Musanna Tiro bin Abdul Wahab Tiro |
HARIAN Serambi Indonesia edisi 13 November 2012 (http://aceh.tribunnews.com/2012/11/13/ini-dia-wali-Nanggroë-satu-sampai-sembilan) memuat berita tentang Wali Nanggroe ke-9. Di sini perlu diluruskan, sebab ada beberapa kejanggalan dalam pemberitaan tersebut, terutama soal susunan Wali Nanggroe dari 1-9 (satu sampai sembilan). Entah dari mana rujukan sehingga bisa termasuk Teungku Ulèë Tutuë Hasan Muhammad (menantu dari Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman dari anak pertama, Tengku Fathimah). Teungku Ulèë Tutuë juga kakek dari ibu saya, Asma Abdullah. Teungku Abdullah adalah anak laki-laki dari Teungku Muhammad Hasan tersebut. Teungku Abdullah juga sering di sebut Teungku Muda sebab Abdullah yang tua adalah ayahnya Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman bin Abdullah bin Ubaidillah.
Setahu saya, Tengku Tjhik Hasan di Tiro dalam beberapa buku dan ceramahnya menyebutkan bahwa beliau bisa menjabat Wali Nanggroe karena waris dari kakeknya Tengku Tjhik di Tiro Mahjeddin dan ayah dari kakeknya Tengku Muhammad Saman di Tiro. Sehingga dalam beberapa kunjungannya ke Thailand, Arab Saudi dan beberapa Negara Eropa, beliau dianggap sebagai pewaris Negara atau pangeran. Saya juga pernah melihat beberapa surat dari album pribadi Tengku Hasan di Tiro yang menyebutkan beliau sebagai Prince (Pangeran). Surat itu saya lihat waktu saya mengunjungi Tengku Hasan di Tiro di Sweden pada January 2007. Tidak ada bantahan bahwa Tengku Hasan di Tiro memang layak dan wajib menjadi Wali Nanggroe, tak hanya sebatas sebagai “Pemangku Adat”, tetapi jauh lebih luas dari itu.
Mengapa kita harus mundur ke belakang dalam menerjemahkan Wali Nanggroe yang harus “diikat” dengan UUPA? Apakah UUPA sekarang sudah final? Apakah UUPA sekarang sudah sangat kuat untuk menyatukan Bangsa Aceh? Sehingga kekuatan Wali Nanggroe yang pertama Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman sebagai pewaris Nabi (lihat: Hikayat Prang Sabi) tidak cukup kuat? Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman bukan hanya sebagai pemimpin dalam peperangan melawan penjajahan Belanda di Aceh. Tetapi juga beliau sebagai Wali Nanggroe yang saat itu Raja Aceh pun tunduk terhadap Tengku Tjhik di Tiro.
Lihat surat yang didapati pada mayat Tengku Tjhik di Tiro Mahjeddin (Tengku Majét di Tiro) yang dicap oleh tiga orang kalangan Istana di Aceh, Tuanku Radja Keumala, Teuku Panglima Polem dan Tuanku Mahmud. Di surat ini mereka melakapkan Wali Nanggroe (masa itu dijabat oleh Tengku Tjhik di Tiro Mahjeddin - Tengku Majét) sebagai Almukarram, Almudabbir, Almalik. Semua gelar ini adalah gelar yang ada pada Raja yang sedang dalam pemerintahan. Jadi, Wali Nanggroe ini adalah pemimpin yang teratas di Aceh, di mana semua hal dalam pemerintahan adalah dalam kekuasaan Wali Nanggroe.
Jadi untuk menjadi Wali Nanggroe wajib memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, terutama dalam bidang Agama Islam dan adat Reusam Aceh. Selain itu wajib dilihat juga asal dari keturunannya. Bahkan, dulu untuk dapat menjabat sebagai Raja atau pemimpin golongan sangat ketat peraturannya. Wajib dilihat sejarahnya dari keturunan, kependidikan, tingkah laku, ibadat (tidak pernah dengan sengaja meninggalkan shalat jamaah), pergaulan, makanannya (tidak pernah makan makanan haram) dan lainnya. Yang sangat pokok adalah keturunan, Ilmu Agama, Ilmu Umum, menguasai beberapa bahasa asing selain bahasa Arab yang wajib, pergaulannya, berapa lama pernah mengajar atau berapa banyak buku pernah ditulis. Mengapa pergaulan sangat terutama disini? Karena jika calon pemimpin itu pernah berkawan dengan pencuri misalnya, jadi naluri mencuri harta negara sudah ada dalam tubuhnya. Apakah Wali Nanggroë sekarang sudah termasuk dalam katagori ini?
