PENA News | Puluhan mahasiswa dari kalangan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Provinsi Aceh menyatakan dukungannya terhadap Qanun Wali Nanggroe (WN). Namun mereka mempersoalkan tugas dan wewenangnya. Untuk itu, mereka mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) meninjau kembali (revisi) tugas dan wewenang WN dalam qanun tersebut.
Pernyataan itu merupakan salah satu poin rekomendasi yang dihasilkan para elite mahasiswa Aceh yang melakukan pertemuan tiga hari, Selasa hingga Kamis (6/12) di Kampus STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa. Menandai berakhirnya pertemuan itu, sekaligus untuk menyuarakan apa yang mereka rekomendasikan, Kamis kemarin para pengurus BEM se-Aceh melakukan aksi damai dengan turun ke jalan protokol Kota Langsa.
Sekitar pukul 10.00 WIB mereka berjalan kaki dari penginapannya di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Aceh Timur di Gampong Matang Seulimeng, Kecamatan Langsa Barat, menuju jalan protokol Kota Langsa. Mereka dikawal ketat oleh anggota Polantas Polres Langsa yang dipimpin oleh Kabag Ops Polres Langsa, Kompol Galih Indra Giri SIK.
Selanjutnya massa mahasiswa berhimpun dan sebagiannya menyampaikan orasi damai di depan Lapangan Merdeka Langsa dengan dijaga puluhan anggota polres setempat. Sejumlah anggota polantas tampak turun langsung mengatur lalu lintas di sekitar lokasi orasi untuk menghindari kemacetan.
Kemudian, aktivis mahasiswa dari masing-masing perwakilan BEM silih berganti melakukan orasi. Di antaranya Hafrizal, Al Azhar, Muliadi, dan Zulkarnaen.
Di sela-sela orasi itu mahasiswa membacakan hasil rekomendasi pertemuan mereka di bidang pendidikan, politik, hukum dan HAM, ekonomi, sosial, budaya, agama, dan kesehatan.
Di bidang politik, para mahasiswa merekomendasikan agar DPRA meninjau kembali tentang tugas dan wewenang Wali Nanggroe dalam Qanun WN, mengingat setelah qanun itu disahkan justru menuai pro-kontra di tengah masyarakat Aceh.
DPRA juga didesak untuk meninjau kembali Rancangan Qanun tentang Lambang dan Bendera Aceh yang saat ini sedang disosialisasikan. Pemerintah Aceh bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan lembaga antikorupsi didesak mahasiswa untuk menyelesaikan kasus korupsi yang terjadi di instansi pemerintah.
Di bidang pendidikan, mahasiswa meminta pemerintah menutup dan mengambil sikap tegas terhadap perguruan tinggi (PT) di Aceh yang tidak memiliki izin operasional dan tidak terdaftar di Dikti, serta mendesak pemerintah agar tak mempersulit proses akreditasi PT.
Pemerintah pusat juga diminta untuk tidak membedak-bedakan antara PTN dan PTS dalam distribusi anggaran pendidikan, baik berupa beasiswa maupun anggaran lainnya, seperti yang tertera dalam Pasal 32 UUD 1945 tentang pendidikan.
Selain itu para mahasiswa medesak pemerintah memeprcepat proses terbentuknya Kopertis di Aceh secara fisik dan medesak Dikti agar memeprjelas alokasi anggaran kemahasiswaan yang ada di instansi pendidikan terkait. Mahasiswa juga menginginkan agar pemerintah mempercepat proses peningkatan status PT yang sudah memenuhi syarat di tingkat Dikti.
Menyangkut bidang hukum dan HAM, mahasiswa mendesak pemerintah pusat untuk menuntaskan peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (Perpres) dalam memeprcepat implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), dan mendesak Pemerintah Aceh dan DPRA membahas kembali Qanun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Di bidang ekonomi, mahasiswa menuntut Pemerintah Aceh untuk memperjelas kedudukan Dana Otonomi Khusus (Otsus), yaitu 60 persen untuk kabupaten/kota, 40 persen untuk provinsi guna percepatan pembangunan daerah.
Mahasiswa juga minta pemerintah membatasi izin pasar modern, mempercepat realisasi Pelabuhan Bebas Sabang, dan kejelasan dana Baitul Mal sebagai pendapatan asli daerah (PAD).
Selanjutnya di bidang sosial dan budaya, mahasiswa mendesak Pemerintah Aceh melindungi situs sejarah Aceh dan segera mendaftarkan tempat-tempat bersejarah Aceh ke lembaga terkait, dan mendesak Pemerintah Aceh menyelamatkan kawasan Hutan Lindung Rawa Tripa sebagai paru-paru dunia.
Menyangkut bidang agama, mahasiswa meminta penegakan syariat Islam di Aceh dilakukan secara kafah, mengembalikan kedudukan fungsi dan tugas Wilayatul Hisbah (WH) ke Dinas Syariat Islam, dan menertibkan gereja-geraja yang tidak sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri.
Untuk bidang kesehatan, mahasiswa meminta pemerintah menyediakan bank darah bagi pendonor dan meningkatkan pelayanan kesehatan baik dari segi fasilitas, instansi, maupun kuantitas pelayanan.
“Rekomnedasi BEM se-Aceh ini, akan kami bawa langsung untuk diserahkan kepada Gubernur Aceh pada Senin (10/12) mendatang, dan mahasiswa akan mengawal poin-poin tuntutan ini agar dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh,” kata Zulkarnain.
Bagaimana jika rekomendasi itu tidak ditanggapi? “Kami akan menurunkan ribuan mahasiswa dari masing-masing perguruan tinggi di Aceh untuk melakukan aksi mendesak Pemerintah Aceh,” imbuh Zulkarnain. Aksi tersebut berjalan aman dan tertib. Sekitar pukul 11.15 WIB mahasiswa membubarkan diri. (c42)
SUMBER: ACEHdotTRIBUNNEWSdotCOM
0 Komentar