akan saya cek dulu," kata mantan Direktur pada Departemen Gender dan Kesehatan Perempuan badan dunia WHO ini.
Tetapi menurut Masruchach mestinya pemerintah berpijak pada fakta riil lapangan, bukanpada tekanan politis kelompok mana pun.
"kalau tujuannya adalah melindungi perempuan maka Kementrian Kesehatan mestinya menggunakan prinsip penegakan HAM, Hak Asasi perempuan. Tidak usah mendengarkan tekanan kelompok agama tertentu," tukasnya.
Lalu, apa yang mendasari perbedaan sikap Kementrian Kesehatan antara 2006 dan 2008?
Pertanyaan ini dijawab Nafsiah dengan terus terang menyatakan bahwa tekanan ada pada kubu Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Waktu itu Menteri Kesehatan sebenarnya lebih menginginkan supaya (sunat perempuan) tidak dilakukan sama sekali. Tetapi waktu itu dari MUI menyatakan bahwa itu tidak boleh," lanjut adalah dokter spesialis anak yang juga ahli Kesehatan Masyarakat ini.
Sebaliknya, pandangan yang menyebut tak ada dalil mewajibkan sunat sebagai bagian dari ajaran agama dipakai pegiat untuk menghentikan praktek mutilasi anak perempuan.
"Mestinya kalau yang dipersoalkan adalah persoalan masih maraknya praktek sunat perempuan, yang dilakukan (Kemenkes) bukan mengeluarkan (Permenkes) acuan tata cara sunat, tetapi sinergi (kampenye) dengan Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian pemberdayaan Perempuan dan Anak, Kementrian Agama," kritik Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah.
"Jadi upayanya bukan supaya itu aman, tetapi supaya praktek sunat yang berimplikasi buruk pada kondisi kesehatan perempuan itu dihentikan," tegasnya.
Bentuk sunat, apakah simbolik atau mutilasi, menurut Masruchah berpotensi melanggar hak seksual perempuan, apalagi bila tujuannya adalah untuk mereduksi nafsu seksual.
"Itu merupakan bentuk pelanggaran seksual, salah satu bentuk pelanggaran yang kerap dialami perempuan."
Sejak 2011, Komnas Perempuan meminta agar Permenkes yang dipersoalkan itu dicabut, namun surat resmi Komnas menurut masruchah belum pernah direspon Kementrian Kesehatan.
Menurut Nafsiah Mboi, tuntutan itu bukannya tak diketahui, tetapi pemerintah harus mendengar pula munculnya sikap yang berbeda dalam masyarakat menyangkut hal ini.
"Pokoknya sepanjang itu menyangkut FGM, kita tegas tidak boleh. Terus terang saya pada saat ini belum emnguasai dulus eluruh masalahnya, akan saya cek dulu," kata mantan Direktur pada Departemen Gender dan Kesehatan Perempuan badan dunia WHO ini.
Tetapi menurut Masruchach mestinya pemerintah berpijak pada fakta riil lapangan, bukanpada tekanan politis kelompok mana pun.
"kalau tujuannya adalah melindungi perempuan maka Kementrian Kesehatan mestinya menggunakan prinsip penegakan HAM, Hak Asasi perempuan. Tidak usah mendengarkan tekanan kelompok agama tertentu," tukasnya.
SUMBER : BBCdotCOdotUD
0 Komentar