Teungku Muhammad Hasan Ulèë Tutuë
Teungku Ulèë Tutuë ini tidak pernah menjabat sebagai Wali Nanggroë. Tidak pernah tertulis dalam sejarah dan tidak pernah tercantum dalam pelaksanaan bahwa Teungku Ulèë Tutuë Muhammad Hasan menjadi Wali Nanggroë. Jika adapun terbaca sekarang ini kemungkinan ada sesuatu pihak yang ingin mengaut keuntungan dari keadaan politik sekarang yang telah mengesampingkan sejarah sebenarnya. Yang anehnya, dengan sangat dipaksanya Teungku Ulèë Tutuë disenaraikan sebagai Wali Nanggroë sebelum Tengku Ma’at di Tiro. Sebenarnya Wali Nanggroë yang pertama adalah Tengku Tjhik Muhammad Saman di Tiro yang langsung menerimanya dari Radja Atjeh sewaktu Radja Atjeh telah meninggalkan Istana untuk menyelamatkan diri ke Istana Keumala Dalam pada tahun 1874. Pihak Istana telah terpukul dengan jatuhnya Istana ketangan Belanda dan telah banyak panglima-panglima perang Istana syahid maka keluarga Istana mengungsi ke Keumala Dalam.
Teungku Ulèë Tutuë memang termasuk dalam pasukan Tengku Tjhik di Tiro dalam peperangan. Sehingga pada masa pasukan Tengku Tjhik di Tiro harus melawan Belanda dengan cara gerilya dalam hutan dan pegunungan di Aceh, Teungku Ulèë Tutuë ikut sama dalam peperangan. Istrinya Tengku Fatimah binti Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman harus tinggal bersama anak-anaknya di Garot, Pidie. Menurut pengetahuan kami, Teungku Ulèë Tutuë syahid bersama dengan Tengku Tjhik di Tiro Mahjeddin (Tengku Majét di Tiro), sehingga kuburnya pun bersama Tengku Majét di Pulo Meusdjid, Tangse. Jika memang harus masuk Teungku Ulèë Tutuë dalam pernah menjabat Wali Nanggroë (biarpun tidak pernah), maka Malik Mahmud bukan Wali Nanggroe yang ke-9, tapi ke 10.
Setelah syahid Tengku Majét di Tiro, Wali Nanggroë ini dijabat oleh Tengku Ma’at di Tiro. Seorang lelaki yang sangat muda, baru 16 tahun umurnya. Dan beliau pun syahid dengan peluru yang menembus sebelah mata dan satu peluru lagi pada dadanya (baca: Buku Zentgraaf, Perang Kolonial Belanda di Aceh).
Musanna Tiro bin Abdul Wahab Tiro
bin Umar Tiro bin Mahjeddin Tiro
(Wali Nanggroe ke-6) bin Muhammad
Saman Tiro (Wali Nanggroe ke-1)
di Harrisburg, Pennsylvania, USA.
Email: raseuki@gmail.com
Catatan Redaksi: Penulis surat pembaca ini juga melampirkan satu dokumen surat Tuanku Raja yang tertulis dalam bahasa (aksara) Arab dan satu dokumen susunan Raja Aceh.
Setahu saya, Tengku Tjhik Hasan di Tiro dalam beberapa buku dan ceramahnya menyebutkan bahwa beliau bisa menjabat Wali Nanggroe karena waris dari kakeknya Tengku Tjhik di Tiro Mahjeddin dan ayah dari kakeknya Tengku Muhammad Saman di Tiro. Sehingga dalam beberapa kunjungannya ke Thailand, Arab Saudi dan beberapa Negara Eropa, beliau dianggap sebagai pewaris Negara atau pangeran. Saya juga pernah melihat beberapa surat dari album pribadi Tengku Hasan di Tiro yang menyebutkan beliau sebagai Prince (Pangeran). Surat itu saya lihat waktu saya mengunjungi Tengku Hasan di Tiro di Sweden pada January 2007. Tidak ada bantahan bahwa Tengku Hasan di Tiro memang layak dan wajib menjadi Wali Nanggroe, tak hanya sebatas sebagai “Pemangku Adat”, tetapi jauh lebih luas dari itu.
Mengapa kita harus mundur ke belakang dalam menerjemahkan Wali Nanggroe yang harus “diikat” dengan UUPA? Apakah UUPA sekarang sudah final? Apakah UUPA sekarang sudah sangat kuat untuk menyatukan Bangsa Aceh? Sehingga kekuatan Wali Nanggroe yang pertama Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman sebagai pewaris Nabi (lihat: Hikayat Prang Sabi) tidak cukup kuat? Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman bukan hanya sebagai pemimpin dalam peperangan melawan penjajahan Belanda di Aceh. Tetapi juga beliau sebagai Wali Nanggroe yang saat itu Raja Aceh pun tunduk terhadap Tengku Tjhik di Tiro.
