Like on Facebook

header ads

Menjalankan "Amanah" Perut Masing-Masing, Leupah Udarat Sipak Djalô

Johan Makmor HAG
PENA News | Melihat keadaan di Aceh akhir-akhir ini yang semakin hari semakin tak menentu membuat saya jenuh dan merasa kasihan melihat rakyat yang tak mengerti mengapa setelah penandatanganan MoU Helsinki justru keadaan Aceh bertambah semraut, bukannya damai. Bukankah tujuan penandatanganan itu untuk kedamaian seluruh rakyat Aceh, bukan untuk kedamaian satu kelompok. 

Kelihatannya sekarang ini banyak pihak yang sibuk bertikai sesama sendiri. Sebenarnya kita bisa selesaikan masalah itu, kalau semua pihak menggunakan akal sehat, bepikir jernih dan bersikap dewasa dalam berpolitik. Di dalam kehidupan ini beda pendapat adalah hal yang wajar, justru perbedaan pendapat itu sering melahirkan sesuatu yang baru yang di luar dugaan kita. 

Tinggal saja bagaimana cara kita menerima yang baru itu. Kita tidak bisa memaksakan semua orang agar sependapat dengan kita, kebebasan bersuara dan kebebasan mengeluarkan pendapat adalah salah satu dari cara berdemokrasi. Kritikan dari lawan atau teman itu adalah ilmu, jadi kita harus menerima dengan hati terbuka kritikan yang dilemparkan terhadap diri kita. 

Saya melihat orang kita susah sekali menerima kritikan dari orang lain. Malah nilai-nilai persaudaraan yang terjalin begitu harmonis disaat sedang susah kini sirna disebabkan oleh ketidaksabaran menerima keritikan. 

Istilah ”Udép Beusaré Maté Beusadjan, Sikrèk Gafhan Saboh Keuranda”, kelihatannya hanya dipakai waktu dalam kesusahan. Dan, ketika ada kepentingan saja, setelah semuanya berakhir maka ”Leupah Udarat Sipak Djalô”. Ini sangat melenceng dari ajaran agama kita, dalam agama selalu disuruh agar kita selalu baik dengan siapa saja, tak perduli siapa dia. 

Ada yang bilang dalam Islam tidak ada Demokrasi, kalau tidak ada terus mau dikemanakan ”Laqum Dinuqum Waliyadin” Al-Qur’an 109.06. Ayat ini kalau kita terjemah secara mendalam banyak maknanya, salah satunya kita tidak boleh memaksa orang. 

Orang Aceh terkenal dengan Islamnya, tapi kelihatannya orang Aceh lebih kepada Islam ”meunan-meunan”, tidak mendalami Islam itu secara benar mendalami ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an, sehingga cepat sekali termakan oleh hasutan dan propaganda murahan. Hampir semua orang Aceh bisa baca Alquran, tapi apa arti dan isi dalam Alquran itu sangat sedikit yang mengerti. 

Makanya perbuatan kebanyakan orang Aceh kalau kita lihat sekarang ini tidak ubahnya seperti perangai orang yang hidup di jaman jahiliyah. Contoh yang ketara sekali adalah bangga melihat aib dan kesengsaraan saudaranya sendiri, berbunuh-bunuhan, mencabuli anak dibawah umur, menghukum orang tanpa mengetahui kesalahan orang tersebut alias main hakim sendiri. 

Hal ini sering terjadi di Aceh, dimana orang sekampung telah menggebuki sampai patah gigi dan tulang rusuk seseorang karena diduga mencuri. Coba perhatikan kata-kanya, ”diduga” baru diduga udah patah gigi dan tulang rusuk. Tapi anehnya mereka yang sudah terang terangan memakan uang rakyat alias korupsi tak ada yg berani menghukumnya, malah dibiarkan saja merajalela. 

Kalau kita mau berbicara siapa yang mau disalahkan, ya… tentu saja banyak, tapi sampai kapan kita mau menyalahkan sesama sendiri. Kalau kita terus-terusan menyalahkan orang lain, maka kehidupan akan jadi monoton dan tidak akan pernah Aceh akan maju. 

