Like on Facebook

header ads

Airmata, Obama dan Kita



PENA News | Obama membacakan nama 26 korban tewas dalam tragedi penembakan brutal di SD Sandy Hook, Connecticut, AS, sebelum memulai pidato belasungkawanya. Korban-korban itu adalah 20 anak dan enam orang dewasa.

Suaranya lirih dan bergetar menahan kesedihan. Berkali-kali tangannya mengusap matanya yang terus berkaca-kaca.

Kontan isak tangis peserta yang kebanyakan keluarga korban dan masyarakat sekitar membuncah, memenuhi ruangan tempat upacara peringatan tragedi penembakan massal digelar minggu malam 16 Desember 2012 itu.

"Kita tak bisa mentoleransi lagi. Tragedi-tragedi ini harus diakhiri. Dan saya bersumpah akan menggunakan semua kekuasaan saya untuk mencegah kejadian serupa terulang lagi. Sudah saatnya kita berubah," janji Presiden Amerika peraih nobel perdamaian tahun 2009 itu.

Memang tak ada yang menduga hari Jumat 14 Desember 2012 akan menjadi hari berdarah di SD Sandy Hook, Connecticut, AS. Pada pagi yang dingin itu, tepatnya pukul 09.30 waktu setempat, kegiatan berlangsung seperti biasa.

Melalui pengeras suara, terdengar seorang guru membacakan ikrar kesetiaan. Kemudian mengumumkan bahwa makan siang di kantin adalah pizza dan brokoli.

Tapi lima belas menit kemudian, Adam Lanza, remaja berusia 20 tahun yang diduga mengalami gangguan jiwa itu mendobrak pintu utama sekolah dengan dua senjata berpeluru lengkap.

Sebelum mendatangi sekolah tempat Ibunya mengajar itu, Lanza terlebih dahulu telah membunuh Ibunya. Menembaknya tiga kali di wajah saat tidur di kamar tengah.

Ia kemudian memberondongkan senapan serbu jenis Bushmaster 233 milik ibunya secara membabibuta. Kaca-kaca ruangan pecah. Kertas-kertas berhamburan ke tanah. Teriakan minta tolong membuncah. Murid-murid belia dan para guru berlarian mencari perlindungan.

Korban-korban berjatuhan. Begitu suara sirene polisi mendekat, Lanza menghentikan aksinya. Terdiam. Meletakkan senapannya. Lalu mengambil pistol yang terselip di celananya. Dan; dor! Ia menembak kepalanya sendiri.

Penembakan brutal itu bukanlah yang pertama terjadi di negeri Paman Sam. Sejak tahun 1966, tercatat ada 10 penembakan terbesar yang terjadi di sekolah atau kampus yang memakan korban jiwa. Dan sebagian besar pelakunya bunuh diri.

Obama menangis. Amerika berduka. Bendera setengah tiang dinaikkan sebagai tanda kesedihan nasional. Kesedihan 'Dunia'.

Tak urung Presiden Israel Shimon Perres dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu turut mengucapkan belangsungkawa atas tragedi itu. "Kami di Israel turut berdukacita," tulis keduanya dalam surat yang dilayangkan ke Amerika. Pemerintah Jepang melalui Perdana Menterinya, Yoshihiko Noda, juga menyampaikan hal serupa.

Sebagai manusia waras kita juga berhak menangis atas tragedi itu. Sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Anak Semua Bangsa; "Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana."

"Tapi kita juga harus adil sejak dalam pikiran. Apalagi dalam perbuatan" Tulis Satu-satunya Sastrawan yang namanya jadi kandidat Nobel Sastra dunia itu di Novel Bumi Manusia. Ya. Aimata Amerika seringkali airmata berwajah ganda.

Di satu sisi ia gampang mencair atas sebuah tragedi kemanusiaan yang menimpa bangsanya. Tapi di sisi lain kesedihan itu beku dan membisu pada tragedi kemanusiaan yang lain. Memang airmata karena iba dan airmata buaya begitu tipis bedanya.

Obama tak meneteskan airmata ketika tentara-tentara AS yang dikirim melalui bendera NATO ke Afganistan menyerang penduduk sipil, terutama perempuan dan anak-anak. Dari berbagai serangan tersebut ratusan anak-anak Afganistan tewas.

Presiden AS yang pernah bersekolah di Indonesia itu juga tak merasa perlu berbelasungkawa atau mengibarkan bendera setengah tiang kala Israel menyerang Palestina dan menewaskan anak-anak tak berdosa.

