Like on Facebook

header ads

Berawal Di Camp Manok Meuaneuk Komando Wilayah Pase

PART-2: 
Berawal Di Camp Manok Meuaneuk Komando Wilayah Pase
I M R A N
Pemuda yang gagah dan tampan ini tak pernah mengalah dalam apa saja keadaan, walau dalam terjepit dia masih tetap semangat untuk meneruskan cita-cita perjuangan. Imran mengakau terpanggil dalam sebuah perjuangan setelah mempelajari sejarah asal muasal Neugara Aceh.Waktu itu dia belajar dari Tgk. Muhammad.

Sejak saat itulah dia mulai tekun mempelajari Sejarah Aceh masa lalu yang pernah jaya dan bermartabat. Dan dengan membaca buku-buku tentang Aceh yang diberikan oleh temannya, belajar dari teman seperjuangan serta kerabat-kerabat dekatnya.

Kalau cerita tentang perjuangan maka akan sangat panjang ceritanya, maka Imran lebih suka menceritakan pengalamannya. Salah satu pengalaman yang sangat getir ketika dia dikepung oleh Pasukan TNI dalan jumlah yang lumayan banyak. Imran waktu itu baru pulang dari gampung, tiba-tiba pasukan TNI melihat dia dan langsung menembaki Imran.

Dengan bantuan doa orang tua dan berkat Surat Yasin, Imran selamat. Ketika itu dia melompat ketepi jalan dan merangkak ke rumah orang dan bersembunyi dibalik kursi tua.

Dibalik kursi tua itulah Imran berdoa dan membaca ayat-ayat suci Alquran. Dengan izin Allah SWT, Imran selamat dari terjangan peluru. Masih dia ingat kata-kata hujatan dari anggota TNI terhadap dirinya.

Namum semua itu hanya tinggal kenangan dan Imran menganggap semua itu adalah suka duka perjuangan yang harus dihadapi seorang tentara pejuang kemerdekaan. Dan Imran tak pernah menyesali keputusannya untuk ikut berjuang bersama TNA lainnya.

Imran juga menceritakan betapa mesra dan bersatunya waktu itu, antara pasukan diseluruh Aceh, hubungan erat itu susah didapat sekarang ini. Waktu itu, kalau jumpa sering meneteskan air mata karena merasa masih diselamatkan oleh Allah SWT.

Hubungan melalui HT (Handy Talky) selalu bersahut, terutama ketika membuat penyerangan dan sesudah penyerangan, atau ketika diserang dan sesudah diserang. Kini Imran rindu juga melihat suasana akrab itu kembali, tapi masa telah berubah, semua ada pandangan masing-masing. Dan itu wajar menurut Imran, kelak nanti dia berharap kemesraan itu akan kembali terjalin.

Walaupun sebenarnya semua berharap agar kemesraan itu jangan cepat berlalu. Adapaun tentang perubahan perang dari bersenjata ke perang politik memang sudah di wanti-wantikan oleh pemimpin pasukan/komandan, karena perang senjata bukan salah satu perang untuk menyelesaikan masalah.

Bagi Imran dan para kombatan lainnya, akan menerima apapun keputusan yang diambil oleh pemimpin, sebagai tentara, kami TNA hanya patuh pada pemimpin dan komandan.  Dan keadaan itupun datang di tahun 2005, dimana GAM setuju berdamai dengan RI, maka kamipun rela melepaskan kekasih kami AK untuk dimusnahkan, dan kami kembali berbakti kepada Aceh seperti layaknya rakyat biasa yang bernaung dibawah KPA.

Tentang kombatan yang hidup susah menurut Imran, itu adalah tanggu jawab pemimpin, karena kombatan itu kebanyakan masih muda waktu ikut berjuang, jadi untuk meneruskan hidup setelah perang sangatlah susah bagi mereka. Dan mereka tahu hanya pegang senjata, lebih lanjut Imran menuturkan, kalau pemimpin tidak lupa, mereka masih bisa kembali melihat isi MoU tentang hak eks kombatan. Dimana tunjangan sosial, kerja dan bantuan ekonomi akan di berikan kepada eks kombatan. Jadi sebenarnya menurut Imran, tak usahlah para eks kombatan mengetuk pintu para pemimpin untuk mendapatkan hak mereka.

Disinggung masalah kesalahfahaman didalam tubuh KPA, bagi Imran adalah salah. Sebenarnya tidak ada kata perpecahan dalam tubuh KPA, tapi yang ada hanya salah pengertian.

Memang ada istilah “penghianat”. Hal itu, karena masih kuatnya perasaan tentara dalam tubuh para pejuang, jadi yang pindah rumah/keluar dari “group” dan meninggalkan kawan langsung dinamakan penghianat.

