Like on Facebook

header ads

Bendera Aceh dan Muallaf MoU

Bendera Aceh dan Muallaf MoU
PENA News | ADA seorang anggota DPRA baru-baru ini menyebutkan bahwa Bendera Bulan Bintang yang dikanunkan sebagai Bendera Aceh, dilarang untuk disebutkan sebagai Bendera GAM. Jelas sekali, anggota dewan terhormat ini tidak membaca sejarah Aceh, dan tidak memahami inti dari MoU yang ditandatangani oleh GAM dan RI di Helsinki.

Untuk terangnya, kami mencoba menjelaskan kepada masyarakat tentang bendera tersebut, dan tidak bisa dipisahkan dengan perjuangan GAM. Kisah awalnya, bahwa Aceh sudah lama diserang Belanda dan Jepang, dan saat itu negara baru, Indonesia menguasai Aceh. Karena berkeyakinan bahwa Aceh adalah negara merdeka dan berdaulat, Oleh Tengku Hasan Tiro, kemerdekaan Aceh dideklarasikan kembali pada 04 Desember 1976.

Sebagai negara yang baru dideklarasikan kembali, Aceh harus mempunyai bendera, lambang dan lagu kebangsaan serta pimpinan atau kepala negara. Tengku Hasan Tiro, meneruskan perjuangan keluarga Tiro dan mandat yang diberikan raja terakhir Aceh kepada Tengku Chik di Tiro. Dan sebagai pimpinan negara, beliau memanggil diri beliau sebagai Wali Negara/Kepala Negara (Guardian of the State atau Head of the State). Beliau tidak menggunakan istilah raja, sultan atau presiden.

Untuk bendera, Aceh di saat-saat terakhir sebelum diserang Belanda, menjadi bagian dari Khilafah Turki Usmani dan memakai bendera Turki. Oleh Wali Negara, dibuatlah bendera baru sementara, ide dasar adalah bendera Turki. Karena saat itu Aceh masih dalam serangan pihak lain, maka perlu ditambah les hitam sebagai tanda masa suram.

Karena sebelumnya maju, ditambah les putih diatas hitam. Dan Wali Negara yakin Aceh akan maju dan merdeka kembali, maka ditambah dengan les putih dibawah hitam sebagai tanda gemilang. Jadilah bendera yang diciptakan Tengku Hasan di Tiro sebagai bendera Aceh dan GAM/ASNLF sebagai organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan bagi rakyat Aceh.

Demikian juga Lambang Buraq Singa, karena wali lama di negara-negara Arab, USA dan Eropa, beliau menciptakan lambang sementara sebagai lambang Negara Aceh dan organisasi ASNLF. GAM/ASNLF memposisikan diri sebagai negara yang tersambung dengan Aceh sebelumnya, Wali Negara sebagai penyambung perjuangan dan bendera dan lambang sebagai kelengkapan negara. Wali Negara Hasan Tiro yakin, kalau nanti Aceh merdeka, maka rakyat Aceh yang pintar-pintar akan memilih kembali nama untuk Aceh, bentuk pemerintahannya akan ditentukan kembali, dan apakah akan dipimpin oleh Presiden, Raja atau Sultan.

Demikian juga bendera dan lambang, beliau hanya memberi contoh, tidak harga mati. Sehingga kalau Aceh merdeka nanti, paling tidak ada bendera yang beliau tinggalkan, atau dicari yang baru sesuai dengan adat dan sejarah Aceh.

Tengku Hasan Tiro sangat demokratis, sangat menghargai rakyat dan sangat cinta kepada Aceh. Berbeda dengan para penerusnya, atau mengklaim diri sebagai penerus wali, tapi egonya setengah mati.

Dengan mengatakan bahwa bendera itu tidak ada sangkut-paut dengan GAM, berarti ada upaya untuk mengaburkan sejarah oleh para “Muallaf” MoU yang tidak paham perjuangan Wali Negara. Saat ini, mari kita kembali ke jalan yang telah diamanahkan oleh Wali Negara, yaitu membentuk Pemerintahan Aceh yang mandiri, kuat secara ekonomi dan politik, mampu bersaing di dunia internasional. Bangsa Aceh tersebar di seluruh semenanjung Malaya bahkan telah sampai berdakwah ke selatan Philipina dan Thailand, tersebar pula sampai ke Champa di Kamboja.
Syed Muhammad Aldjamalullail
Salah Seorang Cucu Raja Aceh
dari Dinasti Jamalullail, dan
Bermukim di Malaysia

Posting Komentar

0 Komentar