Yang salah disini adalah kita semua, orang Aceh. Karena, kita tidak mau beranjak dari keadaan, kita tidak mau merubah nasib kita, hanya bisa berharap dan selalu mengeluh nasib yang seolah-olah Allah SWT yang telah menakdirkan kehidupan orang Aceh demikian. 

Wake Up My Dear (Beudoh Hai Rakan) Allah SWT sudah bilang ”Satu-Satu Bangsa Tidak Akan Berubah Nasibnya Kalau Bangsa Itu Tidak Merubah Nasibnya Sendiri”. Jadi, jangan sebentar-bentar berkata ”Ini Sudah Nasib Dari Allah”. Untung saja Allah SWT tidak bilang sama orang Aceh ”Heh.. orang Aceh, pakai tuh otak dan pancaindra yang sudah Saya kasih, jangan asal pajang saja”. Begitu juga nasib para Politikus di Aceh sekarang ini, terlalu mempertahankan gensi ”bèkan talô, seri han di tém” yang menjadi korban adalah rakyat. 

Padahal waktu mereka menjabat sumpah dengan menyebut nama Allah SWT, mereka berjanji akan menjalankan tugas dan amanah Rakyat Aceh, kok tiba-tiba menjalan amanah dan tugas perut masing-masing. Ini kan namanya munafiq di depan Allah SWT. Cobalah kembali kepada yang benar, kan dalam hadis sudah ada dibilang, ”Kalau kamu sudah mendapatkan kebuntuan dalam menyelesaikan sesuatu hal, maka kembalilah kepada Alquran dan Hadist”. Jangan salah terjemah kata-kata ini. 

Sebab salah-salah memberikan makna bisa hancur jadinya. Ini bermaksa kita harus bertanya kepada Ulama, karena ulama lebih tahu tentang hukum dalam Alquran dan Hadis. Waktu zaman Sulatan Iskandar Muda, Ulama berperan penting sebagai penasehat bagi para petinggi di parlemen Aceh. 

Ulama adalah tempat merujuk kalau ada kebuntuan. Waktu itu ulama ngak ikut dalam pemerintah dan politik, tapi ikut sebagai pemerhati dan penasehat. Bukan kayak sekarang, Ulama ikut politik dan mencalonkan diri jadi Gubernur. 

Ada teman saya bilang Ulama tidak salah kalau bepolitik, sebab menurut mereka Rasullulah, Iman Khomeini dan ada yang lain juga berpolitik. Saya setuju saja dengan mereka, tapi siapa Ulama Aceh mau dibandingkan dengan Rasullullah dan Imam Komeini? 

Waktu Rakyat Aceh dibantai di kem Semnyeh Malaysia, waktu Rakyat Aceh dibantai di Simpang KK, disaat Tgk. Bantaqiah dibantai bersama anak muridnya, mana Ulama Aceh yang berani mati untuk membela mereka. Bukankah, Ulama lebih tahu tentang arti Syahid dan Syurga, kenapa mereka takut MELAWAN atau Mencegah Kebathilan yang jelas ada di depan mata mereka. 

Kini saya tambah mengerti apa yang dikatakan oleh Ama/Abu saya dulu, ”Ulama Aceh itu adalah “Ulama” Pancasila. Jadi, jangan heran kalau mereka takut untuk menegakkan kebenaran dan membela rakyat yang tertindas”. Apa yang kita inginkah adalah, buatlah kerja sesuai dengan keahlian masing-masing, bukan berarti tukang masak tidak boleh untuk buat rumah, tentu saja boleh asalkan mau belajar. 

Yang lucunya di Aceh, banyak anggota DPRA/DPRK dan Bupati/Walikota belajar dikala menjabat, bukannya belajar sebelum menjabat.  Ok.. Ok.. saja belajar sewaktu menjabat, tapi bukan belajar dari “Zero”. 