Imran pada dasarnya kurang suka bicara tentang masalah yang ada sekarang, karena terlalu complicated untuk menjelaskannya. Sebab itulah Imran lebih suka bicara tentang pengalaman ketika dia masih dalam perang.

Kembali kepada kisah perang. Betapa Imran masih ingat ketika stock makanan sudah menipis dan hampir tak cukup, maka daun kayu, binatang yang halal dan peran masyarakat kampung yang sangat penting. Tanpa masyarakat kampung maka perjuangan itu tak sampai kemana. Tidak ada enaknya memang kalau mau dipikirkan, tapi demi perjuangan, semuanya sakit dan siksa harus ditelan.

Perselisihan dan salah pengertian memang kadang-kadang datang, tapi kalau kesilapan itu datang dari masyarakat, maka kita akan panggil dan nasehati mereka. Kalau kesilapan datang dari TNA maka komandan regu yang akan menasehati, begitulah kerja untuk menghindari kesalah pengertian agar tidak menjadi panjang.

Yang tidak kurang menariknya adalah ketika TNA kekurangan amunisi. Imran menjelaskan bahwa banyak cara untuk mendapatkannya, baik itu dikirim dari luar atau TNA mendapatkannya dari jaringan lokal, sebab jaringan lokal juga tidak kalah hebatnya dalam hal jual beli amunisi.

Ketika tidak ada penyerangan atau diserang, maka para TNA seperti biasa akan belajar ideologi dan membaca Al-Qur’an serta tidak lupa membersihkan senjata. Keberanian dan semangat yang membara adalah salah satu senjata handalan untuk terus bertahan kata Imran.

Menarik juga ketika Imran menceritakan bagaimana situasi seorang TNA ketika diserang dan terpaksa bertahan atau kalau sudah kehabisan amunisi terpaksa mundur tanpa memikirkan arah, sehingga tidak heran kalau seorang TNA akan hilang arah selam 4 atau dua minggu untuk bisa kembali bergabung dengan pasukan. Tapi hal itu sangatlah jarang terjadi, sebab biasanya yang duluan nyerang adalah TNA. Jadi sudah dapat diperkirakan kemana harus menyelamatkan diri setelah bertempur.

Bicara masalah tempur, Imran menjelaskan, banyak perang di daerah Pase, Peureulak, Meulaboh dan sekitarnya, sedangkan Linge kadang-kadang. Dan yang paling jarang adalah daerah Pidie.

Cuma bisa dimaklum, perang bukan tujuan utama, sebab perang hanya membuktikan kepada dunia bahwa Aceh punya angkatan bersenjata. Jadi kalau ada daerah yang jarang perang kita tidak bisa menghakimi mereka dengan tuduhan yang negatif.

Kalau ada yang bilang cara gerilya TNA tidak bagus itu wajar saja, karena masing-masing angkatan bersenjata ada cara mereka tersendiri, dan tidak boleh dibanding-bandingkan dengan cara gerilya ditempat lain. TNA punya cara tersendiri untuk menghadapi musuh.

Imran mencontohkan bagaimana cara TNA untuk menangkis serangan pagar betis oleh TNI di Cot Trieng. Kira-kira tahun 2001 hari Rabu sore, ada kabar dari AIA (Aceh Inteligent Agency) yang mengatakan bahwa TNI sudah bergerak sebanyak 6 truk reo ke arah Nisam dan Ujung Pacu. Didalam truk itu penuh dengan pasukan tempur TNI, dan tepat jam 6 sore truk itu pulang ke Kota Lhok dengan muatan kosong.

Kamis malamnya kami mendapat info dari Panton di Ujung Pacu tepatnya di Gampong Blangkareng Bergang Kuta Makmor, semua info mengabarkan bahwa TNI telah merapat ke arah Rawa Cot Trieng. Walaupun begitu kami masih tenang dan tidak mengambil tindakan apa-apa, karena pasukan TNA menunggu perintah dari Komandan.

Jam 10 malamnya barulah berita lebih jelas lagi, telepon yang datang dari Nisam mengatakan benar pasukan TNI sudah merapat, dan keterangan ini disahkan oleh kira-kira 50 orang yang mengantar info, baik melaui SMS dan HP.

Kebetulan hari Rabu siangnya, kami baru saja menerima tamu dari Linge dan Peureulak. Kedatangan tamu itu untuk serah terima amunisi dan senjata. Jam 3 sore hari Rabu pasukan dari Linge langsung berangkat pulang. Dan pasukan dari Peureulak masih bersama kami, makanya mereka juga terkepung, salah seorang dari pasukan peureulak adalah Mariner (nama sandinya).