Sementara penduduk Afganistan dan Palestina terus mengutuk serangan-serangan yang melibatkan AS di dalamnya.

"Perjuangan seseorang melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa," kata sastrawan kelahiran Cekoslowakia, Milan Kundera.

Dan airmata boleh jadi adalah salah satu cara mengingat segala penindasan. Mengenang segala kebengisan kekuasaan yang menikamkan belatinya ke jantung kemanusiaan. Di manapun.

Barangkali kita, di Indonesia, beruntung karena masyarakat sipil tak gampang memiliki dan menyimpan senjata secara legal. Kita mungkin tak akan pernah mengalami tragedi kemanusiaan seperti yang menimpa SD Sandy Hook, Connecticut, AS.

Tapi kita seringkali menangis karena suatu hal yang mubazir. Kita gampang menangis kala menonton sinetron yang melankolis.

Tapi airmata tak jua jatuh melihat penggusuran pemukiman kumuh, penggusuran masyarakat adat yang mempertahankan hutan dan tanahnya dengan darah dan airmata kala berhadapan dengan alat negara dengan moncong senapan mengarah ke dada.

Kita menangis melihat selebritis menangis dalam doa-doa, tapi kita tak menangis ketika rakyat tak berdaya digulung perusahaan-perusahaan tambang yang bengis.

Manusia menangis bukan karena lemah. Tapi karena ada perasaan sakit yang tak bisa diobati kecuali dengan airmata. Begitu kata petuah bijak. Kita berhak menangis ketika tangan tak sanggup mengepal dan melawan.

Meskipun itu selemah-lemahnya iman perjuangan. Ironisnya, kita barangkali terlalu kebal dengan rasa sakit. Karena itu kita pelit mengeluarkan airmata pada penindasan yang sebenarnya terjadi di sekeliling kita.

Maka ijinkan saya mengakhiri tulisan ini dengan sebuah cerita fakta dari dusun Aramiah, Kecamatan Birem Bayeun, Aceh Timur. Pada Kamis sore, 6 September 2012, Seorang gadis bernama Putri Erlina, 16 tahun, dengan tangan gemetar meraih seutas tali, mengalungkan ke lehernya.

Dan wuts, nafasnya tertahan di lehernya. Kakinya menendang-nendang udara. Bibirnya mulai membiru. Beberapa menit kemudian nyawanya terpisah dari raganya.

Alasan Putri menghabisi nyawanya sendiri karena terlanjur malu. Ia terjaring razia petugas Wilayatul Hisbah (polisi syariah) pada 3 September 2012. Ia dituduh melanggar perda Syariah, menjadi pelacur. Tuduhan yang "membunuh" harga diri perempuan manapun yang tak pernah merasa melakoni profesi itu.

Sebelum menyerahkan nyawanya sendiri pada el maut, ia menulis surat pada Ayahnya. Isinya pengakuan dengan larik yang memedihkan.

"Ayah, maafin Putri. Putri udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi Putri berani sumpah kalau Putri gak pernah jual diri sama orang. Malam itu Putri Cuma mau nonton keyboard di Langsa. Terus Putri duduk di lapangan, begadang sama kawan-kawan Putri".

Yusrin, Ayah Putri, menemukan surat itu tak jauh dari jasad putri yang menggelantung.

Putri adalah salah satu dari sekian banyak remaja dan anak-anak yang jadi korban kekuasaan yang congkak di negeri ini.

Dan tak pernah ada airmata bagi mereka yang kalah. Tak pernah ada bendera setengah tiang dari negara atas kematian mereka yang lungrah dihujam meriam kekuasaan yang pongah. Kita hanya mengenangnya sebagai berita.

Tak lebih. Tak ada airmata. Apalagi pembelaan dan perlawanan. Juga isak sedih. Kita "meminjam terminologi Eric Fromm" barangkali adalah masyarakat yang sakit jiwa.(*)

*Penulis adalah jurnalis freelance. Telah Menulis satu buku kumpulan cerpen berjudul "Selaput Dara Lastri" (IBC Yogyakarta, 2010) dan dua kumpulan Puisi "Derap Sepatu Hujan" (IBC Yogyakarta, 2011) dan "Ciuman Pertama" (Penerbit Gardu, 2012). Kini menekuni Citizen Journalism (Jurnalisme warga) dan terus menulis untuk kesenangan hidup.


Edy Firmansyah
Perum Tlanakan Indah, Pamekasan, Madura
stapers2002@yahoo.com
@semut_nungging
08563032033

(wwn/wwn)

Posting Komentar

0 Komentar