Inilah yang membuat salah satu sebab kekacauan dan kemunduran Aceh yang semakin hari semakin parah. Saya melihat bagaimana cara berpikir para politikus di Denmark yang kita bilang mereka ”kafir”, tapi apa yang menarik dengan mereka. Mereka akan turun sendiri dengan cepat kalau mereka merasa tidak mampu menjalankan amanah dari jabatan yang diberikan. 

Mereka malu terhadap rakyat yang telah memilih mereka tapi tidak mampu melaksanakan tugas seperti yang diharapkan oleh rakyat. Kita yang mengaku Islam sejati, tidak punya malu dan nyali untuk mundur, kalau tidak sanggup untuk melaksanakan tugas. 

Bukan berarti mereka ”KAFIR”, ini lebih baik dari kita, tapi kita harus mengakui bahwa norma Islam yang diajarkan dalam Islam malah orang yang kita katakan ”kafir” ini yang mengamalkannya. Politik Aceh sekarang ini lebih kepada persoalan pribadi dan perselisihan antara kelompok, bukan berpolitik karena ingin memajukan Aceh. 

Masing-masing membenarkan diri dan sudah tidak tahu dengan apa yang dinamakan Musyawarah dan Mufakat. Gara-gara mereka yang begitu Rakyat Aceh jadi sengsara, baik dari ilmu pengetahuan sampai perbaikan ekonomi. 

Untuk memajukan ekonomi Aceh tidak perlu mengambil waktu sampai berpuluh-puluh tahun, tapi cukup beberapa tahun saja, asalkan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota bersama DPRA/DPRK punya kometmen dengan pembangunan ekonomi Rakyat Aceh. Tentu saja Rakyat Aceh juga harus bekerja keras, jangan hanya berharap dan berdoa tapi tidak ada usaha. 

Di Denmark orang tanam sayur di dalam rumah dan harus dijaga dengan pupuk yang istimewa, di Aceh buang batang ubi jalar dan tak lama kemudian batang ubi jalar itu akan tumbuh lagi dan berbuah. Jadi, tidak ada alasan ada orang Aceh yang kelaparan. 

Pembinaan mental buat Rakyat Aceh untuk maju adalah satu yang sangat penting, karena tanpa pembinaan dan penyuluhan yang benar, maka rakyat akan jadi malas. Sekarang ini Pemerintah Aceh tidak bekerja maksimal untuk memikirkan bagaimana supaya rakyat Aceh maju dan tidak jadi rakyat yang malas. 

Rakyat akan jadi malas kalau hasil kerja mereka tidak dihargai oleh pemerintah. Ini sering terjadi di Aceh, harga hasil pertanian menurun sehingga petani ada yang buang hasil panen mereka. Ini dikarenakan kurangnya penyuluhan yang bagus. 

Kita tahu orang Aceh suka ”Buet Jang Meu Euë Euë” (ikut ikutan). Padahaln kalau satu tanam cabe dan yang satu tanam kentang tentu saja harga akan stabil. Keadaan yang bergejolak sekarang ini sebenarnya tidak terlalu rumit untuk menyelesaiakannya. 

Kalau Pemangku Wali Nanggroe, Ulama, Pemimpin Adat dan Tokoh Masyarakat tahu apa tugas mereka. Dalam UUTPA (Undang Undang Tentang Pemerintah Aceh) dijelaskan, “Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya”. 

Jelaskan apa tugas Wali Nanggroe disini, jadi seorang Wali Nanggroe harus netral, netral berarti tidak boleh memihak, membela satu kelompok, Parnas, Parlok, individu dan tidak boleh ikut-ikutan bepolitik. 

Lembaga Kepemimpinan Adat dalam hal ini tugasnya adalah menjaga adat, bahasa dan budaya. Sekarang ini kita lihat bagaimana adat di Aceh yang sudah tunggang langgang, lebih bangga dengan adat yang masuk daripada adat sendiri. Banyak orang Aceh yang malu berbahasa Aceh, baik yang dari Gayo atau yang dari Aceh Pesisir, anak-anak Aceh banyak yang tidak bisa berbahas Aceh/Gayo. 

