PENA News | Hubungan partai politik dengan pegiat politik tidak
dapat dipisahkan. Normalnya adalah aktivis politik harus mencerminkan
pilihan tindakan dan kebijakan partainya masing-masing. Sampai Pemilihan
Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun 2014, sistem oligarkhi
partai berjalan sangat kuat.
Daftar calon legislatif nomor satu berpeluang besar menjadi nomor “jadi”. Intervensi Pengurus Partai di pusat menitipkan nama-nama tertentu yang harus jadi calon legislatif di suatu daerah. Sistem seperti ini memastikan aktivis partai selalu mencari “tangga” untuk “mendekat” ke Pengurus Pusat Partai. Hal seperti ini mencerminkan tidak ada demokrasi di dalam tubuh partai politik.
Keputusan hukum tetap yang memastikan calon legislatif dengan suara terbanyak yang akan duduk di lembaga legislatif dalam Pemilu tahun 2014. Ini berdampak pada banyak hal antara lain: (1) oligarkhi partai dan sistem nepotisme di dalam partai pupus; (2) calon anggota legislatif akan didukung oleh konstituen yang saling mengenal; (3) persaingan calon anggota legislatif dalam partai yang sama mengarah kepada persaingan tidak sehat; dan (4) peluang konspirasi dan “money politic” semakin tinggi (walaupun pengawasan juga sangat ketat) di tengah rakyat pemilih.
Dalam setiap pesta demokrasi, baik Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA), Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Legislatif, selalu saja rakyat dijadikan “barang murahan” yang seolah-olah dapat dibeli oleh calon pemimpin di Indonesia. Alih-alih memposisikan rakyat sebagai manusia terhormat, tetapi justru rakyat diposisikan sebagai barang dagangan yang nilainya murah.
Indikasi yang dapat dipakai adalah: (1) kemiskinan rakyat dijual sebagai barang yang dijanjikan akan diselesaikan oleh para aktivis politik dan calon pemimpin; (2) janji-janji mengembangkan ekonomi kerakyatan dalam kampanye terus bergulir, tanpa memahami apa yang menjadi esensi dari ekonomi kerakyatan tersebut; dan (3) melupakan rakyat ketika mereka mulai menjadi Pejabat Negara. Sungguh nasib rakyat telah dipermainkan oleh calon-calon pemimpin dan pemimpin di negeri yang memiliki rakyat miskin paling sedikit 34 juta jiwa ini.
sungguh sebuah cermin retak bagi Aktivis Partai, Caleg, dan peran partai politik dalam kehidupan ekonomi rakyat Indonesia. Sesungguhnya partai belum berbuat banyak kepada rakyat, tetapi rakyat selalu “dijual murah” untuk kepentingan kekuasaan. Money Politic dan janji-janji dan kebohongan publik adalah indikator dari “strategi jual murah itu”.
Semoga masih ada sisa waktu untuk memperbaiki kinerja Aktivis Partai, Caleg, Calon Presiden, dan Pengurus Partai untuk memperbaiki diri. Berikan konsep untuk membangun sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan Negara Indonesia ke depan, dan jangan menjadi politisi busuk yang korup. Pertanyaan yang memerlukan jawaban dari para Aktivis Partai, Caleg, Calon Presiden, dan Partai Politik adalah bagaimana: mengembalikan dan mengembangkan percaya diri bangsa agar tidak bergantung pada Negara asing.
Tulisan singkat ini hanya sebagai pemantik dari diskusi bersama sebagai upaya mengingatkan para calon-calon pemimpin Indonesia agar secara sungguh-sungguh bermain pada arena yang benar, tidak menjual rakyat dengan harga murah melalui kampanye yang narsis tersebut. Rakyat sekarang sedang mencermati Caleg dan partai mana yang memiliki konsep yang jelas.
Dramaturgi yang diistilahkan oleh Erfin Gufmann dalam Sosiologi Politik sangat kentara dilakukan oleh Aktivis Partai saat ini, sebagai bagian dari narsis dan kebohongan publik. Rakyat jangan dijual murah hanya untuk “vote”. Rakyat harus diberi pencerahan melalui konsep yang jelas yang akan diperjuangkan. Konsep tersebut harus berbasis ideology bangsa Indonesia yang jelas dan murni, tidak dicampur dengan ideology asing, agar tidak menjadi pengkhianat bangsa.