Waktu kami dikepung dengan berat, pasukan Siwah yang beranggotakan 25 orang merapat ke Paya Cot Trieng. Mereka menghindar dari kepungan 1.000 jam oleh TNI di Nisam, dalam keadaan itu TNA yang ada di pergunungan agak terjepit dan terpaksa turun ke bawah. Dan Imran beserta rekan-rekan di pinggiran Paya Cot Trieng  dipimpin oleh Syaridin Paloh, sedangkan pasukan Siwah dipimpin oleh Abrab.

Setiap malam, dalam gelap gulita Imran dan TNA lainnya terus masuk kerawa yang tinggi airnya. sekira setinggi leher dan rawa itu, penuh dengan lintah dan lumpur yang membuat TNA susah berjalan. Pelan-pelan kami menuju ke tengah rawa, hingga pagi Imran masih mendegar dentuman bom dan rentetan suara senapan. Waktu itu sempat masuk SMS dari luar Paya, kalau Nurdin ditembak ketika mau lari saat mengambil air wuduk untuk shalat subuh.

Sejak hari Kamis, TNA dikepung membuat suasana Gampong Blang Crok dan Gampong Ketapang bagaikan neraka yang dipenuhi dengan wajah-wajah bengis. Berbagai tindakan pelanggaran HAM terjadi di gampong itu. Ketika itu Jubir TNA Sofyan Daud tidak ikut terkepung, karena hari sebelumnya dia telah keluar dari kawasan untuk urusan lain.

Sejak malam kedua kami ”dihadiahi” dengan tembakan Mariam Kodok. Waktu itu yang ada dalam fikiran Imran adalah bagaimana bisa selamat. Dan Imran terus ingat waktu dia masih kecil, ketika bermanja dengan ibu dan bermain dengan teman-teman dan tak lupa mengingat pemimpin yaitu almarhum Wali Tgk. Hasan di Tiro. Dengan deraian air mata dan sambil mer yap Imran berdoa kepada yang Maha Kuasa untuk menyelamat pasukan dirinya dan TNA.

Waktu itu yang terperangkap di Cot Trieng ada sekitar 75 orang, dari Pasukan Limpeun 15, Pasukan Siwah 25, Majelis Daerah I - Pase 12 orang, pasukan komando pengawal Syaridin 18 orang, dan pasukan yang mengambil senjata yang berasal dari Peureulak ada 4 orang, pasukan Dani ada 8 orang (pasukan Aneuk Gajah). Selama 7 hari akhirnya semua selamat dan merapat ke Gampong Alue Dua, kecuali di hari ketiga, syahid Nur Iman. Pengepungan Rawa Cot Trieng mengambil masa selama 5 bulan. Waktu itu setiap regu dibagi 10 orang agar tidak terlalu ramai dalam misi menyalamatkan diri.

Sebenarnya pengepungan di hari ketiga, tiba bantuan dari TNA wilayah Linge, dan Pasukan Piranha yang dipimpin oleh Ableh Kandang, Pitung dll. Caranya dengan menyeranag Pos Koramil yang jaraknya 3 km dari Rawa Cot Trieng. Tetapi TNI tidak menggubrisnya, malah kami tambah dibombardir, baik melalui Heli dan Pesawat Hawk.

Sambil melucuti lintah yang hinggap di leher dan di mulut serta dengan perut yang kosong selama tiga hari tak makan, Imran dan kawan-rekan meneruskan misi agar selamat dari kepungan TNI yang beranggotakan lebih kurang 9 ribu orang.

Rombongan pertama yang lolos adalah pasukan Limpeun, tepatnya jam 5 pagi hari Sabtu. Dan yang terakhir adalah pasukan Aneuk Gajah yang dipimpin oleh Dani Paloh.

Walaupun semua sudah selamat, tapi TNI masih juga membombardir Paya Cuttrieng tanpa henti. Imran dan kawan-kawan bersyukur bisa selamat dari kepungan yang dahsyat itu.

COHA

Waktu COHA, maka perangpun terhenti dan Sofyan Daud mengusulkan agar pasukan dikumpulkan ke kompi masing-masing di Pasee. Ada 4 kompi dan ditempat lain disesuaikan, selanjutnya sesudah itu ada Rapat Neugara yang dipimpin oleh Tgk. Usman Lampoh Awe.

Selama 7 hari di acara itu dipotong 30 ekor lembu, berkumpul sekitar 5.000 pasukan TNA dan Petinggi GAM diseluruh Aceh. Atas perintah dari Pusat Komnado di Tiro, perkumpulan itu diadakan di Pase. Gagalnya COHA, perundingan di Tokyo Jepang maka Imran dan TNA lainnya menjinjing lagi AK, perang pun bermula lagi.

Darurat Militer (DM) diterabkan Hari Senin tahun 2003….(BERSAMBUNG)

Posting Komentar

0 Komentar