Gubernur Aceh Harus Cabut Izin PT Mandum Payah Tamita

PENA NEWS Aceh Utara 05-11-2014 – Pegiat Lembaga Swadaya Masayarkat (LSM) SILFA mendesak Gubernur Aceh Zaini Abdullah agar mencabut izin perusahan PT Mandum Payah Tamita (PT MPT) yang beroperasi di Aceh Utara. 

Perusahaan perkebunan sawit milik pemodal dari negara Malaysia itu, dituding telah melakukan sejumlah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dalam melakukan aktivitasnya. Demikian disampaikan oleh Direktur LSM SILFA, Irsadi Aristora SHut MH kepada AtjehLINK, Senin (13/10/2014). Menurut Irsadi, PT MPT memiliki izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diberikan Pemerintah Aceh seluas 8.015 hektar. 

Perusahaan itu, kata Irsadi, berlokasi di wilayah Kecamatan Cot Girek dan Langkahan, Aceh Utara, dan berada di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Keureto dan Krueng Jambo Aye. Hasil investigasi SILFA, kata Irsadi, diketahui izin konsesi nomor 522/052/2003 yang dikantongi perusahan itu, dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh pada tanggal 23 Desember 2003 dan berlaku hingga dengan tanggal 23 Desember 2053. 

Menurut Irsadi, kegiatan penanaman sawiit di area konsesi PT MPT aneh, Pasalnya, kata dia, menurut Undang-Undang, tidak dibenarkan penanaman sawit dalam area konsesi hutan jenis HTI. “Kalau IUPHHK-HTI PT Mandum Payah Tamita mengajukan hampir 5.000 hektar lahan mereka menjadi sawit, berarti Dishut Aceh salah besar dalam menerbitkan izin IUPHHK-HTI. Kenapa tidak dikeluarkan HGU saja. Jelas-jelas kawasannya yang diajukan Hutan Produksi (HP) kenapa diberikan izin penanaman sawit. 

Ka salah jep ubat Husaini Syamaun (Kadis Kehutanan Aceh- red). Sejak kapan HTI bisa tanam sawit?” tanya Irsadi. Selain dituding melakukan sejumlah pelanggaran hukum, PT MPT juga disebut memicu konflik dengan masyarakat sekitar kawasan lahan mereka. Kata dia lagi, pihak perusahaan seperti sengaja mencari-cari kesalahan dan menuduh masyarakat di sekitar telah melakukan kejahatan terhadap PT MPT, seperti tuduhan terhadap warga mencuri kayu di lahan perusahaan tersebut.

 “Kasus pembakaran alat berat mereka (PT MP) juga masyarakat yang dituduh melakukan. Namun sampai sekarang tidak pernah bisa dibuktikan,” sebut Irsadi. Menurut penuturan warga kepada pegiat LSM SILFA, lanjut Irsadi, ada semacam skenario konflik yang sedang dimainkan oleh perusahaan tersebut, hal itu dicurigai sengaja dilakukan dengan tujuan sebenarnya untuk memuluskan operasi PT MPT, termasuk dengan cara mengenyampingkan aturan dan masyarakat demi mengeruk keuntungan di Aceh Utara. Aktivitas dari PT KMP, sambungnya, juga sudah mulai menggagu lingkungan dan khususnya keberadaan hutan lindung Cut Mutia, yang berada di dekat lahan konsesi perusahaan itu.

Hutan Aceh (photo Lintas Gayo)

Masyarakat yang selama ini mengantungkan hidup mereka dari hasil usaha di dalam kawasan hutan, lanjut Irsadi, juga mulai merasakan dampak negatif dari keberadaan perusahaan sawit dimaksud. “Kehadiran PT MPT sangat jelas sudah mengganggu aktifitas warga sekitar hutan. Mereka selama ini mencari nafkah di hutan seperti mencari jerenang, rotan madu. Ada dampak buruk bagi ekonomi masayarakat dengan keberadaan PT MPT, hal ini tentu juga harus dilihat sebagai suatu masalah yang serius,” tutur Irsadi. “IUPPHK – HTI PT Mandum Payah Tamita diterbitkan saat Ir Husaini Syamaun menjabat sebagai Kadishut Provinsi Aceh. 

Pasca permasalahan hukum PT MPT tahun 2006 lalu, sempat tidak terdengar lagi keberadaaan dan aktivitas mereka. Setelah Bapak Husaini Syamaun kembali dilantik menjadi Kadishut Aceh untuk kedua kalinya, justru perusahaan PT MPT kembali muncul dan melaksanakan aktivitas di lahan konsesi. Ada kesan mereka kembali menunjukkan kuku-kuku tajamnya sekarang, seakan-akan ada beking mereka dibelakang, praduga ini muncul berdasarkan sejarah dan karakter perusahaan tersebut,” imbuhnya. 

Berdasarkan hasil investigasi SILFA, didapati sejumlah pelanggaran yang dilakukan PT MPT diantaranya perusahaan itu belum mengantongi izin amdal, melanggar tata ruang wilayah Aceh Utara, belum melaksanakan tata batas wilayah hutan, izin baru bersifat penujukan dan belum ada penetapan kawasan, belum menyusun RKL (rencana kerja lima tahun) yang disahkan, PT MPT tidak masuk dalam daftar pemegang IUPHHK-HTI Departemen Kehutanan hingga medio Mei 2014 dan tidak mengantongi surat izin pinjam pakai kawasan hutan yang akan diubah menjadi perkebunan sawit.

 “Selain itu, keberadaan hutan lindung Cut Mutia dalam kawasan PT MPT sangat mengkhawatirkan. Apalagi tidak ada penempatan petugas pengaman hutan untuk menjamin perusahaan itu akan tidak merambah kedalam kawasan hutan Lindung. Ada juga nilai cagar budaya terhadap situs sejarah bangsa Indonesia terletak dalam kawasan PT MPT yaitu makan Pahlawan Nasional Cut Mutia yang berpotensi rusak karena aktivitas perusahaan itu, ” urainya. 

Karena itu, terang Irsadi, maka Pemerintah Aceh harus segera melakukan evaluasi untuk mencabut izin PT Mandum Payah Tamita, sebelum pelanggaran demi pelanggaran berlanjut. “Tunjukan kepada publik, jika pra duga kami salah dalam menilai hubungan antara PT MPT dengan Bapak Ir Husaini Syamaun yang main mata,” pungkas Irsadi. Terkait tudingan SILFA, AtjehLINK telah berupaya meminta tanggapan dari Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Ir Husaini Syamaun dan juga pihak PT MPT, namun sampai berita ini diturunkan, kedua pihak tersebut belum berhasil dihubungi. (Pena)

Berita lain dari PT Mandum Payah Tamita