Like on Facebook

header ads

Ketika Penutoh dan Perintah Harus Dilaksanakan

Operasi militer Indonesia di Aceh  atau juga disebut Operasi Jaring Merah adalah operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan untuk melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Selamaperiode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai "Daerah Operasi Militer" (DOM), dimana Tentara Nasional Indonesia diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar dan sistematis terhadap pejuang GAM maupun rakyat sipil Aceh.
Operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan pembakaran desa. Amnesty International menyebut diluncurkannya operasi militer ini sebagai "shock therapy" bagi GAM.
Desa yang dicurigai menyembunyikan anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka militan diculik dan disiksa. Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan  dan antara 9.000-12.000 orang, sebagian besar warga sipil tewas antara tahun 1989 dan 1998 dalam operasi TNI tersebut.
Atas perintah Presiden BJ Habibie pada tanggal 22 Agustus 1998 setelah jatuhnya Presiden Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru maka Jendral Wiranto menarik DOM dari Aceh dengan penarikan hampir seluruh personil TNI yang terlibat. Dan kemudian 2003 presiden Indonesia yang waktu itu Megawati mendeklarasikan lagi DOM di Aceh dan berakhir 2005.

Di tahun 2003 yang meregut banyak rakyat Aceh itu, saya berangkat dari Gampong Luengsa, Sp. Ulim ke Kuala Idi Aceh Timur dengan 3 orang kawan, salah satu di antara mareka dalah Amri Daut Nek Meuri atau Ayah Meuri dan Joni (RaJa Tapak). Dari Kuala Idi Aceh Timur kami dibawa oleh pasukan yang ada Idi melalui Jalan Keudeh Keuruba ke rumah Rocki (nama sandi yang sekarang menjabat Bupati Aceh Timur) sesampainya ke rumah si Rocki kami duduk cerita- cerita.

Saat itu si Raja Tapak bilang bahwa dia baru pulang dari Comando di Tiro, dan berita terbaru dari Comando bahwa  dalam beberapa bulan ini Aceh kemungkinan akan diadakan lagi Darurat Militer ujar Raja. Raja Tapak berkata juga, kami diperitahkan oleh Comando Pusat di Tiro dan Nektu (Ridwan Abubakar) untuk berangkat ke Aceh Tamaing.

Lalu dari tempat si Rocki, kami dibawa ke tempat "Tekong Bayen Peureulak" disitu lah kami ambil senjata AK dan bom. Bom yang berkekuatan tinggi itu kiriman dari Luar Negara. Dari Tempat si Tekong Bayen Peureulak hingga ke kawasan Kuala Ligee Peureulak. Dan dari situ kami sudah menelpon seseorang agar dia menyiapkan speed boat yang akan membawa kami masuk kedalam Kuala Puenaga Aceh Tamaing.

Begitu sampai di Peunaga Aceh Tamiang, malam itu kami disambut oleh seorang yang bernama Muslem Wali (Panglima Deli Merdeka) dan dia jugak sebagai Panglima Deli Merdeka pada masa itu. Karena Abu Hindo sudah ditangkap sabagai Panglima Tinggi Deli Merdeka, maka Bang Muslem lah jadi Panglima Deli Merdeka pada masa itu. Dalam pembicaraan di Raya Tapa, kami diperintahkan oleh Comando Pusat Tiro untuk menemui Abu Syam Panglima Tamiang yaitu Ayah Meri. Begitu sampai ketempat Kuala Peunaga, rupanya banyak diantara Pasukan Deli yang kenal dengan Ayah Meri waktu itu. Saya tidak banyak komentar/bicara, sebab usia saya masi sangat muda belia. Saya juga masih dikira amatir dalam hal perjuangan. 

Pada, keesokan harinya kami diantarkan ke Mantang Seupen Aceh Tamiang untuk menemui Abu Syam. Pasukan Melayu Deli itu kebanyakan dari orang orang Aceh yang hidup dirantau dan yang berbasis di Medan, tepatnya di daerah Belawan Sumatra Utara.

Ketika kami bertemu dengan Abu Syam (Raja Tapak) maka kami langsung bicara tentang poin kedatang kami ke Aceh Tamaing.
Abu, kata si Raja,  Abu pasti tahu bagaimana situasi pada saat ini.
Abu Syam menyela pembicaraan si Raja.
Perlahan saja bicaranya, kata Abu Syam.
Kemudian si Raja melanjutkan pembicaraannya:

Saya utusan yang dikirim dari Comando Pusat Tiro. Saat ini kita sangat membutuhkan pasukan Abu dan dana operasional. Untuk membuat Abu percaya, kami bawakan barang-barang ini semua, yaitu bom-bom yang kami bawa untuk Abu. Kemudian Abu Syam pun memberikan sedikit uang Operasional dan Pistol untuk si Raja Tapak. Ayah Muri bukanlah orang asing dalam masalah perjuangan, sebab beliau pernah mendirikan Langkat Merdeka.

Setelah pertemuan itu saya pun turun ke kampung Teulaga Muku (Aceh Tamiang) dengan Pang Sagoe. Di daerah itu ada seorang yang bernama Wakle, dia orang yang dihormati dalam masyarakat di daerah Teulaga Muku.

Cerita tentang cara kehidupan tentara Aceh Tamiang, mengingatkan saya kata-kata gurauan orang Melayu yang keluar dari celotehan mereka di Aceh Tamiang.

”Hamba Ingat sudah biat sudah Merdeka, rupanya esok pagi ku kelih kebelakang rumah sudah bertepuk hijou”. (Saya ingat setelah disumpah maka Merdekalah kita, rupanya besok pagi kulihat dibelakang rumah sudah hijau ”Ada Aparat TNI”).

Setelah tiga hari saya di Aceh Tamiang maka disahkan Darurat Militer pada 19 Mei 2003 oleh Pemerintah Indonesia. Mereka mengirim 30.000 TNI dan 12.000 POLRI di Aceh.

Keadaan pun semakin tidak memungkinkan untuk terus berada di Tamiang, sebab pasukan TNI sudah mulai masuk ke daerah Teulaga Muku, Aceh Tamiang dan TNA (Tentara Negara Acheh) Aceh Tamiang juga sudah menyiapkan benteng untuk menyambut kedatangan TNI itu.

Dua hari Darurat Militer, Pasukan Deli Mardeka mendapat serangan dari laut, darat dan udara. Suara peluru yang mendesing dan deruman mesin Helikopter memecahkan kedamaian di bumi Tamiang. Kami mendapat infomasi dari Abu Syam bahwa Pasukan Deli akan merapat untuk membantu menguatkan pasukan. Karena keadaan yang sudah tidak memungkinkan lagi, maka saya terpaksa berpisah dengan Raja Tapak.

Hari terus berlalu dan kontak senjata antara pasukan GAM (TNA) dan TNI terus bersahut di alam yang seharusnya damai. Pada masa itu saya tingal bersama Teungku As, Simurong dan kawan yang lainnya juga ada disana. ”Sayangnya saya sudaH banyak lupa nama-nama pahlawan di daerah itu sebab sudah lama dalam Kem Comando Aceh Tamiang”.  Banyak dari kawan-kawan tentara pejuang Aceh Taming dan Deli Mardeka yang gugur. Dan kami sudah kekurangan logistik, baik dari makan dan alat perang. Lapar dan dahaga sudah terbiasa bagi kami, semua itu kami lakukan demi perjuangan yang suci untuk Aceh yang kita cintai. (Bersambung cerita mengharungi hutan bangka/bakau Tamiang) Tulisan ini adalah luapan hati Adinda Syukri (Wareeh)

Posting Komentar

0 Komentar