Lihat surat yang didapati pada mayat Tengku Tjhik di Tiro Mahjeddin (Tengku Majét di Tiro) yang dicap oleh tiga orang kalangan Istana di Aceh, Tuanku Radja Keumala, Teuku Panglima Polem dan Tuanku Mahmud. Di surat ini mereka melakapkan Wali Nanggroe (masa itu dijabat oleh Tengku Tjhik di Tiro Mahjeddin - Tengku Majét) sebagai Almukarram, Almudabbir, Almalik. Semua gelar ini adalah gelar yang ada pada Raja yang sedang dalam pemerintahan. Jadi, Wali Nanggroe ini adalah pemimpin yang teratas di Aceh, di mana semua hal dalam pemerintahan adalah dalam kekuasaan Wali Nanggroe.
Jadi untuk menjadi Wali Nanggroe wajib memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, terutama dalam bidang Agama Islam dan adat Reusam Aceh. Selain itu wajib dilihat juga asal dari keturunannya. Bahkan, dulu untuk dapat menjabat sebagai Raja atau pemimpin golongan sangat ketat peraturannya. Wajib dilihat sejarahnya dari keturunan, kependidikan, tingkah laku, ibadat (tidak pernah dengan sengaja meninggalkan shalat jamaah), pergaulan, makanannya (tidak pernah makan makanan haram) dan lainnya. Yang sangat pokok adalah keturunan, Ilmu Agama, Ilmu Umum, menguasai beberapa bahasa asing selain bahasa Arab yang wajib, pergaulannya, berapa lama pernah mengajar atau berapa banyak buku pernah ditulis. Mengapa pergaulan sangat terutama disini? Karena jika calon pemimpin itu pernah berkawan dengan pencuri misalnya, jadi naluri mencuri harta negara sudah ada dalam tubuhnya. Apakah Wali Nanggroë sekarang sudah termasuk dalam katagori ini?
Teungku Muhammad Hasan Ulèë Tutuë
Teungku Ulèë Tutuë ini tidak pernah menjabat sebagai Wali Nanggroë. Tidak pernah tertulis dalam sejarah dan tidak pernah tercantum dalam pelaksanaan bahwa Teungku Ulèë Tutuë Muhammad Hasan menjadi Wali Nanggroë. Jika adapun terbaca sekarang ini kemungkinan ada sesuatu pihak yang ingin mengaut keuntungan dari keadaan politik sekarang yang telah mengesampingkan sejarah sebenarnya. Yang anehnya, dengan sangat dipaksanya Teungku Ulèë Tutuë disenaraikan sebagai Wali Nanggroë sebelum Tengku Ma’at di Tiro. Sebenarnya Wali Nanggroë yang pertama adalah Tengku Tjhik Muhammad Saman di Tiro yang langsung menerimanya dari Radja Atjeh sewaktu Radja Atjeh telah meninggalkan Istana untuk menyelamatkan diri ke Istana Keumala Dalam pada tahun 1874. Pihak Istana telah terpukul dengan jatuhnya Istana ketangan Belanda dan telah banyak panglima-panglima perang Istana syahid maka keluarga Istana mengungsi ke Keumala Dalam.
Teungku Ulèë Tutuë memang termasuk dalam pasukan Tengku Tjhik di Tiro dalam peperangan. Sehingga pada masa pasukan Tengku Tjhik di Tiro harus melawan Belanda dengan cara gerilya dalam hutan dan pegunungan di Aceh, Teungku Ulèë Tutuë ikut sama dalam peperangan. Istrinya Tengku Fatimah binti Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman harus tinggal bersama anak-anaknya di Garot, Pidie. Menurut pengetahuan kami, Teungku Ulèë Tutuë syahid bersama dengan Tengku Tjhik di Tiro Mahjeddin (Tengku Majét di Tiro), sehingga kuburnya pun bersama Tengku Majét di Pulo Meusdjid, Tangse. Jika memang harus masuk Teungku Ulèë Tutuë dalam pernah menjabat Wali Nanggroë (biarpun tidak pernah), maka Malik Mahmud bukan Wali Nanggroe yang ke-9, tapi ke 10.
Setelah syahid Tengku Majét di Tiro, Wali Nanggroë ini dijabat oleh Tengku Ma’at di Tiro. Seorang lelaki yang sangat muda, baru 16 tahun umurnya. Dan beliau pun syahid dengan peluru yang menembus sebelah mata dan satu peluru lagi pada dadanya (baca: Buku Zentgraaf, Perang Kolonial Belanda di Aceh).
Musanna Tiro bin Abdul Wahab Tiro
bin Umar Tiro bin Mahjeddin Tiro
(Wali Nanggroe ke-6) bin Muhammad
Saman Tiro (Wali Nanggroe ke-1)
di Harrisburg, Pennsylvania, USA.
Email: raseuki@gmail.com
Catatan Redaksi: Penulis surat pembaca ini juga melampirkan satu dokumen surat Tuanku Raja yang tertulis dalam bahasa (aksara) Arab dan satu dokumen susunan Raja Aceh.
SUMBER: ACEHdotTRIBUNNEWSdotCOM
1 Komentar
wali gampong aceh
BalasHapus