Like on Facebook

header ads

Dayah Pemutus Rantai Dendam Konflik Aceh

“Saya memperlihatkan sebuah majalah Adil yang cover depannya Prabowo yang saat itu Danjen Kopasus. Saya tanya ini siapa, sontak mereka menjawab pembunuh orangtua kami. Saya langsung lemas, ternyata walaupun masih kecil mereka sudah menyimpan kebencian,” tutur Bulqaini.
Dayah Markaz Al Ishlah Al Aziziyah Banda Aceh (Foto: Salman Mardira/Okezone)
BANDA ACEH - Azan dzuhur berkumandang. Mengenakan pakaian serba putih, Lukman (19), bergegas ke tempat wudhu, kemudian menuju sebuah balai kayu sebagai mushola di Dayah (pasantren) Markaz Al Ishlah Al Aziziyah. Bersama para santri lain, ia mengikuti salat dzuhur berjamaah.

Usai menunaikan salat yang dilanjut dengan zikir bersama, mereka kemudian menyebar ke beberapa balai untuk kegiatan pegajian rutin. “Walaupun bulan puasa, ngaji sehabis dzuhur tetap seperti biasa,” tuturnya beberapa waktu lalu.

Lukman merupakan satu dari 180 santri pondok yang terletak di Lueng Bata, Banda Aceh ini. Pemuda asal Alue Papuen, Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara ini sudah delapan tahun mondok. Ia satu dari sekian banyak anak-anak yatim korban konflik yang belajar di pesantren ini.

Menurut Teungku Bulqaini Tanjongan, pemimpin Dayah Markaz Al Ishlah Al Aziziyah, pesantren ini khusus didirikan untuk menampung anak-anak yang kehilangan orangtuanya dalam konflik antara RI-Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Bukan hanya anak warga sipil saja, anak TNI/Polri dan GAM juga ditampung di sini. Mereka saling berbaur satu sama lain, melupakan permusuhan orangtuanya. Berdiri sejak 2002, dayah ini sengaja dinamakan Markaz Al Ishlah Al Aziziyah yang artinya pusat perdamaian.

“Tujuan saya mendirikan dayah ini untuk memutus mata rantai dendam dalam dada mereka (yatim korban konflik),” katanya.

Menurutnya, dendam adalah masalah serius di Aceh. Konflik bersenjata yang merengut banyak nyawa, melahirkan ribuan anak-anak tanpa orangtua atau anggota keluarganya. Ini potensi besar terhadap terjadinya konflik baru, bila tidak diatasi secara benar.

“Salah-salah mengatasi soal dendam, Aceh bisa perang lagi. Anak-anak para korban itu rata-rata menyimpan dendam, tinggal disulut saja jadi perang lagi,” sebutnya.

Bulqaini meyakini, dendam hanya dapat diatasi dengan dua hal; ilmu agama dan dunia. Untuk memupus dendam pada diri anak korban, di dayah ini, para santri disibukkan dengan belajar kedua ilmu itu.

Belajar agama metodenya mengadopsi gaya pesantran salafi. Untuk sekolah, tingkat menengah dan atas sudah berdiri MTs dan Madrasah Aliyah Swasta di komplek dayah. Sedangkan untuk tingkat dasar, santrinya dimasukkan ke SD terdekat. Biaya sekolah semua ditanggung pesantren.

Ihwal beridirinya dayah ini berawal dari keprihatinan Bulqaini saat melihat anak-anak korban konflik. Ketika konflik memanas awal tahun 2000, Bulqaini adalah aktivis Rabithat Thaliban Aceh, organisasi kemanusiaan yang digerakkan para santri, untuk membantu advokasi hak-hak korban.

Dia rajin berkunjung ke berbagai daerah, melihat anak-anak yang kehilangan orangtuanya. Suatu ketika ia bertandang ke kamp pengungsian di Beureunuen, Kabupaten Pidie. Di sana ia berinteraksi dengan anak-anak korban.

“Saya memperlihatkan sebuah majalah Adil yang cover depannya Prabowo yang saat itu Danjen Kopasus. Saya tanya ini siapa, sontak mereka menjawab pembunuh orangtua kami. Saya langsung lemas, ternyata walaupun masih kecil mereka sudah menyimpan kebencian,” tutur Bulqaini.

Sepulang dari berkunjung ke Amerika Serikat sebagai aktivis kemanusiaan, Bulqaini kemudian mewujudkan niatnya membangun sebuah pesantren untuk anak-anak korban konflik. Ia merogoh simpanan pribadinya senilai Rp40 juta membeli seribu meter tanah di Lueng Bata, untuk mendirikan dayah itu.

Beberapa dermawan saat itu menyumbang papan dan bahan material lainnya untuk pembangunan asrama dan balai pegajian. Sumbangan material ini ikut diterimanya dari seorang pendeta Sekolah Methodis Banda Aceh. “Pendeta itu menghubungi saya, dia menyumbang papan bekas sekolah Methodis,” ujarnya.

Dayah berdiri, Bulqaini kemudian rajin turun ke kampong-kampung mengajak anak-anak yang kehilangan orangtuanya untuk mondok di pesantren ini. Awalnya tak mudah untuk menyatukan mereka dalam satu tempat, dengan latar belakang berbeda-beda.

