Like on Facebook

header ads

Sosok Deklarator GAM, Teungku Chik Mohammad Hasan di Tiro


Teungku Chik Mohammad Hasan di Tiro
PENA News | Tengku Hasan di Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka di tahun 1976, dengan tujuan memerdekakan Aceh dari Indonesia. Motivasi yang paling mengemuka di balik gerakan ini adalah kecewa terhadap sikap Jakarta yang sentralistis, utamanya persoalan porsi ekonomi, selain peninggalan masalah politik kesejarahan Aceh.

Melalui jalan diplomasi dan militer yang panjang, Hasan Tiro kemudian menggalang ide kemerdekaan itu, tetapi mendapat jawaban militer oleh rezim Suharto. Sempat lari ke hutan-hutan, Hasan Tiro memilih melarikan diri ke luar negeri, dan bermuara kepada permintaan suaka politik ke Swedia pada tahun 1979.

Dari negara itulah, Hasan Tiro yang dilahirkan di Pidie, 25 September 1925 ini melanjutkan gagasan awalnya-kali ini dengan bobot tekanan pada perjuangan diplomatik.

Meskipun demikian, dipertengahan tahun 80-an, bekas pengusaha ini menghidupkan kembali perlawanan militer, dengan mengirimkan ratusan pemuda Aceh untuk berlatih kemiliteran di Libya.

Anak-anak muda didikan militer Libya inilah yang belakangan tampil sebagai Tentara Neugara Aceh, TNA, yang kemudian disegani.

Perlawanan Terbuka
Tetapi perubahan politik Indonesia di tahun 1998, yang ditandai jatuhnya rezim Suharto, membuat ide kemerdekaan-yang masih bersemayam di masyarakat Aceh-mendapatkan momentum dan hidup kembali.

Semula bersifat tertutup, bentuk perlawanan memerdekakan Aceh itu kemudian menjadi terbuka. Media-media di Indonesia saat itu bahkan secara gampang dapat melaporkan aktivitas militer GAM, tanpa khawatir ditekan militer.

Keberhasilan kemerdekaan Timor-Timur dari Indonesia di tahun 1999, memunculkan pula tuntutan referendum di seluruh wilayah Aceh. Tuntutan ini ditolak, tetapi perlahan secara pasti sosok Hasan Tiro yang sempat "tenggelam", kemudian hidup kembali.

Pada pertengahan 2002, Hasan Tiro dan petinggi GAM lainnya dipengasingan melakukan konsolidasi. Mereka membentuk kembali struktur pemerintahan GAM, dan Hasan tetap menjadi pemimpin tertinggi.

Perlawanan militer pun dihidupkan kembali, walaupun tidak berarti upaya damai mereka tolak. Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, pertemuan informal diantara pimpinan kedua pihak dilakukan, tetapi gagal.

Dilanjutkan oleh pemerintahan Megawati, upaya itu juga mengalami jalan buntu. Di masa Megawati ini pula, pemerintah menempuh operasi militer terbatas, sebelum status ini dicabut setahun kemudian. Dalam masa ini sejumlah juru runding GAM ditangkap.

Sejarah mencatat, dalam setiap perundingan damai antara RI dan GAM, restu Hasan Tiro selalu ditunggu.

Efek Tsunami
Tetapi konflik berkepanjangan antara Indonesia dan GAM itu "berubah" setelah gempa berskala besar dan disusul tsunami meluluh-lantakkan pesisir pantai barat Aceh, di sebuah pagi, 26 Desember 2004. Lebih dari 150 ribu orang tewas akibat bencana alam ini.

Dan, bencana ini rupanya mampu melunakkan para pemimpin Indonesia dan pimpinan GAM, tidak terkecuali pimpinan tertingginya Hasan Tiro. Gencatan senjata pun dilakukan, dan kedua belah pihak pun mau kembali ke meja perundingan. Kontak dengan Hasan Tiro pun dilakukan oleh Jakarta, yang ternyata tidak mudah.

Dan ketika Hasan Tiro "membuka tangan", semuanya sepertinya menjadi berjalan tidak sesulit yang dibayangkan. Melalui perundingan maraton yang melibatkan Wakil Presiden Yusuf Kalla dan pimpinan pusat GAM, kesepakatan damai itu akhirnya ditandatangani di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

Poin penting dari kesepakatan itu, antara lain Pemerintah Indonesia akan memfasilitasi pembentukan Partai Lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM. Empat bulan kemudian, Tentara Neugara Aceh resmi dibubarkan, dan dibentuk Komite Peralihan untuk membubarkan mantan tentara itu dengan warga sipil.

Pulang ke Aceh
Perubahan politik di atas, termasuk digelarnya Pemilihan Kepala Daerah di Aceh, membuat Hasan Tiro kembali ke tanah kelahirannya pada 17 Oktober 2008, tiga tahun setelah perjanjian damai itu.

Warga Aceh menyambut pemimpin mereka yang disebut sebagai "Paduka yang Mulia Wali". Ratusan ribu orang dari berbagai wilayah Aceh menjemputnya di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda hingga di pusat kota Banda Aceh.

Semenjak saat itulah, Hasan Tiro menetap di Aceh, setelah lebih dari 30 tahun berstatus sebagai pelarian politik. Dan hari Rabu, 2 Juni 2010, dalam keadaan sakit dan terbaring di salah-satu ruangan rumah sakit di Banda Aceh, Hasan Tiro memperoleh kembali status sebagai Warga Negara Indonesia, setelah Pemerintah Indonesia memulihkan status kewarganegaraannya.

BIODATA :

  • Nama : Teungku Hasan Muhammad di Tiro
  • Lahir : 25 September 1925, Pidie, Aceh
  • Orangtua : Pocut Fatimah (Ibu), Teungku Muhammad Hasan (Ayah)
  • Istri : Dora wanita keturunan Iran berkebangsaan Amerika
  • Anak : Karim di Tiro (Doktor Sejarah dan mengajar di AS)

Karya-Karya :
  • Mendirikan "Institut Aceh" di AS
  • Dirut dari Doral International Ltd di New York
  • Punya andil di Eropa, Arab dan Afrika dalam bisnis pelayaran dan penerbangan
  • Diangkat oleh Raja Feisal dari Arab Saudi sebagai penasehat agung Muktamar Islam se-Dunia (1973)
  • Mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 untuk melawan Pemerintah Indonesia
  • Artikel berjudul The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law 1980
  • Atjeh Bak Mata Donya (Aceh Dimata Dunia)
  • Terlibat sebuah "federasi" 10 daerah di Sulawesi, Sumatra, dan Maluku perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno
  • Menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka,1965

Posting Komentar

0 Komentar