Kononnya kalau berbahasa Aceh/Gayo akan kedengaran kolot. Orang Aceh sudah banyak kehilangan mental ke-Aceh-an, ini bisa kita lihat dari mahasiswa yang dikirim oleh Pemerintah Aceh melalui program beasiswa ke luar negeri. Hampir semua dari mereka tidak mau berintegrasi dengan Rakyat Aceh ditempat mereka kuliah. 

Karena mental ke-Aceh-annya sangat tipis. Jiwa pemersatu masyarakat terlihat pada keadaan sekarang ini di Aceh, saya sendiri sangat perihatin. Kita tidak bisa menafikan/memungkiri bahwa orang Aceh sedang dalam kondisi yang tak menentu. 

Ini perlu perhatian yang sangat penting agar Rakyat Aceh tidak terjebak kedalam kancah permusuhan universal, sehingga tidak akan tertutup kemungkinan perang seperti Cumbok akan terjadi di Aceh. Pelestarian Kehidupan Hutan Aceh sampai saat ini masih juga ditebang, sehingga Aceh tidak lagi kelihatan indah, banyak air yang tercemar gara-gara perbuatan yang tidak bertanggungjawab. 

Akibatnya di Aceh orang kekurangan Air bersih. Kebersihan kota dan kampung, rumah sekolah dan balai adat. Dalam islam kebersihan itu setengah daripada iman, tapi kalau kita lihat keadaan kota-kota di Aceh jauh dari apa yang diajarkan oleh agama. 

Inilah tugas Wali Nanggroe. Tentu saja beliau tidak bisa kerja sendiri. Harus ada kerja sama dengan Lembaga Eksekutif, Legeslatif dan Yudikatif serta Rakyat Aceh. Mendatangi instansi pemerintah dan sekolah-sekolah, bersilaturrahmi dengan semua elemen masyarakat. 

Sayangnya sekarang ini kelihatannya, Pemangku Wali Nanggroe berfungsi sebagai Wali PA dan KPA, tapi bukan Wali Nanggroe Aceh. Secara pribadi dan sebagai Member of GAM dan masih merasa saya anak Aceh, saya sangat menyayangkan dengan apa yang terjadi di Aceh sekarang ini.

Kita tahu betapa mahalnya harga perdamaian Aceh, seharusnya kita berpikir lebih dewasa ketimbang mempertikaikan hal-hal yang merugikan kita sendiri. Aceh akan maju kalau pemerintah dan rakyat ada kommunikasi. Aceh akan maju kalau anak-anak Aceh dibekali mental ke-Aceh-an. Aceh akan maju kalau orang Aceh sudah tahu, bahwa dia orang Aceh, Aceh akan maju kalau orang Aceh taat akan hukum yang ada dalam Aquran, Aceh akan maju kalau penegak hukum di Aceh tahu melaksanakan hukum, Aceh akan maju kalau orang Aceh mau berkerja dengan serius. 

Aceh akan maju kalau orang Aceh mau bersabar dan mampu menerima kritikan dari orang lain. Aceh akan maju kalau orang Aceh sudah tahu menghargai alam sekitarnya, flora dan fauna. Tidak lama lagi Pemilihan Legeslatif akan dilaksanakan. Walaupun ada pihak yang tidak setuju dengan pelaksanaan ini, itu hanya proses berdemokrasi. 

Rakyat Aceh jangan mudah terpengaruh dengan kata-kata manis dan propaganda. Pilihan dan Keputusan sesuai dengan hati kamu, bukan menurut kata orang lain ataupun pemaksaan berupa intimidasi yang mengatasnamakan Demokrasi. Bersama kita bangun Aceh, tak perlu kita membanggakan betapa hebatnya nenek moyang kita, kalau kita tidak bisa berbuat seperti mereka. 

Akhirnya saya minta maaf kalau ada kata-kata dalam tulisan ini yang membuat pembaca merasa tidak senang. 
Johan Makmor HAG
Pendiri PENA
Pembela Negeri Aceh


Posting Komentar

0 Komentar