“Anak TNI, brimob, polisi yang korban penembakan GAM dan anak GAM yang menjadi korban TNI/Polri mulanya masih saling curiga. Mereka sering mengejek satu sama lain, bahkan saling berantam. Saya sengaja menempatkan mereka satu kamar. Anak GAM saya tempatkan bersama anak TNI,biar mereka berbaur,” ujarnya.

Seperti pengalaman Lukman yang ayah kandungnya bernama Usman tewas ditembak TNI sekira tahun 2000. Ia masih ingat kejadian menimpa ayahnya. “Ayah saya ditembak ketika sedang salat magrib di meunasah (surau),” tuturnya.

Mulanya mondok di Markaz Al Ishlah, Lukman yang masih kelas IV SD, satu kamar dengan anak Brimob. Ia diajak seseorang ke dayah ini karena prihatin dengan masa depannya di kampung.

Tak mudah memupus kebencian terhadap aparat pada diri Lukman. Teman sekamarnya masih dianggap musuh kala itu. “Anak Brimob yang satu bilik sama saya sering mengajak saya berantam, mereka kompak dengan anak tentara,” cerita Lukman.

Namun perlahan, mereka saling memahami. Rasa benci dan dendam sedikit demi sedikit mulai terkikis dalam benak Lukman, seiring pemahaman ilmu agama dan dunia yang didapatnya di pesantren ini.

“Kami kemudian berteman. Saya tidak merasa dendam lagi kepada mereka, sudah ikhlas dengan kehendak Allah,” katanya.

Lukman tak lagi berpikir soal balas dendam. Lelaki yang baru saja lulus SMK Negeri 2 Banda Aceh jurusan kelistrikan itu kini hanya sibuk mengabdi di dayah yang sudah membuka wawasannya, disamping sedang menyiapkan diri menyongsong cita-cita.

"Untuk sementara saya mengabdi dulu selama dua tahun di sini. Kemudian saya akan berpikir lagi setelah itu apakah melanjutkan kuliah atau membuka usaha kalau ada modal," ungkap Lukman.

Perihal menghapus dendam anak-anak ini, Bulqaini jagonya. Ia memiliki trik khusus mengajari santrinya. Di sela waktu luang, Bulqaini sering membawa para santri ini jalan-jalan atau meminta mereka memijat tubuhnya di malam hari, kemudian mengajak mereka berbicara secara terbuka soal peristiwa menimpa orangtua mereka.

Kerap kali Bulqaini bercucur air mata mendengar cerita anak-anak. “Mereka rata-rata bisa menceritakan secara detail kejadian menimpa orangtuanya. Bahkan ada seorang santri, waktu itu bisa menghafal nama-nama pembunuh orangtuanya, ada sembilan orang katanya,” sebutnya.

Anak itu, kata dia, sangat bercita-cita menjadi tentara untuk membalas dendam kematian orangtuanya. Bulqaini mengapresiasi keinginan anak asuhnya itu. Menurutnya jangan pernah membantah atau mengajari langsung si anak ketika dia sedang serius bercerita.

“Saya malah kasih semangat dulu ke dia, ini baru anak laki, hebat kamu.”

Ketika mereka sudah mulai terbuka, saat itulah mereka diberi pemahaman agama. Di dayah ini mereka diwajibkan salat lima waktu secara berjamaah dan mengikuti pengajian rutin malam, usai subuh dan menjelang asar. Sementara pagi diberi keluasan waktu untuk sekolah.

Saat salat berjamaah, santri dayah ini mengenakan pakaian serba putih. Mereka juga memiliki doa khusus untuk orangtua mereka yang dilantunkan bersama tiap salat lima waktu.

Bulqaini juga mengharuskan santrinya untuk salat tahajud malam hari degan cara membangun mereka lebih dini, menjelang subuh. “Dengan salat tahajud jiwa mereka bisa tenang, mereka bisa merenung tentang diri mereka. Ketika jiwa mereka sudah tenang, ilmu sudah gampang masuk ke dada mereka,” ujar dia.

Di samping itu, para santri pesantren ini juga memiliki serangkaian kegiatan ekstrakulikuler seperti belajar zikir barzanji, tarian sufi khas Aceh Rabbani Wahid, olahraga dan belajar mengelola kermba ikan lele milik pesantren.

Paskatsunami, Dayah Markaz Al Ishlah Al Aziziyah makin terbuka dengan mulai ditampungnya yatim korban tsunami dan anak-anak mualaf.

Bahkan sudah ada dua asrama khusus untuk putri hasil bantuan RCTI Peduli, lengkap dengan sebuah tempat wudhu.

Dalam waktu dekat ini, Bulqaini akan mendirikan Perguruan Tinggi Islam di lingkungan pesantren ini. Meski sudah mendapat lampu hijau dari Kementerian Agama, rencana ini belum bisa terwujud karena minimnya lahan. "Lahan masih menjadi kendala."

Bulqaini juga mengeluh minimnya donatur yang menyumbang belakangan, membuatnya mulai kelimpungan menutupi biaya hidup santri. "Saya tetap berkeinginan dayah ini tetap hidup, karena beginilah resolusi konflik yang dibutuhkan Aceh sekarang," ujarnya.

SUMBER: okezone.com

Posting Komentar

0 Komentar