FIRMAN SAPUTRA adalah
Salah Satu Rakyat Atjeh
Cinta Kepada Tanah Endatu dan
Kelahiran Dewantara Aceh Utara.
Keputusan hukum tetap yang memastikan calon legislatif dengan suara terbanyak yang akan duduk di lembaga legislatif dalam Pemilu tahun 2014. Ini berdampak pada banyak hal antara lain: (1) oligarkhi partai dan sistem nepotisme di dalam partai pupus; (2) calon anggota legislatif akan didukung oleh konstituen yang saling mengenal; (3) persaingan calon anggota legislatif dalam partai yang sama mengarah kepada persaingan tidak sehat; dan (4) peluang konspirasi dan “money politic” semakin tinggi (walaupun pengawasan juga sangat ketat) di tengah rakyat pemilih.
Dalam setiap pesta demokrasi, baik Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA), Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Legislatif, selalu saja rakyat dijadikan “barang murahan” yang seolah-olah dapat dibeli oleh calon pemimpin di Indonesia. Alih-alih memposisikan rakyat sebagai manusia terhormat, tetapi justru rakyat diposisikan sebagai barang dagangan yang nilainya murah.
Indikasi yang dapat dipakai adalah: (1) kemiskinan rakyat dijual sebagai barang yang dijanjikan akan diselesaikan oleh para aktivis politik dan calon pemimpin; (2) janji-janji mengembangkan ekonomi kerakyatan dalam kampanye terus bergulir, tanpa memahami apa yang menjadi esensi dari ekonomi kerakyatan tersebut; dan (3) melupakan rakyat ketika mereka mulai menjadi Pejabat Negara. Sungguh nasib rakyat telah dipermainkan oleh calon-calon pemimpin dan pemimpin di negeri yang memiliki rakyat miskin paling sedikit 34 juta jiwa ini.
sungguh sebuah cermin retak bagi Aktivis Partai, Caleg, dan peran partai politik dalam kehidupan ekonomi rakyat Indonesia. Sesungguhnya partai belum berbuat banyak kepada rakyat, tetapi rakyat selalu “dijual murah” untuk kepentingan kekuasaan. Money Politic dan janji-janji dan kebohongan publik adalah indikator dari “strategi jual murah itu”.
Semoga masih ada sisa waktu untuk memperbaiki kinerja Aktivis Partai, Caleg, Calon Presiden, dan Pengurus Partai untuk memperbaiki diri. Berikan konsep untuk membangun sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan Negara Indonesia ke depan, dan jangan menjadi politisi busuk yang korup. Pertanyaan yang memerlukan jawaban dari para Aktivis Partai, Caleg, Calon Presiden, dan Partai Politik adalah bagaimana: mengembalikan dan mengembangkan percaya diri bangsa agar tidak bergantung pada Negara asing.
Tulisan singkat ini hanya sebagai pemantik dari diskusi bersama sebagai upaya mengingatkan para calon-calon pemimpin Indonesia agar secara sungguh-sungguh bermain pada arena yang benar, tidak menjual rakyat dengan harga murah melalui kampanye yang narsis tersebut. Rakyat sekarang sedang mencermati Caleg dan partai mana yang memiliki konsep yang jelas.
Dramaturgi yang diistilahkan oleh Erfin Gufmann dalam Sosiologi Politik sangat kentara dilakukan oleh Aktivis Partai saat ini, sebagai bagian dari narsis dan kebohongan publik. Rakyat jangan dijual murah hanya untuk “vote”. Rakyat harus diberi pencerahan melalui konsep yang jelas yang akan diperjuangkan. Konsep tersebut harus berbasis ideology bangsa Indonesia yang jelas dan murni, tidak dicampur dengan ideology asing, agar tidak menjadi pengkhianat bangsa.
FIRMAN SAPUTRA adalah
Salah Satu Rakyat Atjeh
Cinta Kepada Tanah Endatu dan
Kelahiran Dewantara Aceh Utara.
0 Komentar